Meskipun perhelatan Pilkada DKI masih akan berlangsung tahun depan, tetapi hingar bingarnya sudah terasa sejak tahun yang lalu. Banyak tokoh baik tokoh politik, pejabat, mantan pejabat bahkan artis mulai digadang-gadang atau mencoba mencalonkan diri untuk mencari peruntungannya menjadi orang No. 1 di Ibukota ini. Bahkan survei dari berbagai lembaga survei pun terus bermunculan.
Dari sekian banyak calon rasanya hanya 3 nama yang berpeluang untuk mengalahkan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Sang Gubernur Petahana. Ridwan Kamil, Ganjar Pranowo dan Tri Rismaharini diprediksi membuat peta pertarungan menuju DKI 1 menjadi lebih seru dan sengit. Kalau ini benar-benar terjadi maka Pilkada DKI 2017 layak untuk diberi judul ‘The Battle of The Rising Stars’ . Betapa tidak mereka berempat boleh dikatakan pemimpin-pemimpin baru daerah yang namanya sedang meroket, calon pemimpin Indonesia masa depan. Tetapi setelah kita ketahui bersama jangankan mereka bertiga yang akan bertarung di Pilkada DKI 2017, satu orangpun di antara Ridwan, Risma dan Ganjar memutuskan tidak ikut Pilkada DKI 2017 dan yang paling mengejutkan adalah urungnya Ridwan Kamil maju menantang Ahok. Selain yang paling mungkin untuk duel dengan Ahok, Ridwan Kamil menurut hasil survei juga mempunyai peluang yang cukup besar untuk mengalahkan Ahok. Apa gerangan yang membuat pria yang akrab disapa Kang Emil ini batal dan menolak pinangan partai-partai politik untuk berlaga di Pilkada DKI?
Walikota Surabaya, Risma maupun Gubernur Jateng, Ganjar Pranowo yang keduanya berasal dari PDI-P sudah bisa kita tebak mereka tidak dicalonkan atau mencalonkan diri karena antara Ahok dan PDI-P mempunyai hubungan yang dekat dan Ahok pun dianggap bagian dari PDI-P juga, sehingga bisa kita pahami tidak mungkin terjadi PDI-P Derby atau ‘Perang Saudara’ di Pilkada DKI 2017. Risma maupun Ganjar bisa ikut kalau Ahok maju secara independen atau tidak didukung/diusung oleh PDI-P.
Bagi mereka yang tidak mau Ahok terpilih lagi sebagai Gubernur untuk periode ke-2 atau yang anti Ahok, Ridwan Kamil adalah harapan buat mereka dan akan jadi lawan yang sepadan buat Ahok. Alasan Kang Emil batal ikut Pilkada DKI antara lain karena 90% warga Bandung tidak setuju, dia merasa ada janjinya yang masih belum terealisasi, lalu perkataan Jokowi ikut menjadi pertimbangannya juga. Para pengamat politik maupun masyarakat umum mulai mencoba menganalisa ada apa dibalik keputusannya tersebut yang membuat banyak parpol dan masyarakat heran bercampur kecewa. Ada yang mengatakan Ridwan lebih memilih di Jabar karena pasti menang, ada juga yang bilang ia takut melawan Ahok, sehingga kalau kalah melawan Ahok maka akan tamatlah karier politik Kang Emil.
Saya kira Ridwan Kamil seperti apa yang dikatakannya, dia tidak takut melawan Ahok dan Ahok pun sangat mungkin dikalahkannya, dengan modal elektabilitas sekitar 43% Ahok belum terlihat aman untuk ukuran seorang petahana. Kekalahan Ridwan Kamil pun belum tentu membuat karier politiknya akan menurun apalagi berakhir. Di Pilkada DKI, Ridwan Kamil hanya kuda hitam atau underdog. Kekalahan dari Ahok di Pilkada DKI tidak berpengaruh besar buat peluangnya di Jabar 1 selama dia menunjukan prestasi yang baik sebagai Walikota Bandung. Justru yang ditakuti Ridwan Kamil adalah kalau ia menang dari Ahok di Pilkada DKI 2017, kemenangan dari Ahok bisa menjadi awal tenggelamnya karier Ridwan Kamil. Seperti yang kita ketahui baik Ahok, Ridwan maupun Risma dan Ganjar sudah berhasil melakukan gebrakan di daerahnya masing-masing. Ridwan sadar apabila dia memerintah di DKI, dia harus lebih dari Ahok, kalau hanya sama atau beda tipis dengan Ahok, masyarakat tetap akan menilai dia gagal, terlebih lagi kalau kinerjanya di bawah Ahok. Hal yang sama juga berlaku untuk Risma dan Ganjar, jika ingin memimpin Ibukota standar minimalnya Ahok atau Bang Ali Sadikin. DKI di bawah Ahok dijadikan parameter dan barometernya. Sepak terjang Ahok selama menjadi wagub atau gubernur yang mulai dari menyikat preman jalanan yang disinyalir dibacking oknum aparat (Waduk Pluit, Tanah Abang, Kalijodo dll), memecati oknum birokrat korup dan tidak becus, melawan anggota DPRD yang dianggap mencoba bermain APBD, sampai-sampai BPK dan lembaga seprestisius KPK ikut ditantangnya. Hal-hal inilah yang membuat Ahok berbeda dengan pemimpin-pemimpin daerah lainnya. Bagi Ahok sendiri kalah di Pilkada DKI pun belum tentu membuat karier politiknya akan habis, justru ini bisa menjadi blessing in disguise buatnya di kemudian hari, apabila penggantinya tersebut gagal memenuhi harapan masyarakat DKI. Ahok dan pendukungnya di medsos bisa mengatakan seperti meme Pak Harto tapi tentunya dengan bahasa dan logat yang berbeda “Gimane kabarnye, masih enakan jaman gue kan?” Mungkin inilah yang membuatnya diatas angin untuk mendampingi Jokowi sebagai RI-2
Ridwan Kamil juga tahu bahwa dirinya hendak dimanfaatkan oleh partai-partai atau orang-orang yang tidak suka pada Ahok, mereka mencoba meyakinkan bahwa Balai Kota DKI adalah jalan menuju Istana Negara sama seperti jalan yang dilalui oleh Jokowi. Itulah yang mungkin dia bilang ada pihak-pihak yang ingin menjerumuskannya supaya ikut Pilkada DKI dengan maksud-maksud tertentu. Keputusannya untuk tidak ikut Pilkada DKI 2017 pasti sudah di kalkulasi dengan matang olehnya. Karier politik Kang Emil masih terbentang sangat panjang, dia baru saja memulai debutnya sekitar 3 tahun yang lalu di Bandung. Menjadi DKI 1 menggantikan Ahok terlalu berisiko untuk karier politiknya yang baru ‘seumur jagung’. Ridwan Kamil tidak mau dibanding-bandingkan atau dibayangi-bayangi oleh sosok Ahok ketika dia menjadi Gubernur DKI. Segala kesalahan atau kekurangan yang diperbuatnya akan cepat menjadi konsumsi media ataupun 'makanan empuk' bagi netizen pendukung Ahok di medsos maupun bagi para pesaing Ridwan lainnya, sama seperti yang dialami oleh Ahok sekarang. Ini semua menjadi perhitungan tersendiri baginya. Yang terbaik buat Ridwan Kamil sekarang ini adalah melanjutkan kariernya di Bandung sambil menatap Jabar 1. Banyak potensi Bandung maupun Jabar yang bisa dimaksimalkan dan dikembangkannya, yang tentunya membuat posisi Ridwan Kamil sebagai pemimpin daerah yang berhasil semakin kuat. Seperti yang dikatakan olehnya dan Jokowi bahwa membangun Indonesia, diperlukan banyak pemimpin daerah yang bagus dan berkualitas, tidak cukup hanya di Jakarta saja.
Kalau Jokowi dari Solo menuju Istana Negara melewati jalur Balai Kota Jakarta, agaknya Ridwan Kamil mungkin harus memutar jalan untuk menuju Istana Negara. Sebagai penutup, pertemuan Ahok-Ridwan-Ganjar-Risma di Pilkada DKI 2017 boleh dikatakan terlalu dini, lebih pantas terjadi di The Real Final, Pilpres RI, sambil menunggu calon pemimpin-pemimpin daerah yang baik bermunculan untuk menggantikan mereka atau bahkan malah ikut bertarung melawan mereka. Mari kita tunggu.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H