Mohon tunggu...
Nur Antika Agustin Putri
Nur Antika Agustin Putri Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Teratai

3 Januari 2014   22:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:11 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kadangkala, aku adalah sang surya yang menguasai segala elemen kehidupan di bumi, memerintahkan dedaunan untuk tetap hijau dan menemani ranting tetap kokoh. Kadangkala, aku juga adalah kabut yang selalu singgah saat hari baru saja dimulai, atau saat hari nyaris berakhir. Seperti apapun aku, sejatinya aku adalah yang selalu berbeda. Dan perbedaan inilah, yang membuatku merasa risih dan mencoba untuk menyamarkan diri.

Namaku Vioretta, penghuni kelas terburuk yang pernah ada di sekolah ini. Intinya, aku badung tingkat dewa dan nilai sekolahku sangat memuaskan untuk ditertawakan. Kalau kau pernah melihat genk tawuran pelajar, aku salah satu diantaranya. Rokok, dugem, minum, bully dan sejenisnya adalah rutinitasku. Aku adalah senior di sekolah ini, seniornya senior lebih tepatnya. Kalau angka tidak lulus di tahun 2010 terbilang cukup tinggi, aku setuju. Karena aku salah satu diantaranya. Hebat, kan? Terimakasih.

“Vio, malam ini ada acara nggak? Jalan sama gue yuk!” ajak Ben sok manis.

“Kalo lo butuh PSK, lo salah orang. Gue punya banyak acara penting ketimbang ngelayanin cowok macam elo, pergi lo!” sentakku galak. Catatan penting, meskipun aku anak badung, aku anti pelacuran. Karena itu menjijikkan! Dan beruntung, tuhan memberiku kelebihan untuk tahu niat licik orang dari sorot matanya. Ben terlihat kaget.

“Lo...gue kan nggak...” dia kebingungan mencari alasan.

“Alaaah, nggak usah sok manis deh lo. Lo pikir udah berapa kali gue ngehadepin cowok-cowok metropolitan macam lo? Asal lo tahu, disini, gue itu senior! Jadi jangan macam-macam sama gue, ngerti lo?” kuletakkan jari telunjukku tajam-tajam di jidatnya. Matanya terlihat ragu, dan aku tahu, dia pasti sangat malu.

Aku beranjak pergi, dan tak kudengar lagi panggilan dari Ben. Lo bisa make cewek mana aja yang lo mau, ben. Tapi bukan gue. Aku tertawa keras-kerasmengingat wajah bodoh cowok tadi.

BUKKK!!!

“Maaf, aku nggak sengaja,” seorang cowok menarikku berdiri, dan oh tuhan, cowok itu, ya benar! Dia yang selalu kukagumi dari kejauhan.

“Makasih,” jawabku sambil membenahi pakaianku, dia menatapku heran. Mungkin karena penampilanku yang kelewat batas. Tindik di hidung, baju dan rok kekecilan, rambut cokelat, dan semuanya. Akhirnya setelah lama sekali aku berdoa pada tuhan untuk mengenalkan aku padanya, saking malunya aku untuk mendekatinya, saking gengsinya aku dibilang suka cowok culun sepertinya, tapi aku tidak bisa lari dari perasaan ini. Tuhan, inikah rasanya? Sialan, aku jadi melow kalau sama cowok ini.

“Oh iya, ini punyamu. Permisi,” dia mengembalikan sebungkus rokok yang jatuh dari sakuku. Lalu pergi berlalu, pertemuan yang menyedihkan!

###

“Mama!” teriakku.

“Vi..Vio, kamu kok udah pulang?” aku menatap dua orang brengsek di depanku ini dengan tajam. Mama tampak merapikan diri.

“Kalau mau melacur di luar sana, di club malam! Nggak cukup ya tiap hari buat Vio muak sama Mama? Kalian ini kayak hewan, nggak tahu malu!” aku menekan kata-kataku.

“Apa kamu bilang? Kamu berani sama...” Mama tampak marah.

“Aku bilang, kalian ini kayak hewan. YA! Aku be-ra-ni sama kamu, Mar-ris-sa!” sudah jadi kebiasaanku memanggil nama mamaku seperti itu. Mama tidak sanggup berkata apa-apa lagi. Dia memang selalu kalah bicara denganku.

“Keluar sana! Ini bukan rumah kamu! Ini rumah papa! Dan sudah jelas aku yang mewarisinya, KELUAR! Ini bukan rumah pelacur! PERGIII!!!” teriakku menyuruh mamaku dan selingkuhannya keluar. Dasar orang tua tidak tahu malu. Aku mengunci kamarku, lalu menjatuhkan diriku di sudut kamar, menangis sejadi-jadinya. Kalau sesosok ibu yang selalu guru BK ku ceritakan seperti malaikat, tidak bagiku! Coba guru BK ku tahu seperti apa ibuku, wah bisa gila dia. Malam ini, aku kembali menangis. Papa, kembalilah.

###

Aku melempar batu didepanku dengan marah, malam ini sudah satu bungkus rokok kuhabiskan. Aku sudah benar-benar bosan dengan kehidupan ini. Aku sudah muak! Tiba-tiba kepalaku kembali pusing, akhir-akhir ini aku sering merasa sakit kepala. Tapi kali ini sangat sakit. Tidak, aku tidak bisa pingsan di pinggir jalan begini, aku nggak mau jadi makan malam om-om brengsek. Aduh, tuhan tolong aku... brukkk! Semuanya menjadi gelap.

Badanku sakit, dan kepalaku masih pusing. Tapi udara disekitarku rasanya berbeda. Rasanya lebih...nyaman. Aku membuka mataku. Bukan kamarku, langit-langitnya berwarna putih, seperti bangunan lama. Aku melihat ke sekeliling, ini...dimana?

“Hey, sudah bangun?” suara laki-laki, gawat! Aku memeriksa pakaianku. Huh, lega.

“Kamu pingsan di pinggir jalan tadi malam. Kebetulan aku lewat, kamu nggak sadar-sadar waktu dibangunkan. Aku langsung membawamu kesini,” aku tahu laki-laki itu, dia...yang ku tabrak waktu itu. Ya, tidak salah lagi.

“Minum dulu, untung ini hari minggu. Sekolah libur,” dia duduk di sampingku. “Namaku Nathan, ini kost-ku. Kamu siapa?” tanyanya.

“Vioretta, panggil saja Vio.” Sambil memegangi kepalaku, aku mencoba minum.

“Kamu kelas mana sih? Kok jarang kelihatan,” tanyanya. Jarang kelihatan? Apa dia terlalu culun sampai-sampai tidak mengenaliku? “Oh maaf, mungkin aku yang jarang kelihatan. Aku kelas duabelas ipa satu,” katanya. Ooo anak pintar.

“Aku duabelas ips enam,” dia tampak kaget. “Ya, aku bukan siswi baik-baik. Aku bahkan tidak lulus tahun kemarin. Kamu pasti nggak suka cewek kayak aku kan? Oke, aku bisa pergi sekarang,” aku mencoba berdiri.

“Hey, emang mukaku kelihatan gitu ya? Biasa aja kok, orang kan beda-beda. Kepalamu masih pusing kan? Istirahat dulu aja, nanti ku antar pulang. Mau makan apa?” aku tahu, aku tahu tidak ada niat buruk dalam dirinya. Kalau dia biasa saja denganku, aku yang tidak biasa dengannya. Dia terlalu...baik. dan aku tidak terbiasa dengan orang baik, selain papaku. Aku memintanya bercerita. Hari ini dia menceritakan keluarganya, cita-citanya, teman-temannya, dan apapun. Dia sangat terbuka.

“Sekarang kamu yang cerita, aku udah cerita banyak,” kata Nathan.

“Lo nggak pengen dengerlah, bad story. I swear,” tolakku.

“Nggak ada cerita bagus kalo semua cerita di dunia ini bagus, nggak pa-pa Vi, aku dengerin kok. Baik ataupun buruk, kita kan teman,” katanya.

“Hah, teman? Yakin lo? Gue baru kenal lo beberapa jam,” kataku.

“Kalo lo nggak benci sama gue, berarti kita teman. Oke?”

Aku hanya tersenyum, lalu mulai menceritakan kisahku sendiri. Jujur, tanpa ada yang kututup-tutupi. Tentang orangtuaku yang kacau, Mamaku yang mulai gila, kehidupan malamku, statusku di sekolah, rutinitasku, dan semuanya. Dan tak kusangka, Nathan mendengarkanku dengan baik. Tanpa menyela sedikitpun.

###

Hari baru, aku tidak ingin bertemu pelajaran membosankan lagi di tempat penuh aturan bernama sekolah itu. Aku keluar rumah, menuju kafe yang sering kukunjungi. Kuhidupkan sebatang rokok yang tersisa di saku bajuku, lalu mulai terlarut dalam pikiranku. Terbayang wajahnya, yang aku sendiri malu untuk mengakuinya. Lagipula, dia hanya menganggapku teman, dan mustahil orang baik sepertinya bisa menerima orang seperti aku. Tanpa sadar, aku mulai terlelap.

“Maaf, tolong dimatikan rokoknya,” seseorang membangunkanku. Matahari semakin panas, aku yakin hari sudah siang. Ku angkat kepalaku dan...

“Nathan? Lo ngapain disini?” tanyaku kaget.

“Aku kan kerja disini, Vi,” jawab Nathan sambil mengambil rokokku.

“Oh, sori sori biasanya gue ngerokok nggak dilarang tuh,” ralatku.

“Iya, nggak inget ya ini hari apa? Ini hari AIDS sedunia, jadi kafe ini mengadakan satu hari bebas rokok dan narkotika, itu sih maunya si bos,” jelas Nathan. Aku tersentak, tiba-tiba kepalaku kembali pening. Suaraku serasa tercekat dan dadaku sesak, hari AIDS? Aku pernah dengar, ya, ini bulan Desember. Bagaimana nasib para penderita AIDS?

“Orang yang terkena AIDS pasti mati ya, Tan?” tanyaku. Nathan hanya tersenyum.

###

Malam yang indah, aku merentangkan tanganku seakan sedang terbang. Aku tidak tahu kalau ada tempat seindah ini, yah, oke aku hanya berkeliaran di diskotik saja selama hidupku. Dan teman-temanku pun sejenis denganku, tiap malam ditemani berbotol-botol minuman dan musik keras sampai pagi menjelang. Mungkin pertemuan ini hanya kebetulan, tapi mengapa kebetulan ini kurasa seperti keberuntungan?

“Tan, lain kali sering-sering ajak gue main dong!”

“Haha, aku kan kenal kamu baru tiga hari ini, Vi. Oke deh kalo nggak sibuk aku ajak kamu keliling dunia,” katanya sambil tertawa.

“Serius lo?” lagi-lagi Nathan hanya tersenyum, dia tidak pernah benar-benar menjawab pertanyaanku. Dia memintaku duduk, dengan berani kusandarkan kepalaku di pundaknya. Lalu mendengarkan cerita Nathan yang selalu membuatku nyaman berada di dekatnya. Dia mengelus kepalaku pelan, tapi aku dengan jelas merasakannya.

“...dia adikku satu-satunya. Mirip sama kamu, nakal nggak bisa diatur. Sudah berapa kali ibuku menangis karena sikapnya. Tapi sayang, mungkin tuhan sudah rindu padanya. Saat usianya tepat sepuluh tahun, Abel meninggal. Dia tertabrak bus waktu pulang sekolah, sejak saat itu ibuku jadi trauma. Beliau sakit-sakitan hingga akhirnya menyusul Abel. Sekarang tinggal aku sendiri, ayahku sudah meninggal saat usiaku tujuh tahun dan Abel masih lima tahun. Cerita hidup orang memang beda-beda, Vi. Yang terpenting, bagaimana caramu untuk mensyukurinya, bukan menyalahkannya,” aku menatap Nathan nanar, mataku serasa panas, dan pipiku sudah mulai basah. Tuhan, kalau saja aku bisa membahagiakannya.

Hari Kamis, semalam aku lembur. Melepas semua tindik di tubuhku, mengembalikan rambut hitamku, membersihkan cat kuku-ku, melepas behelku, membuang rokokku, memperbaiki seragam sekolahku dan image-ku!

Sekolah heboh, benar saja. Sebenarnya aku malu, tapi aku mulai berpikir. Kapan lagi tuhan memberiku waktu untuk berubah? Aku masuk kelas, dan siapa sangka. Semua orang terdiam melihatku, aku tidak ambil pikir, biar saja mereka mau nggosip apa lagi.

“Lo tobat ceritanya, Vi?” Ben duduk di mejaku, aku diam saja “Jadi ini alasannya lo nggak mau gue pake?” dia tertawa diiringi tawa seisi kelas.

“Kalo lo pikir gitu, berarti lo harus ke psikiater, Ben. Lo udah bego kelas dewa!”

“Lo udah berapa kali ngehina gue...” Ben hendak menamparku.

“Heh!” tiba-tiba Evan menahan tangannya. “Bener tuh kata Vio, lo tuh udah bego, belagu lagi! Banci lo berani sama cewek,” katanya, Ben langsung terdiam. Iyalah, Evan kan bosnya genk paling rese di sekolah ini. “Tenang aja, Vi. Lo masih sobat gue, kok,” katanya. Aku hanya tersenyum sambil ber-tos ria ke Evan. Vioretta dilawan, jangan salah!

###

Jalanan tampak berguncang, udara disekitarku tiba-tiba dingin, rabun, dan gelap. Tubuhku terasa berat, lalu aku terjatuh pingsan.

“Kenapa kamu nggak cerita ke aku, Vi?” aku membuka mata, lalu menoleh padanya.

“Maaf, gue nggak mau lo jadi jijik sama gue dan nggak mau jadi temen gue lagi, gue nggak suka kehilangan, Tan. Gue nggak mau,” aku ku jujur.

“Kata siapa? Kita teman kan, Vi. Ada saat senang, juga susah.”

“Gue bukan siapa-siapa lo. Gue ini udah hancur dari dulu, gue tinggal nunggu mati, Tan. Lo nggak usah meduliin orang macam gue!”

“Kamu tahu nggak apa artinya sayang?” tanyanya, dan aku menggeleng. “Sayang itu, selalu berusaha melindungi, apapun akhirnya akan seperti apa.”

“Aku sayang sama seseorang, tapi aku nggak pernah melindunginya,” balasku.

“Jadi, beri dia kesempatan untuk melindungimu.” aku pun terdiam, semuanya berjalan terlalu singkat sampai aku tidak tahu harus bagaimana. Ya, aku penderita HIV-AIDS, aku tahu itu sejak tiga bulan yang lalu. Saat sakit kepalaku berubah dari jarangmenjadi selalu. Bulan Desember, mungkin ini bulan terakhirku. Dokter bilang usia karena AIDS ini masih cukup panjang sampai setahun kedepan, tapi kanker di otakku lah yang membuatku harus segera mengakhiri rasa sakit ini. Aku sakit, fisik maupun psikisku.

Di bulan terakhir ini, aku tidak lagi menutup-nutupi penyakitku dengan make-up yang dulu selalu mirip Avril Lavigne. Kubiarkan saja wajahku terlihat pucat, rambutku yang mulai rontok dan mataku yang semakin cekung dan berkantung. Ini minggu terakhirku, tadi pagi Mama menjengukku di rumah sakit, sok peduli. Aku tahu niatnya seperti apa, tapi kali ini aku tidak bertengkar lagi dengannya. Aku hanya diam saja selama dia berbicara atau bertanya padaku. Dia hanya mensupportku lewat rupiah yang dikirimnya ke rumah sakit.

Dan tentang Nathan, dia kesini setiap hari sepulang sekolah. Kubilang padanya untuk menyampaikan suratku untuk teman-temanku sekelas, yang isinya permintaan maaf dan perpisahan.

“Tan, ini hari yang terakhir kan?” tanyaku. Nathan tidak menjawab, ia tersenyum. Lalu mendudukkanku di kursi roda, mengajakku keluar dari kamar pengap ini. Kami berdua duduk di pinggir kolam, lalu Nathan memberiku bunga.

“Kenapa bunga teratai?” tanyaku.

“Karena teratai itu bunga yang kuat. Dia hidup diantara kehidupan yang kotor, air yang kotor, hewan-hewan kotor, tapi dia tumbuh dengan cantik dan indah. Tidak peduli sekotor apa lingkungannya, semoga Vio juga bisa tegar dan tetap menjadi baik sekalipun ia hidup diantara orang-orang jahat,” Nathan memelukku dengan sayang, aku menangis terisak, dadaku sesak. Sangat sesak, nafasku tersengal-sengal. Nathan mendekapku semakin erat. Tuhan, kalau ini hadiahku disaat terakhir kau ijinkan aku hidup, terimakasih...

Aku selalu dipertemukan dengan orang yang berbeda, membuat mereka yang menyimpang kembali ke jalan yang benar. Dan setelah aku menyayangi mereka, tuhan mengambil mereka dariku. Meskipun begitu, aku bersyukur, setidaknya tuhan memberiku kesempatan untuk berbuat baik. Selamat jalan, Vio. Kuharap kau menjadi teratai yang tegak berdiri. –Nathan-

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun