Mohon tunggu...
Antariksa Muhammad
Antariksa Muhammad Mohon Tunggu... Pelajar -

#Babibankproject

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mengawal Bersama Naiknya BJPS

21 Maret 2016   14:56 Diperbarui: 21 Maret 2016   15:22 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Penyelenggaraan program jaminan sosial merupakan salah satu tangung jawab dan kewajiban Negara - untuk memberikan perlindungan sosial ekonomi kepada masyarakat. Sesuai dengan kondisi kemampuan keuangan Negara. Indonesia seperti halnya negara berkembang lainnya, mengembangkan program jaminan sosial berdasarkan funded social security, yaitu jaminan sosial yang didanai oleh peserta dan masih terbatas pada masyarakat pekerja di sektor formal. Apabila ditinjau dari amanat konstitusi pun mengatur mengenai penjaminan sosial ini sebagaimana termakhtub pada Pasal 28H Undang-undang Dasar 1945 menyatakan bahwa "Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan", yang artinya hal ini merupakan kewajiban Negara (state obligation) untuk memberikan jaminan pada setiap warga untuk memperoleh akses yang baik terhadap berbagai kebutuhan dasar manusia (terutama makanan, kesehatan, tempat tinggal, dan pendidikan). Konsep jaminan sosial ini banyak di aplikasikan kepada Negara-negara yang menganut sistem negara kesejahteraan (welfare state), selain itu sistem jaminan sosial ini dapat dimaknai sebagai titik sentral makna eksistensi suatu negara. Konsep ini juga mendasarkan bahwa negara ada untuk kesejahteraan rakyatnya, bukan rakyat ada demi suatu prestise negara. Jaminan sosial juga diharapkan menjadi representasi dari pemenuhan semua lapisan masyarakat, terutama kaum buruh, dan angkatan kerja, betul-betul diperhatikan suaranya dalam memutuskan kebijakan jaminan sosial.

Kehadiran BPJS yang sebenarnya masih relatif belum terlalu lama ini kadang masih menyisakan beberapa persoalan yang kerap kali menerpa badan hukum publik ini. Apabila dilihat sejarahnya BPJS diresmikan pada 31 Desember 2013 yang artinya badan ini baru berusia 3 tahun sehingga wajar dalam menjalankan suatu kebijakan masih mendapatkan pro-kontra dari masyarakat. Akhir-akhir ini banyak media sangat gencar memberitakan mengenai kenaikan iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bagi peserta bukan penerima upah (PBPU) alias pekerja mandiri, termasuk pengusaha kecil menengah. Kenaikan ini didasari dari Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan. Dalam perpres yang ditetapkan pada 29 Februari 2016 kemarin didalam pasal 16F dinyatakan bahwa iuran JKN untuk peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) Rp 23.000 per orang per bulan.Besaran iuran ini juga berlaku bagi PBI yang didaftarkan oleh pemerintah daerah atau integrasi jaminan kesehatan daerah dengan JKN.Kemudian iuran Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) atau disebut peserta mandiri juga naik, yaitu iuran PBPU kelas III Rp 30.000, kelas II Rp 51.000, dan kelas I Rp 80.000.Pada peraturan sebelumnya, iuran PBPU kelas III Rp 25.500, kelas II Rp 42.500, dan kelas III Rp 59.500.Adapun iuran untuk peserta PBI di aturan sebelumnya sebesar Rp 19.225 per orang per bulan.

Kehadiran Perpres No 19/2016 ini cukup mengejutkan masyarakat terlebih lagi besaran iuran peserta JKN mandiri (PBPU) dalam perpres itu ditentukan tanpa melalui pembahasan yang melibatkan para pemangku kepentingan. Banyak kalangan menilai peserta JKN mandiri (PBPU) juga banyak kalangan kurang mampu sehingga kenaikan ini dirasa semakin memberatkan. Kenaikan iuran peserta BPJS ini bukannya tak beralasan, salah satu penyebab kenaikan ini adalah untuk mencegah terjadinya defisit (miss match) seperti yang terjadi pada tahun lalu. Sehingga, upaya ini diharapkan dapat mengurangi beban anggaran negara yang selama ini menanggung kerugian BPJS Kesehatan. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mencatatkan defisit hingga Rp5 triliun. Tahun ini, BPJS Kesehatan bahkan diprediksikan akan mengelami kerugian hingga Rp10 triliun apabila tak kunjung mengubah skema pembiayaan. 

Kerugian ini yang menimbulkan moral hazard mengakibatkan neraca keuangan lembaga ini defisit sehingga membutuhkan suntikan modal negara. Kenaikan bertahap memang menjadi salah satu alasan, pemerintah menilai masih terlalu berat bagi masyarakat apabila dalam biaya iuran yang dibebankan terlalu tinggi. Sehingga, akan dilakukan kenaikan secara bertahap sesuai kondisi perekonomian masyarakat. Saya rasa kenaikan bertahap pemerintah ini efektif karena ini merupakan strategi yang aplikatif untuk diterapkan di lingkungan sosial masyarakat Indonesia yang dari segi ekonomi masih belum merata. Apabila iuran BPJS dibebankan terlalu tinggi diawal dikhawatirkan menurunkan minat masyarakat untuk menjadi peserta BPJS karena terkendala biaya. Dan menurut pendapat penulis agak sedikit kontradiktif apabila melihat fakta dilapangan untuk iuran "tarif lama" ini saja banyak warga yang masih belum mengikuti BPJS bagaimana untuk merealisasikan target pemerintah dimana 2019 seluruh warga negara harus sudah tercover jaminan kesehatan.

Apabila dilihat kerugian BPJS yang relatif besar ini saya rasa wajar adanya kenaikan, bahkan setelah diperhitungkan secara aktuaria. Dan secara perhitungan aktuaria iuran saat ini pun masih dinilai belum mencukupi untuk pembiayaan kesehatan yang di cover BPJS. Hal ini yang menjadi suatu dilema bagi BPJS disatu sisi kenaikan diperlukan untuk menutupi defisit kerugian negara dan disisi lain banyak masyarakat diluar sana yang mengeluhkan biaya BPJS yang kian memberatkan. 

Bukankah jaminan sosial ini bertujuan untuk meringankan rakyat? Bukan malah memberatkan rakyat. Akan tetapi melihat nominal kerugian yang ditanggung negara yang terbilang besar kita juga tidak bisa mendahulukan ego untuk menuntut hak kepada negara tanpa mempertimbangkan dampak yang diterima negara, kerugian negara memang tidak berdampak instant kepada warga negaranya akan tetapi apabila melihat konsep bagaimana sebuah Negara yang mana merupakan entitas yang terdiri dari bagian-bagian yang berbeda yang saling melengkapi dan saling tergantung dan bertindak bersama-sama dalam mengejar tujuan bersama. Luka bagi siapapun adalah luka bagi semuanya. Menurut penulis pemaknaan luka bisa di artikan sebagai suatu rasa sakit yang mana bisa disamakan dalam konteks kenegaraannya ialah kerugian. Artinya kerugian materil yang dialami Indonesia ialah kerugian yang dialami juga oleh rakyatnya. Tidak menutup kemungkinan apabila sistem BPJS ini di biarkan berlarut-larut, Indonesia bisa menjadi negara bangkrut cuma karena jaminan sosial.

Kenaikan iuran ini sebenarnya bisa diterima apabila memang dalam impelementasi pelayanannya ditingkatkan, artinya kenaikan iuran ini benar-benar dalam proses pengelolaannya jangan sampai kenaikan ini malah membuka celah korupsi di BPJS. Keluhan masyarakat mengenai kurangnya kualitas BPJS dalam melayani pesertanya kadang menjadi pertanyaan saya, apakah kerugian negara ini benar-benar disebabkan karena operasional yang tidak seimbang dengan pemasukan atau karena penyelewengan dana yang antah berantah.

 Apabila kerugian disebabkan karena operasional hal ini masih wajar berarti dana yang dikelola BPJS dialirkan ketempat yang memang seharusnya dan memang untuk melayani pesertanya, yang menjadi masalah adalah apabila aliran dana ini sesat ketempat yang tidak seharusnya sehingga aliran dana yang tidak maksimal berimplikasi menurunkan pelayanan BPJS itu sendiri. Disini peran kita sebagai kontrol sosial untuk bersama-sama mengawal bersama naiknya iuran BPJS ini.

Potensi korupsi di BPJS ini terbilang besar mengingat pengelolaan dana yang begitu besar tentu harus dibarengi dengan instrumen pengawasan yang baik, kompetensi serta integritas yang tinggi untuk mencegah terjadinya korupsi. Karena semakin besar gulanya, semakin banyak semut yang tertarik juga, sesuai dengan “power tends to corrupt”, bahwa semakin besar kekuasaan semakin besar pula kecenderungan kekuasaan tersebut dalam melakukan penyelewengan.

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun