Mohon tunggu...
Anthony Tjio
Anthony Tjio Mohon Tunggu... Administrasi - Retired physician

Penggemar dan penegak ketepatan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Bacang dalam Bungkusan Legendanya

18 Juni 2018   15:16 Diperbarui: 18 Juni 2018   18:44 3313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dua corak cang utara dan selatan. (www.pricetravel.com.mx)

Bacang adalah lemper atau arem-arem Tionghoa yang bisa dinikmati setiap hari, hanya saja bila tiba pada waktu dipertengahan tahun, bermunculan banyak tulisan yang menceritakan legenda untuk makanan nasi ketan dalam bungkusan daun bambu yang berbentuk piramida ini.

Pada umumnya yang diceritakan sebagai berikut:

Makan bacang dan lomba perahu naga adalah ritual memperingati seorang penyair Tionghoa bernama Qu Yuan di zaman dulu, dia pada hari Duan-wu sekitar 2400 tahun lalu bunuh diri menerjun ke kali, yaitu pada hari dipertengahan tahun yang merupakan titik balik matahari, atau yang di Barat disebutnya "Summer Solstice" pada bulan lima tanggal lima dalam kalender Imlik.

Konon sewaktu keakhiran dinasti Zhou di abad 3 Sebelum Masehi, Tionghoa terpecah belah dalam Masa Peperangan negeri-negeri adipati, dimana ada dua dari tujuh negeri adipati yang terkuat, yaitu negeri Qin yang terletak di barat dan negeri Chu yang sangat besar dan lebih kuat diselatannya Yangtze River.

Peta Masa Peperangan di Tiongkok 2400 tahun lalu. (commons.wikimedia.org)
Peta Masa Peperangan di Tiongkok 2400 tahun lalu. (commons.wikimedia.org)
Walaupun pada akhirnya semua negeri adipati itu dicakup dan Tionghoa dipersatukan oleh Qin di tahun 221 BC, tetapi sebelumnya itu, Chu itu yang ditakuti oleh siapapun, termasuk Qin yang terkenal dengan keganasannya tetapi jauh lebih kecil negaranya dibandingkan Chu.

Kedua negeri itu bermusuhan tetapi sama berhati-hati menjaga diri, saling menunggu kesempatan dan mencari siasat bagaimana bisa memusnahkan yang satunya. Maka tiba akalnya Qin mengirimkan dutanya untuk mengundang raja Chu berkunjung ke ibukota Qin dan menikahi putri raja Qin, sementara sebagai pertanda damai dua negara, supaya Qin bisa menghindari serangan Chu yang lebih kuat, dan juga memberi waktu Qin memperkuat tentaranya sendiri.

Sang Raja Chu Huai-wang tertarik pada undangan Raja Qin Zhao-wang tersebut dan bersedia membawa 2 putranya untuk bersama menuju ke pertemuan didalam wilayah negeri Qin, tetapi muncullah seorang anggauta kabinet yang bernama Qu Yuan yang mengkhawatirkan keamanan sang raja pergi kesana, dan menasehatkan Chu Huai-wang jangan pergi, ini tidak didengar malah membuat marah sang raja, sehingga Qu Yuan dipecat seketika itu juga dan dihukum pulang kembali kampung.

Qu Yuan ini sebetulnya juga keturunan bangsawan yang masih sedarah dengan sang raja Chu, dia sangat pandai dalam sastra dan banyak menulis puisi, walaupun banyak peninggalan ciptaannya itu sekarang sudah disangsikan ketulenannya, dia hanya diberi kedudukan kehormatan kecil dalam kabinet kerajaan Chu yang diserahi  urusan protokol penyambutan tamu luar negeri. Selama hidupnya tidak menyolok dalam kenegaraan dan tidak sampai terkenal maupun berjasa apapun dalam kerajaan Chu.

Ternyata dugaan Qu Yuan benar, Raja Chu Huai-wang tertipu, bersama dua anaknya segera ditawan oleh Raja Qin Zhao-wang, tidak dipulangkan lagi, selama 3 tahun raja itu sakit-sakitan dan akhirnya meninggal dunia dalam tahanan di Negeri Qin. Sementara itu Chu sudah menggantikan rajanya, yang sekarang ini lemah dan berkali-kali kalah dalam serangan Qin, sehingga Chu banyak kehilangan wilayahnya.

Qu Yuan menderita depresi berat setelah dipulangkan ke kampungnya yang terletak didekat Bendungan Raksasa Three Gorges sekarang.

Dia mengutarakan dalam puisinya segala penyesalan dirinya yang tidak berjasa kepada negaranya yang makin menjadi lemah. Sering memandang bayangan sendiri yang tercermin dipermukaan air di sebuah sumur, dan pada suatu hari dia mengunjungi daerah Mi-luo yang kebetulan disana sedang mengadakan perayaan Hari Setan, setahun sekali orang setempat merayakannya diatas kali, dia memeluk sebuah batu besar dan terus terjun bunuh diri, mayatnya diketemukan terdampar ditepi kali beberapa hari kemudian.

Cerita hidupnya baru dikenal dalam catatan sejarah yang ditulis sekitar seratus tahun setelah kematiannya, sedangkan legenda Qu Yuan yang dibumbuhi makan bacang itu baru muncul dari karya pujangga zaman Song, seribu tahun setelah peristiwa bunuh diri tadi.

Pacuan perahu memang sudah kebiasaan orang disana sebelum kematian Qu Yuan, tetapi timbulnya pacuan perahu naga yang disebut Peh-cun itu baru mungcul pada abad 18 di Zejiang dan Hokkian, yang kemudian ditahun 1930an menjadi popular di Kanton sekitar Guangzhou.

Demikianlah makan bacang dan lomba kapal naga sebagai perayaan Duan-wu, secara umum sudah dihubungkan dengan legenda Qu Yuan yang dipahlawankan, karena dia bunuh diri dipertengahan keramaian perayaan Hari Setan di Sungai Mi-luo, salah satu cabang Yangtze River di Hubei.

Apa itu perayaan Hari Setan yang kebetulan disaksikan Qu Yuan sesaat dia bunuh diri? Bisa dijelaskan sebagai berikut.

Sejak purba bangsa Tionghoa terbagi oleh Sungai Yangtze, di utaranya adalah Tiongkok Semula, diselatannya adalah kebangsaan Yue atau Viet Tiongkok Selatan, mereka juga yang menyebar luas sebagai penduduk semula Nusantara. Chu tergolong kebangsaan Tiongkok Selatan yang mempunyai kebudayaan Samanism atau kedukunan yang kental itu, mereka juga pengamat bintang dan bulan.

Bangsa Chu mengenal sehari yang tepat di pertengahan tahun itu luar biasa panasnya dan sangat panjang siang harinya. Untuk melunakkan Naga Air yang sering mengamuk, pengakibat musibah kebanjiran, bencana lebah dan penyakit menular yang mematikan di musim panas, maka pada hari tanggal 5 bulan 5 Imlik itu rakyat setempat menyuap Naga dengan makanan "cang" yang ditaburkan dari atas perahu kedalam kali.

Makanan cang tersebut ada yang menafsir hanya berupa beras mentah dalam bumbung yang ditaburkan ke permukaan kali. Hari tersebut dinamakan Hari Setan, sekarang diperindah dengan sebutan "Duan-wu" yang artinya tepat dipertengahan siang.

"Cang" itu sebetulnya arem-arem, nasi dan lauk dalam bungkusan daun yang berbentuk tabung, di dalamnya diberi cabe, orang Chu doyan makan pedas. Sedangkan perahunya biasa saja, tidak berhias naga maupun berpacuan. Perayaan ini sudah berlangsung mungkin ratusan tahun sebelum Qu Yuan bunuh diri dimuka mereka.

Akibat bunuh diri itu terus dia dipahlawankan sebagai penyair pecinta negara, yang melalui puisinya dia menyayangi negerinya yang sudah menghadapi kehancuran. Padahal apakah memang begitu alasannya dia bunuh diri? Itu sudah menjadi pertanyaan orang beratusan tahun. Dia sebetulnya sudah ada gejala mau bunuh diri, berkali-kali mencoba terjun masuk kedalam sumur dirumahnya. 

Biasanya diwaktu itu, seseorang diam-diam bunuh diri dengan gantung diri atau masuk kedalam sumur, dia memilih terjun ke kali dimuka umum, itu semata-mata gejala penderita depresi yang berat, yang biasa memilih bunuh diri di tengah keramaian hari raya.

Pada saat dia masuk ke kali, belum tentu ada orang yang memperhatikan siapa itu dia yang terjun ke kali, tetapi ada banyak perahu yang keburu-buru menuju kesana, tetapi seketika itu tidak berhasil menulungnya, sehingga tidak mungkin juga yang seperti dilegendakan bahwa rakyat setempat juga beramai-ramai mengusir naga air, membuang cang ke kali supaya tidak memakan jazatnya. Namun dikemudian hari, hal itu sudah dijadikan keramaian Peh-cun, lomba dayung kapal naga.

Sekarang kita pada umumnya merayakan Peh-cun itu buat Qu Yuan, pada hal cerita yang menyangkut rakyat setempat melemparkan sesajian cang kedalam kali untuk memperingati seseorang pahlawan selain Qu Yuan itu memang juga ada diantara bangsa Chu, itu sudah ada beberapa ratus tahun sebelum Qu Yuan, di zaman Spring dan Autumn 500 BC Tiongkok, dan yang inilah merupakan asal mulanya perayaan Duan-wu dan makan cang.

Peta Tiongkok zaman Spring and Autumn 500 BC. (theculturetrip.com
Peta Tiongkok zaman Spring and Autumn 500 BC. (theculturetrip.com
Ada seorang negarawan asal Negeri Chu, namanya Wu Zi-xu, anggauta sekeluarganya dibunuh tuntas oleh raja Chu yang diwaktu itu, untungnya dia berhasil melarikan diri ke negara tetangga, Wu sebagai buronan politik di Hangzhou, disana dia menunjukkan kesetiaannya kepada raja Wu Ge-lv yang mengenali kemampuannya, dari kecanggihan memerintah negara dan memperkuat militernya, dia sampai diangkat sebagai perdana menteri, sehingga Negeri Wu menjadi makmur dan kuat. 

Dia sangat dipercayai oleh Raja tua Wu dan dicintai oleh rakyatnya, sampai dia dipesani supaya terus membimbing dan mengawasi raja muda yang menggantikannya. Namun sekarang raja muda Wu itu tidak pedulikan wawasannya bahwa musuh Negeri Chu suatu hari bakal bisa memusnahkannya, malah karena kebanyakan nasehat yang membikin marah si raja muda sehingga dia dihukum mati secara kejam. 

Sebelum mati dia berpesan supaya mengambil kedua matanya digantungkan diatas dinding benteng ibukota, maka nantinya dia masih bisa menyaksikan kehancuran Negeri Wu yang seperti diramalkan, kemudian mayatnya yang hancur lebur juga dibuang kedalam Sungai Qiantang di Hangzhou.

Wu Zi-xu ini pernah membawakan kebudayaan Chu dari kampung halamannya sewaktu memerintah Negeri Wu di Hangzhou, di antaranya adalah kebiasaan perayaan Hari Setan, sehingga setelah mayatnya dilempar ke Sungai Qiantang, tidak peduli pelarangan Raja Wu-wang Fu-chai, rakyat pada mencari kembali mayatnya dan dikebumikan, setelahnya rakyat setempat beramai-ramai pada setiap Duan-wu menaburkan sesajian bacang ke kali dari atas perahu untuk memperingatinya, hal yang sama ini, beberapa ratus tahun kemudian dilakukan untuk memperingati seorang penyair yang bunuh diri, Qu Yuan. 

Demikianlah seorang penderita depresi berat yang cuma meninggalkan beberapa ciptaan puisi yang mengharukan, maka setelah dia mati bunuh diri terus dipahlawankan melalui pena para pujangga di kemudian hari, sehingga Qu Yuan yang selalu dikaitkan dengan perayaan Duan-wu, malah bukan pahlawan dan negarawan pecinta negara yang sesungguhnya, Wu Zi-xu, yang sesungguhnya dialah yang tercatat dalam buku sejarah sebagai pemula perayaan Duan-wu dan makan bacang, jauh sebelum adanya Qu Yuan.

Sejak purba kala nasi beras merupakan makanan pokok orang Tionghoa di bagian selatannya Yangtze River, dari semula mereka mengolah nasi secara menggodok tabung bambu berisi beras dengan sumbatan daun-daunan, sampai hari ini nasi bumbung seperti itu masih juga beredar di lingkungan rakyat semula disana, maka cang semula yang dilempar ke kali beberapa ribu tahun lalu sebetulnya berupa nasi bumbung tersebut yang dikemudian harinya menjadi bentuk nasi bungkusan daun.

Makanan bungkusan daun yang serupa cang sudah menyebar ke seluruh Asia maupun sampai di Benua Amerika dalam bentuknya masing-masing, seperti bacang, arem-arem, lemper sampai burrito, bisa jadi penyebarannya juga melalui perantauan manusia yang berasalkan dari Tiongkok Selatan ini.

Di Tiongkok sendiri, ada 2 macam cang:

Dua corak cang utara dan selatan. (www.pricetravel.com.mx)
Dua corak cang utara dan selatan. (www.pricetravel.com.mx)
Pertama, yang berbentuk panjang seperti arem-arem, itu corak Tiongkok Utara, bisa jadi inilah yang aslinya.

Kedua, yang berbentuk piramida seperti yang biasanya kita temukan, itu corak Tiongkok Selatan yang muncul di Hokkian, disana terus mendapatkan berbagai modifikasi, sehingga menjadi bentuk terakhir sekarang yang berisi daging, maka disebutnya ma-cang dalam lafal Hokkian dan menjadi bacang di Nusantara, yaitu cang yang berisi daging.

Dari jenis bacang inipun bisa dibedakan 2 macam: yang untuk dimakan sehari-hari yaitu bacang dengan ikatan tali warna putih atau warna apapun kecuali warna merah, yang dengan ikatan pita warna merah itulah yang khusus dibuat untuk memperingati Qu Yuan diwaktu perayaan Duan-wu.

Cang Vietnam berupa ketupat. (gambar vovworld)
Cang Vietnam berupa ketupat. (gambar vovworld)
Perlu disini menyebutkan cang Vietnam, yang di Vietnam, cang tersebut berbentuk kotak persegi, bagaikan ketupat, bisa jadi dari perantauan Muslim Campa yang dari Vietnam membawakan ketupat itu untuk perayaan Idul Fitri di Nusantara sampai sekarang.

Dalam perayaan Dayung Kapal, Peh-cun, di zaman sekarang ini, adalah sekadar perayaan sehari dimana siangnya paling panjang yang jatuh tepat dipertengahan setahun, dengan kegiatan olah raga di atas air yang merupakan pacuan perahu, tentu juga tidak ketinggalan makanan khasnya, bacang. Kita juga boleh makan arem-arem saja, itulah cang yang asli.

Monterey Park, CA. Duan-wu, 18 Juni 2018.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun