Sebagai contohnya. Di Yogya, di Keraton, saya punya rekan yang orang tuanya bekerja sebagai abdi dalem. Kita tahu bahwa pekerjaan tersebut, lebih banyak berkaitan dengan pengabdian daripada jumlah uang yang diterima. Teman saya menyebutkan angka yang sangat minim, tetapi dia menyebutkan bagaimana orang tuanya sangat jujur, tidak pernah korupsi sedikitpun ataupun mengeluh soal jumlah yang diterima. Lagipula, kebutuhan pokok mereka sudah diperhatikan.
Sebaliknya, mari kita perhatikan beberapa kasus di dalam dan luar negeri. Di Jepang misalkan, beberapa Perdana Menteri atau pejabat tinggi harus memundurkan diri dari posisinya gara-gara ketahuan isu suap. Misalkan saaja di tahun 2016, Menteri Ekonomi Akira Amari mundur gara-gara isu suap. Berapa sih gajinya?
Memang sih tidak ada data terbaru. Tapi, rata-rata data dari tahun 2005 dari majalah President mengatakan bahwa kurang lebih gaji menteri di Jepang adalah Rp 3,041 miliar /tahun. Bayangkan betapa banyaknya angka itu, tapi mengapa tetapi korupsi? Jawabannya satu, masalah korupsi mungkin bukan lagi soal jumlah gaji, tapi pada masalah karakter orangnya. Dengan kata lain, kalau mentalnya korup, mau berapapun gajinya ya tetap saja tidak akan pernah cukup!
Naik Gaji, Korupsi Malah Makin Menjadi-Jadi
Itulah yang justru terjadi di negara Ghana. Polisi dinaikkan gajinya, malahan makin tinggi angka punglinya. Parahnya, kenaikan gaji justru menjadi "posisi tawar-menawar" yang semakin tinggi dengan korbannya. Ilustrasinya begini, katakanlah dulu gaji polisi Rp 1jt. Pungli 100 ribu termasuk lumayan. Karena nilainya 10%. Lantas, gaji polisi dinaikkan menjadi 2jt. Maka, uang 100rb menjadi hanya 5% dari gajinya. Logikanya, kalau memang korup maka polisinya akan meminta uang 200ribu. Masuk akal kan? Dan memang demikianlah yang kemudian terjadi.
Sekarang, kita tidak ingin bicara soal Ghana. Mari kita bicarakan soal korupsinya kita..
Bayangkan, tiga pihak yang seringkali mendapat sorotan tajam. Pihak DPR. Hakim. Lalu, kepolisian. Merekalah yang dianggap penegak hukum penting. Lantas, beberapa kali inisiatif kenaikan gaji dilakukan. Salah satu yang ramai dibicarakan adalah kenaikan gaji hakim dan para penegak hukum.
Harapannya, kalau sudah naik, maka angka pungli dan suap, akan menurun! Lantas, bagaimana faktanya? Ternyata, tingkat korupsi di antara para pihak yang terlibat dalam penegakan hukum tetaplah tinggi. Banyak hakim yang kini dijebloskan ke penjara dan tertangkap tangan gara-gara suap. Padahal, gaji mereka telah dinaikkan oleh pemerintah.
Makanya tak mengherankan, dalam psikologi korupsi, adalah Dr. David Halpern, Chief Executive dari Behavioural Insights Team yang menyatakan di acara U.K. Anti-Corruption Manifesto bahwa salah besar jika kita selalu berpikir korupsi banyak dilakukan mereka yang bodoh dan miskin. Faktanya, kebanyakan korupsi besar justru dilakukan mereka yang pintar dan kaya. Tetapi, justru kepintaran itu dipakai mereka untuk semakin cerdas dalam "membenarkan" perilaku korup mereka.
Jadi, menggunakan logika kenaikan gaji akan mengurangi korupsi sebenarnya pokok pikiran yang berisiko! Mengapa dikatakan berisiko? Terbayangkah, ketika keinginan kita adalah mengurangi angka korupsi yang besar, lantas uang begitu banyak diberikan untuk gaji mereka yang korup. Mereka tambah senang, dapat uang secara halal. Tetapi, di sisi lain, uang secara tidak halal tetap masuk ke kantong mereka. Ujung-ujungnya, justru negara yang makin merugi.
Lantas, Apakah Tidak Perlu Naik Gaji?