Sejarah filsafat selama 2000 tahun merupakan perubahan makna, teori, konsep, metode dan arah. Dari kosmosentrisme, etnosentrisme, antroposentrisme hingga saat ini, yaitu logosentrisme. Perubahan ini tentunya tidak terlepas dari produk para filosof pada masanya.
Franz Magnis Suseno mengatakan para filosof tidak mencari persamaan. Persatuan adalah racun filsafat, dan harmoni adalah rahasia kematian pemikiran kreatif. Agar harmonis, kita perlu menikmati keadilan, dan untuk adil, kita perlu berpikir kritis. Dengan kata lain, berarti menolak kepuasan intelektual yang hanya mencari kesetaraan.
Inilah yang oleh Nietzsche disebut pendapat filosofisnya sebagai seni transformasi, seni transformasi, seni transformasi. Artinya, setiap filosof menggunakan bahan mentah untuk segala sesuatu yang relevan dengannya.
Adapun dunia filsafat, kami telah menghubungkan berbagai jenis bangunan filosofis yang dibangun oleh para filsuf. Tetapi minat pada filsafat juga harus menjadi tanggung jawab, terutama di tangan filsuf, untuk kemegahan dan kemewahan yang belum dipraktikkan dalam hidupnya atau oleh penerusnya.
Di sisi lain, kemegahan bangunan filosofis hanya menjadi bahan diskusi dan dekorasi gaya bicaranya, karya-karya monumentalnya terpelihara dengan baik di museum dan hanya tanpa transformasi atau dialog, itu akan menjadi realitas pameran.
Konsep, metode dan teori lahir dari pengalaman kondisi sosial dan harus digunakan untuk perubahan. Nietzsche melihat sesuatu yang hilang dalam filsafat dalam ribuan teori yang diterbitkannya.
Usaha filsafat untuk mencari hikmah di tengah semua pengetahuan kini menjadi sesuatu yang kurang bermakna, karena setelah sekian lamanya sejarah filsafat belum menemukan tempat pijaknya sebagai hasil dari pemikiran yang begitu dalam.
Walaupun, cara untuk melihat dunia tanpa batasan, dan kajiannya yang universal dan aktual. Hal lain yang masih menjadi sesuatu yang janggal, ketika filsafat dilihat dari segi etimologis dan terminologisnya.
Dengan menyebut filsafat sebagai “cinta akan kebijaksanaan”, makna tersebut masih menyiratkan pertanyaan, kebijaksanaan macam apakah yang dicari, dimimpikan, dan diharapkan hadir oleh setiap para pencari (filsuf)?
Di sinilah posisi kritik Nietzsche untuk para pencari kedalaman dan obat sakit (kebenaran) seorang pengembara (filsuf). Filosofi tampaknya masih berharga, tapi itu hanya alat untuk dekorasi rumah dan gaya bicara.
Menampilkan buku-buku Plato dan Aristoteles lama di rak buku adalah yang terbaik. Anda dapat melihatnya dengan memasukkan satu atau dua kutipan dari peribahasa filsuf dalam pidato kami. Oleh karena itu, jika hanya sekedar warisan tradisi, tentu saja final dan independen dari konteks zaman, menjadi perhatian filosofis.