Mohon tunggu...
Abdurahman Hoda
Abdurahman Hoda Mohon Tunggu... Freelancer - Pria keturunan Bacan dan Gorontalo, lahir dan berdomosili di Ternate

Pria berkumis yang suka baca dan makan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Janur Kuning Riwayatmu Kini

17 Agustus 2020   00:51 Diperbarui: 17 Agustus 2020   01:33 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau kita ingin mengusir lupa, janur kuning merupakan sebuah simbol sakral yang perlu untuk diingat kembali. Bukan hanya sebuah simbol, tapi makna yang amat dalam untuk dijadikan bahan perenungan kita semua. Awalnya saya berasumsi bahwa ketika janur kuning terpasang di depan sebuah gang sebagai umbul-umbul dengan berbagai bentuk yang menarik sebagai pertanda dan penunjuk lokasi bahwa salah satu rumah di gang tersebut sedang melakukan hajatan kawinan. Ternyata lebih jauh dari itu, makna yang amat dalam dari sebuah prosesi perkawinan antara sepasang pengantin dan bukan sekedar penunjuk jalan. Tapi makna Janur sendiri yang berasal dari kata Jannah yang berarti surga dan Nur yang berarti  cahaya  dengan harapan bahwa keluarga yang berhajat senantiasa di sinari Nur Illahi dari surga untuk mendapat keberkahan dalam prosesi perkawinan itu. Sedangkan kuning mempunyai arti mengangkat suasana hati, berkas warna yang bersifat cerah menjadikan semua orang yang memandangnya terangkat suasana hatinya merasa gembira, senang dan selalu optimis. Begitulah kira-kira makna mendalam dari sebuah janur kuning.

Lebih jauh dari itu, bahwa pemasangan janur kuning selalu berpasangan ada sebelah kanan dan kiri. Hal ini menunjukkan bahwa dilihat dari arah depan pengunjung yang datang bahwa sebelah kanan adalah simbol pengantin pria dan sebelah kiri adalah pengantin wanita. Ini juga ada mitosnya lho-,kalau janur tersebut tetap segar dan tidak layu, menandakan bahwa kedua pengantin tersebut masih perjaka dan perawan. Namun sebaliknya jika janurnya layu sebelum hajatan selesai,- kalau janur kanan yang layu berarti pengantin kanan sudah tidak perjaka, sedangkan jika yang layu adalah sebelah kiri sebuah indikasi bahwa pengantin wanita sudah tidak perawan. Ini hanya mitos lho.

Begitu tinggi dan dalamnya filsofi yang terkandung dalam janur kuning pada adat Jawa. Tak mengherankan Letkol Soeharto pada waktu itu sebagai Komandan Brigade X Daerah Wehrkreise III sebagai salah satu pelaksana lapangan serangan umum 11 Maret di Jogjakarta menggagas penggunaan lambang janur kuning di leher sebagai pertanda pejuang yang benar-benar berjuang untuk kemerdekaan Republik Indonesia karena saat itu banyak penghianat bangsa yang masih menggadaikan kesetiaannya pada pertiwi  dengan mendukung penjajah Belanda dibalik keserakahan, pangkat jabatan dan harta sehingga menginginkan agar Belanda tetap bercokol di bumi persada. Dipilihnya Janur Kuning yang disematkan di pundak atau leher di restui oleh tokoh-tokoh perjuangan pada waktu itu.  Tokoh-tokoh pejuang yang berandil besar dan serangan umum 11 Maret 1949 adalah Jenderal Soedirman, Kolonel A.H Nasution, Kolonel Bambang Soegeng dan Letkol Soeharto.

Dahsyatnya serangan umum 11 Maret 1949 membuka mata dunia bahwa Tentara Republik Indonesia masih eksis dan kuat, sehingga untuk mengenag momentum tersebut maka di tahun 1979 pada masa jayanya Orde Baru munculnya sebuah film yang berjudul Janur Kuning yang disutradarai oleh Alam Rengga Surawidjaya. Film ini sempat trend dan menjadi tontonan wajib bagi semua pelajar mulai dari SD sampai SMA. Saya juga ingat betul, saat itu kita berbondong-bondong berseragam putih abu-abu menuju bioskop untuk menyaksikan film ini. Sebuah film yang menuai kontroversial karena dianggap ada upaya memanipulasi sejarah seperti dilansir dari beberapa sumber bahwa film janur kuning adalah sebuah upaya untuk mengkultuskan personal dengan Soeharto sebagai tokoh sentralnya. Akhirnya apa yang terjadi ?. Pada bulan September 1989 melalui menteri penerangan bapak Yunus Yosfiah menyakatan bahwa film janur kuning tidak lagi menjadi tontonan wajib. Artinya apa? sejak runtuhnya orde baru, maka tamat juga riwayat film janur kuning. Padahal pada waktu kuat-kuatnya rezim Orde Baru, setiap Agustusan film ini selalu ditayang dan menjadi tontonan wajib.

Lagi-lagi kalau kita ingin mengusir lupa, harusnya film janur kuning yang penuh dengan adegan-adegan patriot yang membakar semangat juang kemerdekaan harus tetap eksis. Makna filsofis dari janur kuning janganlah dikerdilkan gara-gara anggapan kontroversial itu. Harusnya pemerintah setelah Orde Baru meluruskan jika ada kekeliruan dalam film janur kuning, bukan membiarkan masyarakat berada dalam kebingungan. Karena saya yakin, hingga saat ini yang disebut manipulasi sejarah dalam film itu pada casting yang mana? Padahal masih banyak casting yang yang baik dan benar yang dapat dijadikan tuntunan dari tontonan itu. Ambil saja casting yang diperankan oleh Jenderal Soedirman dalam keadaan sakit namun dengan ikhlas dan tulus mau memimpin pasukannya untuk bergerilya.  Jangankan Jenderal Soedirman, Letnan Komarudin sosok prajurit pemberani yang mempunyai ilmu kanuragan (kekebalan), prajurit selebor yang selalu menggunakan baret hitam yang sangat apik diperankan oleh Amak Baljun juga merupakan setingan skenario yang kontroversi itu?. Apakah adegan  disaat Jenderal Soedirman turun gunung dan menemui Letnan Kamorudin saat memeriksa  pasukan lalu mendekati Komorudin dan memegang pundaknya seraya berkata kesalahan dan kekhilafan tidak selamnya berdampak buruk,- Jenderal Soedirman menasehati atas kehilafan Letnan Komaruddin atas salah tanggal pada saat serangannya itu. Sebuah adegan haru dan sekaligus bangga pada Letnan Kamorudin disaat saya menonton. Saya yakin semua orang jugs merasakan hal yang sama seperti saya rasakan. Apakah adegan ini juga harus di kesampingkan dan dianggap kontroversi dengan tamatnya riwayat film janur kuning? Saya kira tidak. Sama seperti simbol janur kuning yang dikalungkan di leher pejuang pada waktu itu mempunyai filsofis dan makna yang dalam sehingga diangkat menjadi judul film itu. Cobalah kita mengambil langkah bijak. Memperbaiki yang salah dan mempertahankan yang benar. Sehingga masyarakat tidak perlu bertanya lagi Janur Kuning Riwayatnya kini. Sekali Merdeka tetap Merdeka.  Selamat Hari Kemerdekan.  

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun