Mohon tunggu...
Anthony Dio Martin
Anthony Dio Martin Mohon Tunggu... Human Resources - WISE (Writer, Inspirator, Speaker, Entepreneur), CEO HR Excellency - MWS Indonesia, Penulis 18 Buku, Ahli Psikologi, Profesional Coach

Anthony Dio Martin, WISE (writer, inspirator, speaker dan entepreneur) dan juga ICF certified executive coach, yang dijuluki "The Best EQ Trainer Indonesia". Beliau penulis 18 buku dan lebih dari 25 CDAudio. Salah satu bukunya menerima penghargaan MURI. Beliau pernah memandu beberapa program motivasi di TV kabel, saat ini punya siaran rutin program radio “Smart Emotion” di SmartFM. Youtube: anthony dio martin official IG: anthonydiomartin Kontak & info: 021-3518505 atau 3862521 atau email: info@hrexcellency.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Enam Cacat Berpikir, Sumber Cacatnya Masyarakat Kita Saat Ini

28 Februari 2018   23:46 Diperbarui: 1 Maret 2018   07:09 920
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Shutterstock

Muchtar Lubis, di tahun 1977 pernah dengan keras mengkritik 6 mental bangsa kita yang negatif. Dan puluhan tahun, kritik itu telah berlalu. Namun, tampaknya, kondisi kita saat ini tidaklah terlalu membaik, malahan belakangan ini justru tampaknya makin parah.

Hal ini, semakin diperparah dengan berbagai cara berpikir yang salah yang diterima mentah-mentah oleh masyarakat kita tanpa berpikir panjang. Nah, apakah keenam cacat berpikir tersebut?

Pertama-tama, orang yang memiliki otoritas selalu benar. Inilah bagian mental feodalime yang masih kita miliki. Persis, di tahun 1977 Muchtar Lubis juga mengkritik mental ini. Dan di saat ini, masyarakat kita pun masih cenderung tidak kritis dan masih terus berpikir, kalau dia diangkat menjadi pemimpin, maka semua kata-katanya pastilah benar. Jadi tidak usah disangsikan lagi. 

Cobalah bayangkan, hal inilah yang terjadi di Jerman tatkala Hitler berkuasa ataupun pada saat Stalin berkuasa di Rusia. Semua diterima mentah-entah tanpa dikritisi. Akibatnya, ternyata belakangan kita melihat betapa banyak kesalahan berpikir dari para pimpinan itu yang ternyata justru membawa masyarakatnay ke jurang kehancuran.

Kedua, penggunaan statistik ataupun menyebut survei yang tidak jelas. Saya masih ingat ketika menonton di youtube tatkala dalam sebuah pidato di depan masyarakat, seorang pembicara yang berapi-api dengan lantang mengatakan, "70% pengusaha dan pebisnis yang sukses tidak punya pendidikan tinggi". Entah itu statistik dari mana, tetapi menyebut prosentasi lalu dikaitkan dengan ide yang mau disampaikan tentu saja berbahaya. 

Termasuk misalkan tatkala seorang yang berpidato "Tahu nggak 70% tanah di negeri ini milik etnis tertentu. Coba saja cek di Badan Pertanahan Nasional". Entah data statistic darimana. 

Tapi yakinkan Anda bahwa data itu ada di Badan Pertanahan Nasional? Logikanya, bagaimana bisa tahu tanah itu milik etnis apa? Memangnya ada data di Badan Pertanahan yang bertanya pemilik aslinya itu suku apa? Saya sendiri meragukan adanya data seperti itu bisa ditemukan. Tetapi, bagi orang yang mendengarkan, itu bisa ditelan mentah-mentah apalagi masyarakat kita termasuk yang malas berpikir, dan ini pun menjadi cacat berpikir kita berikutnya.

Ketiga, malas berpikir lebih mendalam. Hal ini sebenarnya terkait dengan minat baca dan informasi yang sangat terbatas. Tahu nggak kalau minat baca kita hanya 0,001 persen menurut UNESCO di tahun 2012. Artinya, Dari 1000 orang yang kita temui hanya ada satu yang hobinya membaca. 

Makanya, tidak mengherankan jika hoax terjadi dimana-mana. Banyak orang membaca bukan untuk paham tapi untuk pembenaran ataupun cepat menyimpulkan karena malas untuk mengalisa lebih dalam. Akibatnya hoax pun marak terjadi. Lebih parahnya lagi, sebuah berita tanpa disaringpun jadi disebarkan kemana-mana.

Keempat, suka mengeneralisasi. Salah satu cacat atau kebiasaan berpikir kita adalah kesukaan untuk melabel ataupun mengeneralisasi. Celakanya, kita seringkali percaya bahkan hidup dengan keyakinan itu. Dan yang lebih celaka lagi, yang mempercayai keyakinan dan label itu termasuk pula diantara mereka-mereka yang punya pendidikan yang tergolong sangat tinggi, yang seharusnya berpikirmya lebih kritis.

 Misalkan saja, di negeri kita seringkali muncul labelisasi kepada suku tertentu, masyarakat tertentu yang belum tentu benar. Tetapi, kadangkala pengalaman satu orang terus menyebar dan menjadi generalsasi lebih banyak. Padahal itu sifatnya itu kasuistik atau per orangan saja! Misalkan saja, label bahwa orang Sumatera itu kasar-kasar dan yang di Jawa itu halus-halus. Benarkah label-label seperti ini?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun