Mohon tunggu...
Anti tesa
Anti tesa Mohon Tunggu... -

Mengungkap fakta di balik peristiwa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Waspada ‘False Memory Syndrom’ Anak di Peristiwa Penting

9 Maret 2015   14:45 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:56 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam sebuah diskusi terbatas di Jakarta Selatan, seorang Doktor Psikolog Forensik Universitas of Toledo, Amerika Serikat, Kamala London, Phd, memaparkan fakta menarik soal pengaruh disinformasi pada anak korban kekerasan seksual. Pemaparan itu merupakan hasil risetnya selama menangani anak korban kekerasan dan pelecehan seksual di Amerika Serikat.
Dalam hasil risetnya, Kamala menyimpulkan bahwa seorang anak bisa mengalami “False Memory Syndrom” jika ia ditanya terus menerus mengenai suatu hal yang sebenarnya tidak pernah terjadi.
Anak-anak memiliki daya imajinasi kuat yang tak jarang ia ceritakan pada orang sekitarnya. Hal ini membuat orang dewasa harus ekstra hati-hati untuk memercayai kesaksian anak terutama untuk suatu peristiwa penting.
Sebagai Ahli atau spesialisas psikologi forensik yang mempelajari mengenai false memory pada anak korban pelecehan seksual, ia menyatakan bahwa memory itu tidak sempurna, tetapi bisa dilatih
Anak-anak dikatakan oleh Kamala, belum matang sempurna secara neurologis. Mereka bisa memberikan kesaksian namun akan sangat terpengaruh dari bagaimana cara orang dewasa menanyakan suatu kejadian.
Saat anak-anak ditekan atau ditanyai secara sugestif mereka bisa memberikan apa yang mau diketahui dengan detail meski informasi tersebut tidak benar terjadi. Hal ini dikatakan oleh Kalama adalah karena false memory atau ingatan palsu. Anak tidak berbohong karena bagi mereka kejadian palsu tersebut benar-benar terjadi.
Ingatan palsu ini dikatakan oleh Kamala tak terjadi pada anak-anak saja tapi juga orang dewasa. Ia memberi contoh seperti yang terjadi pada suatu penelitian tentang saksi mata peristiwa tabrakan.
"Jawaban reponden saat ditanya 'bagaimana mobil menabrak mobil lain' berbeda dengan reponden yang ditanya 'bagaimana mobil menghantam mobil lain'. Mereka yang ditanya dengan kata 'menghantam' memberikan deskripsi kecepatan yang lebih besar lengkap dengan detail kaca-kaca berserakan," papar Kamala dalam acara diskusi di Restoran Meradelima, Jakarta Selatan, Jumat (27/2/2015).
Responden yang memberikan detail lengkap dengan kaca berserakan tersebut memiliki ingatan palsu. Pada anak kasus ingatan palsu serupa bisa diperparah karena imajinasi dan keinginannya untuk mematuhi orang dewasa. Kamala mengatakan anak memiliki kecenderungan untuk memberikan jawaban yang dianggap memuaskan orang yang bertanya.
Jangan pojokan anak dengan pertanyaan


Dalam Diskusi itu, Kamala menekankan khususnya dalam wawancara investigasi pada anak, sebaiknya jangan membuat ana merasa terpojok sehingga akhirnya menjadikan ia mengalami “False Memory Syndrom” tadi.
"Anak-anak mudah percaya pada suatu hal sering ia dengar. Kita tidak bisa membedakan pernyataan benar atau palsu anak karena bagi mereka kejadian tersebut benar-benar terjadi," lanjut Kamala.
"Jadi biarkan anak-anak bercerita dengan kata-katanya sendiri. Anak bisa memberikan kesaksian yang dapat diandalkan jika orang dewasa tidak mengarahkan pertanyaan," tutupnya.
Anak anak juga akan cenderung menurut pada orang yang terlihat mempunyai kekuatan besar seperti polisi. “Saran saya, jika polisi memeriksa kasus pada anak jangan gunakan seragam. Itu akan membuat anak takut dan menjawab secara terpaksa”, ujar Kamala.
Menurutnya, kesalahan dari kebanyakan orang dewasa adalah merasa bisa mengidentifikasi kebenaran dari ucapan anak. Bahkan, beberapa teknik yang salah juga seringkali diterapkan untuk menggali informasi pada anak yang terkait kasus pelecehan seksual pada anak.
Dalam konteks kasus yang pernah terjadi, seringkali seorang tersangka digambarkan lebih dulu sebagai orang jahat sehingga fantasi anak mengikuti gambaran awal yang diberikan.
“Bahkan Ia akan berimajinasi dengan hal-hal yang tidak logis”, ujar Kamala.
Kesalahan terbesarnya, orang dewasa cenderung mengharapkan jawaban anak sesuai prasangkanya. Kamala menjelaskan hasil risetnya sendiri, yaitu ketika seseorang diceritakan sebagai orang jahat sebelum anak melihatnya, maka anak akan menanamkan itu dalam memory mereka. “Terbukti saat orang yang diceritakan datang, mereka menuduhnya sebagai orang jahat”, ujarnya.
Intinya, metode yang menggunakan pertanyaan negatif akan cenderung memunculkan false memory untuk mengikuti keinginan pewawancaranya.
“Semakin sugestif pertanyaan ke anak, semakin besar kemungkinan munculnya false memory pada anak”, tukas Kamala.
Karena itu Kamala berpesan, dalam banyak kasus dugaan pelecehan seksual pada anak, belum tentu yang  terjadi seperti yang digambarkan oleh anak itu.
Untuk menggali data dari anak korban pelecehan seksual, harus menggunakan psikologi forensik dan bukan psikologi klinis. Menurutnya, ada perbedaan antara keduanya.
“Psikologi Klinis hanya bersifat terapis, sedang forensik bersifat investigasi. Maka tidak bisa menggunakan hasil klinis dalam penyelidikan kasus pelecehan seksual pada anak”, tegas Kamala.
Apresiasi Sandiaga Uno atas hasil diskusi


Salah satu pengusaha nasional yang hadir dalam diskusi tersebut, Sandiaga Uno dan istrinya yang juga wali murid di JIS mengapresiasi hasil diskusi itu secara positif. Ia memandang bahwa memahami  masalah false memory ini memang sangat penting.
“Saya mengalami sendiri saat menjadi sebuah kasus di Singapura. Ketika Jaksa berulangkali bertanya soal hal yang sama, maka saya hamper cenderung ingn mengikuti jawaban yang diinginkannya”, ujar Sandiaga.
Ia berharap, hasil diskusi ini akan menjadi pembuka tabir kasus JIS saat ini. “Saya yakin bahwa tuduhan dalam kasus JIS ini tidak benar, orang-orang yang terzalimi seharusnya tidak mengalami hal yang tidak adil ini”, pungkas Sandiaga.
Sumber : http://antitesanews.com/news/politik/02-03-2015/147-waspada-false-memory%3Dsyndrom-anak-di-peristiwa-penting

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun