Sementara itu, dalam siaran persnya, Kontras mendesak pemerintah untuk menggunakan seluruh instrumen yang dimilikinya untuk menuntaskan berbagai kasus pelanggaran HAM berat.
"Negara berkewajiban untuk menggunakan seluruh instrumen akuntabilitas negara dalam penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat," kata Koordinator Kontras Haris Azhar dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu.
Menurut dia, janji-janji politik tidak boleh berhenti sebagai seremonial tahunan, namun aktualisasi janji-janji politik harus segera diturunkan dalam kebijakan-kebijakan hukum dan HAM untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi HAM yang sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional.
Kontras memandang bahwa agenda penegakan hukum yang terkait erat dengan agenda tanggung jawab negara masih belum mendapat ruang prioritas pemerintahan saat ini.
"Impunitas di sektor hak-hak sipil dan politik, maupun di hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya masih marak terjadi," katanya.
Ia berpendapat bahwa adanya hambatan politik di level institusional negara untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM pun bukan menjadi hal yang baru terjadi di Indonesia.
Untuk itu, ujar dia, akan jauh lebih bijaksana apabila Presiden Jokowi mampu membuat terobosan-terobosan yang melampaui janji politiknya.
"Janji Jokowi untuk memberikan perlindungan hak-hak rakyat pada isu ekonomi, sosial, dan budaya (Ekosob) pada pidato perayaan Hari HAM, harus dikonkretkan dengan peta penyelesaian konflik dan kekerasan di sektor bisnis dan agraria," tegasnya.
Kontras juga mengajak seluruh warga negara Indonesia turut memantau, terlibat aktif dengan menagih janji-janji politik, dan memberikan masukan kepada pemerintahan Jokowi-Kalla dalam mendorong agenda akuntabilitas HAM yang luas dan menyeluruh.
Hal tersebut karena partisipasi publik yang kuat akan memberikan dampak signifikan dalam dalam pemajuan HAM di Indonesia.