Mohon tunggu...
Antares Daffa Firasyan
Antares Daffa Firasyan Mohon Tunggu... Lainnya - Antares Daffa

Join A Light Side

Selanjutnya

Tutup

Bola

Timnas Melenting, Kanjuruhan Tidak Penting

12 September 2024   11:29 Diperbarui: 12 September 2024   11:44 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://rri.co.id/sepak-bola/963831/rekor-pertemuan-timnas-indonesia-vs-australia-socceroos-dominan

Kualifikasi yang sudah lama tidak dirasakan oleh timnas Indonesia akhirnya datang kembali hari ini. Dahaga kita untuk melihat tim nasional berlaga di laga kelas dunia rasanya sulit dipercaya akan datang lagi. Untuk sekian lama, Indonesia kembali bermain melawan tim kelas dunia di level asia seperti Australia, Jepang dan Arab Saudi tidak dalam konteks persahabatan dan mencari cuan.

Perasaan tegang bercampur bangga melihat Rizky Ridho dan kawan-kawan berjibaku di tengah sorotan sepakbola dunia, saat opini ini ditulis saya baru saja selesai menonton pertandingan timnas melawan Australia di Mesari. Hasil imbang, yang sulit dipercaya mengingat Australia hampir memulangkan tim juara Argentina di Piala Dunia 2022 Qatar. 

Ditengah euforia melihat level permainan timnas yang 'melenting' jauh di atas ekspektasi, saya kembali merefleksi bagaimana nasib berbeda justru pernah kita rasakan dua tahun ke belakang ketika sorotan mata mengarah ke Stadion Kajuruhan. Ya, dunia sepakbola internasional pernah menaruh perhatian lebih ke sepakbola Indonesia bukan karena permainan cantik timnas atau banyak pemain diaspora di liga level top eropa yang kita naturalisasi, tapi sorotan mengenai 135 korban Tragedi Kanjuruhan yang pergi untuk menonton tim kesayangannya saat Persebaya dijamu oleh Arema dan harus pulang dalam bentuk papan nama.

Ya,

Di tengah euforia, tragedi Kanjuruhan masih belum menunjukkan eskalasi berarti, pergantian ketua umum PSSI di tangan Erick Thohir yang dielu-elukan secara banal telah membawa Timnas Indonesia ke level lebih tinggi justru bak bumi dan langit dengan pembenahan Tragedi Kanjuruhan yang masih ada di titik nadir. 

Penuh gimmick dan seremonial tidak berarti disaat keluarga korban dan korban selamat masih berusaha pulih dari trauma terhadap sepakbola yag dulu mereka cintai. Olahraga yang dulu mereka jadikan sarana untuk bersenang-senang dengan yang orang yang paling mereka cintai justru jadi tempat cinta itu diambil dari mereka.

Kini, menjelang dua tahun setelah tragedi, dengan segala pencapaian dan kesuksesan Timnas dan PSSI atas gelaran laga persahabatan hingga Piala Dunia U-17 yang terjadi, publik dan suporter seperti lupa dan menganggap Tragedi Kanjuruhan hanyalah sejarah yang perlu dilupakan. 

Padahal, sudah bukan jadi rahasia umum, disamping putusan pengadilan yang tidak memuaskan dan pemenuhan hak korban yang masih jauh dari angan ditambah upaya pembongkaran yang tidak mempertimbangkan risiko penghilangan alat bukti. PSSI dan mereka yang berwenang dan harusnya bertanggung jawab justru tidak menunjukkan intensi untuk menyelesaikan atau setidaknya ikut turun tangan menjelaskan dan mengawal proses penyelesaian dan pemenuhan hak bagi para korban. Kasar dan keras untuk diucapkan, namun rasanya kemarin justru 135 nyawa hanya sekedar jadi pendongkrak untuk memenangkan kursi dan merebut empati dengan janji yang tertunda dengan sejuta alasan seolah para korban hanyalah martir untuk kesuksesan Timnas kita saat ini.

Situasi yang diperkeruh oleh kelakuan suporter kita sendiri, yang memuja Timnas, PSSI dan Erick Thohir setinggi-tingginya dan merendahkan klub, kompetisi domestik yang terkait dengan Tragedi Kanjuruhan serendah-rendahnya seolah peristiwa tersebut nir partisipasi dari PSSI dan murnis sepenuhnya kesalahan suporter dan tutup mata terhadap peran aparat kepolisian yang memang gas air mata. Suatu paradoks yang menyedihkan, tanpa menyalahkan euforia yang ada rasanya kita seyogyanya tidak tutup mata dengan nasib para korban yang telah 'dizolimi'

Kita mungkin sudah nirempati, kita mungkin tidak pernah terdampak langsung sehingga dengan mudah berucap dan menyepelekan peristiwa seolah Kanjuruhan tidaklah penting untuk diurus. Namun, tidak ada yang lebih berharga dari nyawa manusia, tiada guna lolos Piala Dunia, jika tanah kubur mereka yang masih merah, justru kita kotori dengan sampah sumpah serapah kita yang selama ini mendadak tuli dan buta dengan keadaan. Karena 135 nyawa bukan sekedar angka tapi mereka adalah badan yang terkubur di bawah pesta pora kita. Tanpa niatan untuk menyelesaikan dan memenuhi hak para korban, maka jangan bangga sekalipun Timnas kita sedang menawan.

Ditulis 12 September 2024 di Jakarta Kota

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun