Seorang pejuang pernah berkata: “ketidakadilan hanya masalah waktu, cepat atau lambat semua dapat giliran, pasti!” Dan tidak ada salahnya juga sekadar menyimak pernyataan seorang pakar politik Mancur Olson: “Jika seorang raja atau penguasa mengerahkan sebagian aparatur negara untuk menculik, menembaki dan melibas warga negaranya sendiri, maka penguasa itu secara modern telah kehilangan legitimasi dan sumber moral untuk melanjutkan pemerintahan.”
Masih banyak lagi pengetahuan yang mampu membaca kenyataan hari ini atas apa yang terjadi dan terlanjur menjadi konsumsi publik. Tapi hari ini kita tidak perlu menjadi ahli atau pakar untuk hal itu, sekali lagi, demokrasi memungkinkan segalanya menjadi bahan rujukan, perdebatan serta pembenaran. Dan hari ini juga masih ramai berita kekerasan terpublikasi ke penjuru negeri, taklain media massa berperan betul dalam “menentukan bahan pembicaraan” masyarakat di keseharian.
Tidak ada yang salah dan tak lagi perlu disalahkan. Hari ini Bima, kota di Nusa Tenggara Barat sebagai bagian dari negeri yang kaya sumber daya alamnya sudah terkenal, menyebar dengan kecepatan yang mungkin sebanding dengan daya terjang peluru aparatur negara yang hempaskan nyawa warga negaranya sendiri, yang hidup di tanah kelahirannya sendiri, di negerinya sendiri, negeri yang cenderung dicintai. Ironis memang menyaksikan "mekanisme" kematian tersebut, di zaman yang cenderung banyak orang sebutnya sudah modern, khususnya di kota-kota besar! Tetapi hari ini, problem klasik justeru dipertontonkan secara berkesinambungan oleh banyak pihak; dengan cara kolonial paling berbahaya bagi nilai-nilai kemanusiaan, belum lagi dengan ke-Tuhan-an?! Hari ini sudah terbilang jumlah korban penembakan di Bima, belum lagi yang tak terekam media massa di daerah lainnya! Hari ini, semoga media massa dengan segala peran dan fungsinya; segera cukup valid membingkai setiap peristiwa sebagai berita yang dikonsumsi publik.
Hampir dan selalu begitu, setiap konflik yang terjadi, pasti kematian ada, dan “kita” terkadang terpaksa harus memaknai kematian itu dengan nilai-nilai kemanusiaan. Sementara korban belum tentu merupakan sekumpulan "orang sakit jiwa" yang memacu adrenaline. Hari ini, pendapat subjektif-emosional terus bergulir seiring ketidaktahuan tentang sejarah dari tiap permasalahan yang melahirkan benturan antara warga negara dengan penyelenggara negara, akhirnya posisi “saling berhadapan” sesama warga bangsa masih terjadi, kalaupun reda, kemungkinannya hanyalah bentuk khas dari toleransi yang melulu menjadi pilihan terakhir selama ini, dan untuk hari ini!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H