Mohon tunggu...
Anthony Dio Martin
Anthony Dio Martin Mohon Tunggu... Human Resources - WISE (Writer, Inspirator, Speaker, Entepreneur), CEO HR Excellency - MWS Indonesia, Penulis 18 Buku, Ahli Psikologi, Profesional Coach

Anthony Dio Martin, WISE (writer, inspirator, speaker dan entepreneur) dan juga ICF certified executive coach, yang dijuluki "The Best EQ Trainer Indonesia". Beliau penulis 18 buku dan lebih dari 25 CDAudio. Salah satu bukunya menerima penghargaan MURI. Beliau pernah memandu beberapa program motivasi di TV kabel, saat ini punya siaran rutin program radio “Smart Emotion” di SmartFM. Youtube: anthony dio martin official IG: anthonydiomartin Kontak & info: 021-3518505 atau 3862521 atau email: info@hrexcellency.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bisakah Kenaikan Gaji Mengurangi Korupsi?

17 Maret 2018   11:37 Diperbarui: 17 Maret 2018   11:39 1752
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
SUMBER GAMBAR: hardianimalscience.wordpress.com

Kali ini, saya tergelitik untuk membahas Psikologi Korupsi!

Mari kita mulai dari sebuah studi kasus aja. Hal ini terjadi di negeri Ghana. Di tahun 2010, pemerintah mereka melakukan reformasi di tubuh kepolisian. Faktanya, banyak terjadi pungutan liar di jalanan yang dilakukan oleh para polisi di jalan-jalan. Akhirnya, di tahun 2010, gaji polisi didobel alias di dua kali lipatkan.

 Lantas, penelitian yang serius dilakukan untuk meneliti apakah terjadi perubahan ataukah tidak. Pengumpulan data yang teliti dilakukan antara 2006 hingga 2012 oleh United States Agency for International Development (USAID) West African Trade Hub yang melibatkan 2.100 truk serta sekitar 45.000 kesempatan melakukan suap. 

Hasilnya cukup meresahkan. Menaikkan gaji polisi, ternyata tidak berpengaruh terhadap menurunnya angka pungli tersebut. Malahan, justru dengan gaji yang dinaikkan, polisinya malah masih tetap agresif melakukan pungutan liar. Dan yang lebih parahnya, jumlah angka yang dipungut justru makin tinggi.

Bagaimana menurutmu, dengan negara kita?

Yuk Lihat Dulu Hasil Riset Soal Pengaruh Naik Gaji Terhadap Korupsi...

Jadi, adakah pengaruh gaji terhadap korupsi? Adakah pengaruhnya? Jawabannya ternyata ada, tapi hampir tidak terlalu penting. Pernahkah sungguh-sungguh diteliti? Ada lho.

Pada awalnya, orang memang masih yakin bahwa kenaikan gaji, akan menurunkan korupsi. Hal ini didasarkan pada penelitan terkenal yang pernah dilakukan oleh Van Rijckeghem dan Weder di tahun 2001. Hasilnya? Negara dengan gaji tinggi pada aparatnya, angka korupsinya ternyata lebih rendah. Namun, riset ini belakangan lantas dikritik habis-habisan. Salah satu penyebabnya karena angka gaji yang mereka pakai ternyata dirata-rata dengan cara membagi jumlah uang yang pemerintah keluarkan dengan jumlah karyawannya. Data ini dianggap bias.

Makanya, Jakob de Haan, Erik Dietzenbacher, Vn H Le di tahun 2013 melakukan penelitian dengan data yang lebih akurat. Hasil akhirnya, pengaruh kenaikan gaji terhadap menurunnya korupsi hanya sekitar 0,35 (dari skala 0 hingga 6). Jadi, betapa nyaris tidak ada pengaruhnya. Malahan, menurut penelitian ini, menambah gaji justru menjadi upaya yang terlalu mahal untuk mengurangi korupsi. Dengan kata lain menurut mereka, hasilnya tidak sepadan!

Jadi, Bisakah Kenaikan Gaji Mengurangi Korupsi?

Pertanyaan tersebut sebenarnya perlu dicermati latar belakang logikanya. Intinya pertanyaan di atas sendiri sudah dimulai dengan sebuah logika yang perlu dipertanyakan. Logika yang dipakai adalah begini: "Orang melakukan korupsi karena sedikitnya gaji mereka". Setujukah? Mungkin ada yang menjawab iya, tapi mungkin banyak pula yang menjawab tidak. Namun, kalau kita perhatikan fakta dilapangan, masalah korupsi itu sungguh bukanlah banyak tidaknya uang yang diterima. Kita tahu, masalah korupsi lebih pada masalah karakter seseorang serta control yang ada.

Sebagai contohnya. Di Yogya, di Keraton, saya punya rekan yang orang tuanya bekerja sebagai abdi dalem. Kita tahu bahwa pekerjaan tersebut, lebih banyak berkaitan dengan pengabdian daripada jumlah uang yang diterima. Teman saya menyebutkan angka yang sangat minim, tetapi dia menyebutkan bagaimana orang tuanya sangat jujur, tidak pernah korupsi sedikitpun ataupun mengeluh soal jumlah yang diterima. Lagipula, kebutuhan pokok mereka sudah diperhatikan.

Sebaliknya, mari kita perhatikan beberapa kasus di dalam dan luar negeri. Di Jepang misalkan, beberapa Perdana Menteri atau pejabat tinggi harus memundurkan diri dari posisinya gara-gara ketahuan isu suap. Misalkan saaja di tahun 2016, Menteri Ekonomi Akira Amari mundur gara-gara isu suap. Berapa sih gajinya? 

Memang sih tidak ada data terbaru. Tapi, rata-rata data dari tahun 2005 dari majalah President mengatakan bahwa kurang lebih gaji menteri di Jepang adalah Rp 3,041 miliar /tahun. Bayangkan betapa banyaknya angka itu, tapi mengapa tetapi korupsi? Jawabannya satu, masalah korupsi mungkin bukan lagi soal jumlah gaji, tapi pada masalah karakter orangnya. Dengan kata lain, kalau mentalnya korup, mau berapapun gajinya ya tetap saja tidak akan pernah cukup!

Naik Gaji, Korupsi Malah Makin Menjadi-Jadi

Itulah yang justru terjadi di negara Ghana. Polisi dinaikkan gajinya, malahan makin tinggi angka punglinya. Parahnya, kenaikan gaji justru menjadi "posisi tawar-menawar" yang semakin tinggi dengan korbannya. Ilustrasinya begini, katakanlah dulu gaji polisi Rp 1jt. Pungli 100 ribu termasuk lumayan. Karena nilainya 10%. Lantas, gaji polisi dinaikkan menjadi 2jt. Maka, uang 100rb menjadi hanya 5% dari gajinya. Logikanya, kalau memang korup maka polisinya akan meminta uang 200ribu. Masuk akal kan? Dan memang demikianlah yang kemudian terjadi.

Sekarang, kita tidak ingin bicara soal Ghana. Mari kita bicarakan soal korupsinya kita..

Bayangkan, tiga pihak yang seringkali mendapat sorotan tajam. Pihak DPR. Hakim. Lalu, kepolisian. Merekalah yang dianggap penegak hukum penting. Lantas, beberapa kali inisiatif kenaikan gaji dilakukan. Salah satu yang ramai dibicarakan adalah kenaikan gaji hakim dan para penegak hukum. 

Harapannya, kalau sudah naik, maka angka pungli dan suap, akan menurun! Lantas, bagaimana faktanya? Ternyata, tingkat korupsi di antara para pihak yang terlibat dalam penegakan hukum tetaplah tinggi. Banyak hakim yang kini dijebloskan ke penjara dan tertangkap tangan gara-gara suap. Padahal, gaji mereka telah dinaikkan oleh pemerintah.

Makanya tak mengherankan, dalam psikologi korupsi, adalah Dr. David Halpern, Chief Executive dari  Behavioural Insights Team yang menyatakan di acara U.K. Anti-Corruption Manifesto bahwa salah besar jika kita selalu berpikir korupsi banyak dilakukan mereka yang bodoh dan miskin. Faktanya, kebanyakan korupsi besar justru dilakukan mereka yang pintar dan kaya. Tetapi, justru kepintaran itu dipakai mereka untuk semakin cerdas dalam "membenarkan" perilaku korup mereka.

Jadi, menggunakan logika kenaikan gaji akan mengurangi korupsi sebenarnya pokok pikiran yang berisiko! Mengapa dikatakan berisiko? Terbayangkah, ketika keinginan kita adalah mengurangi angka korupsi yang besar, lantas uang begitu banyak diberikan untuk gaji mereka yang korup. Mereka tambah senang, dapat uang secara halal. Tetapi, di sisi lain, uang secara tidak halal tetap masuk ke kantong mereka. Ujung-ujungnya, justru negara yang makin merugi.

Lantas, Apakah Tidak Perlu Naik Gaji?

Kita kembali ke teori Herzberg soal hal yang memotivasi seseorang. Sampai pada titik tertentu, apa yang menjadi motivator, bisa menjadi sesuatu yang biasa saja. Tetapi, yang basicnya tetaplah harus terpenuhi.

Artinya apa? Gaji memang harusnya cukup dan memenuhi standard yang wajar. Tetapi, tidak perlu berlebihan apalagi sampai berkali lipat. Misalkan saja, belakangan ini kita sering mendengar wacana anggota DPR yang meminta naik gaji, padahal banyak fakta yang menggambarkan kinerja mereka jauh dari harapan. 

Terbayangkah? Kalau kita berada dalam organisasi yang profesional, menaikkan gaji seseorang sementara kinerjanya rendah, justru akan memperparah sistem "malas" yang telah membudaya. Orang akan belajar, "Toh nggak kerja juga dinaikkan gajinya kok. Jadi buat apa bekerja!".

Kembali lagi ke pokok persoalan korupsi. Memang sih ukuran "cukup" itu selamanya tidak akan pernah cukup. Makanya, dalam hal ini harus diputuskan, tidak berlebihan. Dan faktanya, daripada menaikkan gaji dengan harapan mengurangi korupsi, ternyata lebih baik menggunakan teknologi ataupun membangun sistem yang memonitor. Hal itu lebih efektif bagi uang yang dikeluarkan.

Akhirnya, artikel ini diakhiri dengan sebuah keprihatinan mendalam. Pemerintah menggejot pajak habis-habisan. Tetapi, di sisi lain kita mendengar nilai korupsi aparat dan pemerintah yang nilainya gila-gilaan. Padahal, gaji mereka tidaklah sedikit. Jadi, sebenarnya daripada menghamburkan uang untuk membayar gaji yang justru menambah angka keserakahan tersebut. Alangkah lebih baiknya sistem kita makin diperbaiki. Make sense?

Anthony Dio Martin, trainer, inspirator, Managing Director HR Excellency & Miniworkshopseries Indonesia, penulis buku-buku bestseller, executive coach,  host di radio bisnis SmartFM, dan penulis di berbagai harian nasional. 

Website: www.hrexcellency.com dan FB: anthonydiomartinhrexcellency dan IG: anthonydiomartin

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun