Mohon tunggu...
Anthony Dio Martin
Anthony Dio Martin Mohon Tunggu... Human Resources - WISE (Writer, Inspirator, Speaker, Entepreneur), CEO HR Excellency - MWS Indonesia, Penulis 18 Buku, Ahli Psikologi, Profesional Coach

Anthony Dio Martin, WISE (writer, inspirator, speaker dan entepreneur) dan juga ICF certified executive coach, yang dijuluki "The Best EQ Trainer Indonesia". Beliau penulis 18 buku dan lebih dari 25 CDAudio. Salah satu bukunya menerima penghargaan MURI. Beliau pernah memandu beberapa program motivasi di TV kabel, saat ini punya siaran rutin program radio “Smart Emotion” di SmartFM. Youtube: anthony dio martin official IG: anthonydiomartin Kontak & info: 021-3518505 atau 3862521 atau email: info@hrexcellency.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bisakah Kenaikan Gaji Mengurangi Korupsi?

17 Maret 2018   11:37 Diperbarui: 17 Maret 2018   11:39 1752
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai contohnya. Di Yogya, di Keraton, saya punya rekan yang orang tuanya bekerja sebagai abdi dalem. Kita tahu bahwa pekerjaan tersebut, lebih banyak berkaitan dengan pengabdian daripada jumlah uang yang diterima. Teman saya menyebutkan angka yang sangat minim, tetapi dia menyebutkan bagaimana orang tuanya sangat jujur, tidak pernah korupsi sedikitpun ataupun mengeluh soal jumlah yang diterima. Lagipula, kebutuhan pokok mereka sudah diperhatikan.

Sebaliknya, mari kita perhatikan beberapa kasus di dalam dan luar negeri. Di Jepang misalkan, beberapa Perdana Menteri atau pejabat tinggi harus memundurkan diri dari posisinya gara-gara ketahuan isu suap. Misalkan saaja di tahun 2016, Menteri Ekonomi Akira Amari mundur gara-gara isu suap. Berapa sih gajinya? 

Memang sih tidak ada data terbaru. Tapi, rata-rata data dari tahun 2005 dari majalah President mengatakan bahwa kurang lebih gaji menteri di Jepang adalah Rp 3,041 miliar /tahun. Bayangkan betapa banyaknya angka itu, tapi mengapa tetapi korupsi? Jawabannya satu, masalah korupsi mungkin bukan lagi soal jumlah gaji, tapi pada masalah karakter orangnya. Dengan kata lain, kalau mentalnya korup, mau berapapun gajinya ya tetap saja tidak akan pernah cukup!

Naik Gaji, Korupsi Malah Makin Menjadi-Jadi

Itulah yang justru terjadi di negara Ghana. Polisi dinaikkan gajinya, malahan makin tinggi angka punglinya. Parahnya, kenaikan gaji justru menjadi "posisi tawar-menawar" yang semakin tinggi dengan korbannya. Ilustrasinya begini, katakanlah dulu gaji polisi Rp 1jt. Pungli 100 ribu termasuk lumayan. Karena nilainya 10%. Lantas, gaji polisi dinaikkan menjadi 2jt. Maka, uang 100rb menjadi hanya 5% dari gajinya. Logikanya, kalau memang korup maka polisinya akan meminta uang 200ribu. Masuk akal kan? Dan memang demikianlah yang kemudian terjadi.

Sekarang, kita tidak ingin bicara soal Ghana. Mari kita bicarakan soal korupsinya kita..

Bayangkan, tiga pihak yang seringkali mendapat sorotan tajam. Pihak DPR. Hakim. Lalu, kepolisian. Merekalah yang dianggap penegak hukum penting. Lantas, beberapa kali inisiatif kenaikan gaji dilakukan. Salah satu yang ramai dibicarakan adalah kenaikan gaji hakim dan para penegak hukum. 

Harapannya, kalau sudah naik, maka angka pungli dan suap, akan menurun! Lantas, bagaimana faktanya? Ternyata, tingkat korupsi di antara para pihak yang terlibat dalam penegakan hukum tetaplah tinggi. Banyak hakim yang kini dijebloskan ke penjara dan tertangkap tangan gara-gara suap. Padahal, gaji mereka telah dinaikkan oleh pemerintah.

Makanya tak mengherankan, dalam psikologi korupsi, adalah Dr. David Halpern, Chief Executive dari  Behavioural Insights Team yang menyatakan di acara U.K. Anti-Corruption Manifesto bahwa salah besar jika kita selalu berpikir korupsi banyak dilakukan mereka yang bodoh dan miskin. Faktanya, kebanyakan korupsi besar justru dilakukan mereka yang pintar dan kaya. Tetapi, justru kepintaran itu dipakai mereka untuk semakin cerdas dalam "membenarkan" perilaku korup mereka.

Jadi, menggunakan logika kenaikan gaji akan mengurangi korupsi sebenarnya pokok pikiran yang berisiko! Mengapa dikatakan berisiko? Terbayangkah, ketika keinginan kita adalah mengurangi angka korupsi yang besar, lantas uang begitu banyak diberikan untuk gaji mereka yang korup. Mereka tambah senang, dapat uang secara halal. Tetapi, di sisi lain, uang secara tidak halal tetap masuk ke kantong mereka. Ujung-ujungnya, justru negara yang makin merugi.

Lantas, Apakah Tidak Perlu Naik Gaji?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun