Dalam dunia politik, seseorang bisa bertahan jika mampu menghadapi dan memahami realitas yang ada. Suhandoyo, seorang mantan fungsionaris PDIP yang pernah memiliki pengaruh besar di Lamongan, sepertinya lupa bahwa politik bukan hanya tentang ambisi pribadi atau kritik terhadap lawan, melainkan soal bagaimana seorang pemimpin mampu memberikan dampak nyata bagi masyarakat. Sejarah mencatat bahwa setelah didepak dari PDIP, Suhandoyo berkali-kali mengalami kegagalan dalam kontestasi politik, termasuk dalam pencalonan sebagai anggota DPD pada 2019 dan sebagai anggota DPR-RI pada 2024 melalui Partai Nasdem. Ironisnya, ia juga telah berulang kali gagal mencalonkan diri sebagai Bupati Lamongan.
Meski demikian, masih ada sebagian kecil orang yang mendewakan Suhandoyo, mungkin karena pengaruhnya di masa lalu saat ia menjabat sebagai Ketua DPC PDIP Lamongan dan anggota DPRD Provinsi Jawa Timur. Keterikatan emosional dan nostalgia akan masa lalunya mungkin membuat para pendukung ini tetap setia, walaupun realitas politik menunjukkan bahwa Suhandoyo kini tak lagi memiliki kekuatan yang sama.
Hal yang menarik adalah, di tengah kegagalannya tersebut, Suhandoyo justru lantang mengkritisi kepemimpinan Pak Yes, bupati petahana yang mendapat dukungan mayoritas warga Lamongan. Kritik ini bisa dilihat sebagai upaya untuk tetap relevan dalam politik lokal, sebuah strategi yang kerap digunakan oleh politisi yang tengah kehilangan panggung. Namun, apakah kritik ini relevan? Masyarakat Lamongan tampaknya lebih tertarik pada hasil nyata daripada sekadar retorika kosong.
Realitas politik Lamongan saat ini menunjukkan bahwa Pak Yes, dengan segala program dan keberhasilannya, telah memenangkan kepercayaan rakyat. Pembangunan infrastruktur, program kesejahteraan, dan berbagai capaian lainnya menjadi bukti konkret kepemimpinan yang efektif. Dalam konteks ini, kritik tanpa dasar yang jelas dari Suhandoyo berisiko tidak dihiraukan oleh masyarakat yang sudah puas dengan kepemimpinan saat ini.
Politik adalah seni mengelola realitas, bukan sekadar panggung kritik atau nostalgia masa lalu. Suhandoyo tampaknya lupa bahwa masyarakat Lamongan telah bergerak maju, dan mereka lebih memilih pemimpin yang mampu menghadirkan perubahan nyata daripada sekadar menawarkan wacana. Jika Suhandoyo ingin kembali relevan, ia perlu lebih dari sekadar mengkritik; ia harus mampu memahami realitas baru dan menawarkan solusi konkret bagi masyarakat. Tanpa itu, kritiknya hanya akan menjadi gema dari masa lalu yang perlahan memudar dalam ingatan masyarakat Lamongan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H