Steve Jobs pernah kena getahnya gara-gara ini!
Kalau Anda perhatikan sejarahnya, di tahun 1985 Steve Jobs ditendang keluar dari Apple, perusahaan yang dibangunnya sendiri. Saat itu, karyawan dan rekan-rekannya tidak banyak yang membelanya. Selain menjadi korban politik kantor (akibat sepak terjan mantan CEO Pepsi John Sculley), dikatakan Steve Jobs juga korban dari sikapnya sendiri.
Sudah jadi rahasia umum, bahwa dibalik kegeniusannya, Steve Jobs punya sumbu pendek. Ia gampang meledak dan marah apalagi tidak sesuai dengan jalan pikirannya. Akhirnya ia pun terlempar keluar. Namun, nasib akhirnya masih berbaik hati kepadanya. Ia dikaryakan kembali.
Namun, banyak yang mengatakan justru ada baiknya Steve Jons ditendang keluar. Sikapnya menjadi lebih ramah, juga lebih bersahabat. Perpaduan kemampuan teknis dan sikapnya yang lebih baik itulah yang membuatnya mampu membawa Apple menjadi sukses hingga akhir hayatnya!
Begitulah. Dibalik kepintaran orang-orang yang jenius, seringkali bukanlah masalah teknis yang membuat mereka jatuh dan gagal tapi persoalan cara pengelolaan diri dan interaksinya. Itulah yang seringkali kita sebut dengan Kecerdasan Emosional atau EQ (Emotional Quotient).
Penelitian demi penelitian juga menunjukkan hal yang sama. Sebut saja riset oleh Center for Creative Leadership (CCL) yang tiap tahunnya melayani lebih dari 20,000 orang dan 2,000 organisasi menmukan 3 aspek yang membuat para pemimpin gagal: tidak mampu beradaptasi, nggak mampu bekerja baik dalam tim serta kemampuan hubungan interpersonal yang parah. Begitu juga riset dari Egon Zehnder International yang meneliti 515 senior eksekutif menemukan EQ lebih menjadi penentu kesuksesan daripada IQ mereka.
10 Alasan Mengapa Anda Butuh untuk Sukses!
Jadi, mengapakah kita membutuhkan Kecerdasan Emosional untuk menjadi sukses dalam karir dan pekerjaan? Inilah 10 alasannya.
Pertama, IQ sering membuat orang menjadi arogan. Banyak orang yang pintar secara teknis ataupun genius, sering punya satu masalah: mereka merasa tidak membutuhkan orang lain. Mereka mengandalkan diri mereka sendiri, kadang menjadi sombong bahkan arogan. Akibatnya, bisa saja mereka memiliki ide atau gagasan yang brilian, tetapi karena tidak ada yang mendukungnya, mereka pun gagal. Tidak ada yang mau mensupport idenya bahkan beberapa diantaranya yang mensabotase idenya. Semua ini bukan karena idenya kurang bagus tapi karena orang tidak suka kepadanya.
Kedua, EQ membuat Anda tahu bahwa: "Bagaimana cara Anda menyampaikan, kadang lebih penting daripada apa yang Anda smapaikan". Pernah terjadi didalam suatu panel assessment dimana beberapa supervisor akan ditentukan untuk kenaikan pangkat menjadi manager. Salah satunya menyajikan ide presentasinya yang sebenarnya bagus, hanya saja ia menyentuh 'hot button' (tombol yang memicu respon tidak senang) dari manager finance yang ikut menjadi juri panelisnya.
Padahal itu bukanlah bidang keahlian si supervisor itu. Maksudnya mungkin untuk menunjukkan bahwa ia tahu banyak hal, tapi justru cara ia menyampaikan dianggap mengerdilkan peran finance. Akhirnya, si manager finance ini bersikukuh menolak suprvidor ini dipromosikan dengan alasan, "Saya tidak tahu buat apa tiba-tiba dia ngomongin hal buruk tentang finance. Itukan bukan keahliannya. Baru jadi supervisor aja udah sok! Dari dulu saya memang tidak suka dengan dia". Nah lho!