Setelah sekian tahun kami
belum jua sepakat siapa yang akan
pergi lebih dulu
entah sebab kami membenci perpisahan atau
terlalu malas memulai
percintaan baru
dengan orang yang akan begitu asing
—bahkan bisa terlalu asing untuk sekadar
bertukar kabar dan mengingatkan agar
jangan lupa sarapan dan makan malam.
Kami masih sama-sama
bertahan dalam sebuah ikatan yang tiada
pernah lebih baik dari rasa
sepiring nasi goreng yang kurang garam
atau terlalu banyak dibubuhi acar,
atau aroma
sebuah kebun bunga yang kekurangan
rimbun mawar atau terlalu banyak
ditumbuhi perdu liar.
Kami masih sepakat mengikat
sepasang tangan dan kaki kami
dalam jerat temali yang melarang
kami berlari ke dua arah berlawanan
: diam, jalan searah, atau
jatuh berkelukur di tanah musim kemarau
yang kering dan kesakitan.
*
Cinta, barangkali, terkadang memang
harus demikian
: kami tak harus selalu memuji
pakaian atau gaya rambut baru;
mengirim kecupan
via obrolan dan pesan instan;
merayakan hari kelahiran setiap tahun
dengan kencan di kafe, memberi kado dan kejutan.