Baru-baru ini saya mendapatkan pertanyaan ini, "Pak Anthony, apakah ada beda antara EQ dengan EI?"
Mana yang lebih tepat dipakai, EQ atau EI? Yuk mari kita kupas.
Dalam prakteknya, kedua istilah ini memang dipakai saling bergantian. Saya sendiri, sering memakainya secara bergantian. Kadang pakai EQ, kadang juga menyebut EI. Tapi, sebenarnya kalau kita telaah, keduanya punya makna yamg sebenarnya agak berbeda. Jadi, meskipun EI (Emotional Intelligence) atau EQ (Emotional Quotient), sama-sama dipakai untuk menjelaskan soal kecerdasan emosional, maknanya agak lain.
Kalau dilihat dari sejarahnya. Istilah kecerdasan emosional yakni EI (Emotional Intelligence) sangat terinspirasi oleh idenya Thorndike di tahun 1920 yang pertama kali memperkenalkan kecerdasan sosial. Lantas, di tahun 1985, istilah yang pertama kali dipakai adalah EI yang digunakan oleh Wayne Payne dalam disertasi doktornya yang berjudul "A study of emotion: developing emotional intelligence".
Dua tahun kemudian, Keith Beasley di British Mensa Magazine edisi Mei 1987 menyebut istilah "Emotional Quotient". Dan istilah EQ jadi makin populer ketika majalah Time membuat sampul di edisi 2 Oktober 1995 yang berjudul "What's Your EQ" setelah publikasi buku Daniel Golenan yang berjudul "Emotional Intelligence: Why It Matter More Than IQ".
Dari sejarahnya sendiri, kita melihat adanya ketidakkonsistenan dalam penggunaan istilah EI atau EQ. Jadi dimana sih letak perbedaannya?
Sebenarnya, istilah EQ, banyak terinspirasi oleh IQ. Pengertiannya adalah adanya kata "quotient" yang maknanya adalah pengukuran. Jadi setiap kali kita bicara soal EQ sebenarnya memfokuskan pada mengukur pemahaman dan kemampuan sesorang dalam menangkap, memahami, mengelola serta menggunakan pegetahuan emosinya.
Fokusnya pada pengetahuan orang soal emosi. Karna itulah muncul tes EQ untuk mengukur kemampuan ini. Sayangnya, banyak yang menganggap bahwa EQ itu tidak mengukur yang sesungguhnya. Alias, tidak praktis. Alasannya, orang bisa saja punya EQ tinggi tapi belum tentu dalam prakteknya orang tersebut bagus. Dengan alasan inilah, beberapa ahli agak menolak istilah EQ.
Tapi, ada juga beberapa ahli misalkan penulis dan pembicara Dr. Shawn Andrew yang lebih suka pakai istikah EQ. Alasannya, menurutnya karna kita sudah kenal istilah IQ (Intellectual Quotient). Maka, untuk konsistennya adalah menggunakan istilah EQ (Emotional Quotient).
Sementara itu, ada pengertian Emotional Intelligence (EI) yang maknanya adalah soal kemampuan seseorang untuk memahami perasaan dirinya dan orang lain, mampu menggunakan informasi ini buat mengarahkan cara berpikir dan bertindaknya. Itulah pengertian yang dipelopori oleh Peter Salovey dan John Mayer. Intinya, kalau dalam hal EI, bukan melulu soal pengetahuannya tapi kemampuan yang harus ditunjukkan. Jadi, bukan lagi cuma sekedar pengukuran seperti yang terjadi pada EQ.
Kalau diperhatikan, Daniel Goleman yang mempelopori kecerdasan emosional pun, lebih senang menggunakan istilah EI, bukan EQ. Menurut Goleman, istilah EI lebih tepat karena mengacu pada kemampuan praktis yang ditunjukkan seseorang.