Mohon tunggu...
Anto Wasisto
Anto Wasisto Mohon Tunggu... -

Fans Kompasiana

Selanjutnya

Tutup

Politik

Wah, Yang Bener Nih Pak Beye Berani Menentang Obama Melalui Penolakan TPP?

17 November 2011   06:37 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:33 712
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

TPP (Trans-Pacific Partnership) atau dikenal juga sebagai Trans-Pacific Economic Strategic Partnership Agreement adalah perjanjian perdagangan bebas multilateral yang bertujuan meliberalisasi ekonomi di kawasan Asia Pasifik. Idea ini semula digagas oleh 3 negara anggota APEC (Chili, Singapore dan New Zealand) saat pertemuan Pimpinan Negara-negara APEC di Los Cabos Mexico pada tahun 2002, yang kemudian dikenal sebagai Pacific Three Closer Economic Partnership (P3-CEP). Kemudian pada tahun 2005 Brunei sepenuhnya bergabung sehingga menjadi Pacific-4. Pada tahun 2006, 6 negara lagi ikut bergabung, yaitu Australia, Malaysia, Peru, Jepang, Amerika Serikat (AS) dan Vietnam. Meskipun negara-negara yang bergabung dalam TPP tersebut notabene adalah negara-negara anggota APEC, namun TPP bukanlah inisiatif dari APEC. Bagaimana dengan sikap Indonesia? Pemerintah Indonesia menegaskan menolak ajakan Presiden AS Barack Obama untuk masuk ke dalam persekutuan perdagangan bebas baru bernama Trans Pacific Partnership (TPP). Hal ini disampaikan oleh Menteri Perdagangan RI Gita Wirjawan di sela KTT APEC di Hotel Trump Waikiki, Honolulu, Hawai, AS, Minggu (14/11/2011). Ini adalah statement Gita Wiryawan yang dikutip detik.com: "Ya (kita tolak). Kita juga harus lihat kesiapan industri kita apakah siap buat berkompetisi dengan negara lain. Industrialisasi di negara lain sudah maju 100-200 tahun. Ke depan ini kita harus berkomunikasi dengan Kementerian terkait. Yakinkan kita bisa ukur parameter industri kita sudah terpenuhi atau belum". Statement Gita tersebut masih bisa dipertanyakan, karena tanpa masuk TPP pun industri dan perdagangan kita sudah banyak digerogoti oleh China. Demikian pula, konsep TPP sendiri juga belum terlalu jelas, apalagi sudah ada APEC yang selama ini dinilai tidak berjalan efektif. Yang jelas industri dan perdagangan kita saat ini lumayan babak belur. "Saya tidak mau langsung ikut-ikutan. Bicarakan dulu baik-baik, apa itu TPP? Apa konsekuensi dan keuntungannya bagi rakyat kita," ujar Pak Beye dalam sesi keterangan pers mengenai hasil KTT APEC 2011. Keterangan itu beliau sampaikan di Hotel Trump Waikiki, Honolulu, Hawai, AS, Minggu (14/11/2011). Sulit dipungkiri bahwa sebetulnya TPP adalah skenario AS, meskipun inisiatif TPP tersebut bukan diawali oleh AS. Bisa ditebak dengan mudah bahwa TPP merupakan semacam counter action dari pengaruh berkembangnya perekonomian dan sekaligus militer China di kawasan ini. Konsep TPP yang masih dianggap RI belum jelas membuktikan bahwa TPP lebih merupakan aksi psikologis terhadap China dari pada suatu konsep nyata. Aksi militer terakhir China di perairan Jepang dan Kepulauan Spratley jelas mencemaskan negara-negara Jepang dan beberapa negara ASEAN (yang punya klaim atas Kepulauan Spratley). Agresifitas perdagangan dan investasi China di dunia, termasuk Indonesia, dan terakhir di Wilayah Papua jelas semakin mencemaskan Australia, New Zealand dan AS. Terakhir, dengan penempatan Marinir AS sejumlah 2500 personil di Darwin semakin memperjelas langkah-langkah AS bahwa aksi ekonomi dan militer yang terkait dengan TPP dan Militer AS di kawasan ini adalah dalam rangka counter action terhadap China. Bukan tidak mungkin kisruh bersenjata dan perburuhan di Freeport akhir-akhir ini ada kaitan dengan memanasnya situasi antara AS dan China di kawasan ini akibat agresifitas investasi China di Papua. Penolakan RI terhadap ajakan Obama untuk masuk dalam TPP dengan mudah menimbulkan kecurigaan AS bahwa RI memang lebih pro ke China, apapun alasan yang dikemukakan oleh Pemerintah RI. Bagaimanakah posisi dan sikap RI? Jelas RI sudah dalam posisi terjepit antara kepentingan dua raksasa tersebut. Posisi politik dan ekonomi RI yang semakin dekat dengan China, terlebih lagi Pak Beye cenderung mengimplementasikan "China's Way" ketimbang "America's Way" (meminjam istilah rekan Della Anna di artikel: http://politik.kompasiana.com/2011/10/11/esbeyenomic-taktik-politik-ekonomi-sby-mengubah-kiblat-dari-washington-ke-beijing/), semakin menambah ketegangan yang sudah ada antara AS dan China. Adakah sikap Pemerintah RI yang menolak TPP tersebut cukup solid? Sangat bisa dipertanyakan bahwa kebijakan Pemerintah RI tersebut solid. Kita semua tahu bahwa posisi politik Pak Beye di dalam negeri saat ini tidak cukup kuat. Masyarakat juga bisa melihat bahwa tanpa bergabung dengan TPP pun industri dan perdagangan kita cukup menderita karena serbuan barang-barang China. Lawan-lawan politik Pak Beye pasti melihat issue yang panas ini sebagai peluang. Dan sudah menjadi kebiasaan AS bahwa cara apapun mereka lakukan demi mengamankan kepentingan politik dan ekonomi mereka. Ingat, G-30-S 1965 dan Demo Reformasi 1998, sulit dipungkiri adanya campur tangan AS dibalik itu semua. Besar sekali potensi untuk adanya suatu aksi paralel yang diprakarsai AS, yaitu antara langkah strategi ekonomi TPP dengan konsentrasi militer AS di Spratley dan Darwin serta gerakan politik untuk mengganggu (atau bahkan mungkin bisa sampai pada tahap menurunkan) Pak Beye. Nampaknya "Arab Spring" yang sukses dijalankan oleh AS/Eropa di Afrika Utara/Timur Tengah dalam rangka mencegat ekspansi ekonomi China di Afrika Utara/Timur Tengah, sekarang diimplementasikan oleh AS dan sekutu APEC-nya dalam bentuk "TPP" di kawasan ini, yang juga bertujuan mencegat China. Pak Beye yang selama ini cukup kuat menghadapi tekanan politik di dalam negeri apakah juga akan cukup kuat menghadapi tekanan AS dan sekutu-sekutunya yang sangat mungkin berpadu dengan kekuatan politik di dalam negeri RI? Dan apa yang bisa China bantu untuk Pak Beye? Mari kita lihat apa yang akan terjadi. Tentunya yang terpenting adalah apa yang terbaik bagi bangsa ini. Salam Kompasiana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun