Pergerakan sastra Indonesia, berikut politik kanon yang menaunginya, menjadi bahan diskusi (kelompok belajar) DivAs, di GAYa NUSANTARA (08/02/2012). Diskusi berjalan dinamis sejak pukul 18.30 – 21.00 wib. Diikuti 12 peserta dari GN, ALIFA Cahaya Kesetaraan Yogyakarta, KSGK Ubaya, Bhinneka, Unair, Savy Amira, dan Dipayoni. Saya sebagai fasilitator mengajukan 2 ancangan: mengkaji politik kanon sebagai parameter mutu karya sastra dan pergerakan sastra bertema LGBTIQ di Indonesia.
Politik kanonisasi menyoal kualitas karya sastra yang dipengaruhi tidak hanya teks, juga konteks—kondisi bentukan sastrawan. Pasca sejarah 1965, terjadi pergulatan panjang Lekra dengan Manifesto Kebudayaan (Manikebu). Dominasi Balai Pustaka melahirkan apresiasi tinggi pada Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Layar Terkembang, hingga masuk ke lembaga pendidikan. Sebaliknya, Tetralogi Buru Pramoedya Ananta Toer diberangus. Terkini, pergerakan meluas pada kekuatan Teater Utan Kayu (TUK), Boemi Poetra, Forum Lingkar Pena, Sastra Islami dll, yang masing-masing tak selalu sinergi. Wulan Ubaya berpendapat ini dinamika pergerakan, masing-masing kelompok punya kepentingan. Kelompok yang secara politis kuat—faktor sastrawan, penerbitan, penerimaan pembaca, relasi dengan penguasa—menciptakan kanonisasi, seperti HB Jassin melahirkan Angkatan 66’.
Sigit GN mempertanyakan substansi,”Sebetulnya yang penting karya sastra, sastrawan, atau perspektif di dalamnya?” Lalu diskusi ditarik ke sastra bertema LGBTIQ. Kini kian banyak buku—cerpen dan novel—mengangkat cerita berbasis keragaman seksualitas. Tapi, kenapa tidak/belum diakui? Lelaki Terindah – Andrei Aksana menjadi contoh berhasil, diterima pembaca. Persoalannya, perspektif di dalamnya sarat heteronormatif, lebih kepentingan memenuhi selera pembaca. Homophobia juga banyak ditemui buku-buku lain. Saya menanggapi,”Persoalan umum, banyak penulis pemahaman gender dan seksualitasnya minim, sehingga karya yang dihasilkan tak bergeser, alih-alih membawa perubahan.”
Tepat pukul sembilan malam diskusi usai. Membawa catatan penting, bahwa terbitnya karya sastra LGBTIQ yang ditulis dengan perspektif keragaman gender dan seksualitas—baik dari dalam atau luar komunitas—indikasi perubahan positif, dan ini perlu didorong terus, sinergi antar jaringan. Sebab perubahan perspektif tulisan pasti berdampak pada pembacanya. (Antok Serean)
***
*) DivAs adalah kelompok belajar yang digagas GAYa NUSANTARA, dilaksanakan dua minggu sekali, melibatkan maksimal 15 peserta dari ragam jaringan di Surabaya. Secara bergilir, masing-masing peserta membawa materi untuk didiskusikan bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H