Mohon tunggu...
Wira D. Purwalodra (First)
Wira D. Purwalodra (First) Mohon Tunggu... Penulis - Let us reset our life to move towards great shifting, beyond all dusruption.

Saatnya menyibak RAHASIA kehidupan semesta yang Maha Sempurna ini, dengan terus menebar kebajikan untuk sesama dan terus membuat drama kehidupan dan bercerita tentang pikiran kita yang selalu lapar, dahaga dan miskin pengetahuan ini. Sekarang aku paham bahwa kita tidak perlu mencapai kesempurnaan untuk berbicara tentang kesempurnaan, tidak perlu mencapai keunggulan untuk berbicara tentang keunggulan, dan tidak perlu mencapai tingkat evolusi tertinggi untuk berbicara tentang tingkat evolusi tertinggi. Karena PENGETAHUAN mendahului PENGALAMAN.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Yang Rasional = Yang Menang ?

10 April 2011   08:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:57 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13024235801434624504

Pikiran yang membendung hasrat argumenku sejak kemaren, nampaknya meluap juga  hari ini. Pasalnya, ketika hampir seluruh manusia yang berfikir politis selalu mengatakan bahwa kita tidak pernah bisa berhitung matematis ketika dihadapkan pada suara publik yang akan kita peroleh, tanpa melakukan upaya-upaya yang bersifat transaksional. Pernyataan ini menjadi kebenaran, jika dihubungkan dengan konteks peradaban dan perubahan yang lebih baik. Namun, jika hal ini dikaitkan dengan uang dan jabatan maka bencanapun akan segera datang.

Pernyataan di atas bermula dari sebuah diskusi kecil dengan teman-teman yang meyakini bahwa kemenangan dalam Pilkada atau Pemilu hanya bisa diperoleh melalui upaya-upaya transaksional dengan rakyat melalui uang dan jabatan. Teman-teman sangat meyakini, kalo suara seluruh rakyat Kota Bekasi hanya bisa dibeli dengan uang dan jabatan. Tanpa itu ... 'nonsense !!!' alias omong kosong saja.  Tidak heran, calon walikota akan menyiapkan dana milyaran rupiah untuk bisa dipertaruhkan dalam Pilkada. Dan sudah bisa dipastikan ketika calon walikota mampu menyiapkan dana lebih besar akan mampu mengungguli lawan yang dananya lebih sedikit.

Pemikiran inipun kemudian menjadi paradigma, yang terus dan tetap melekat di benak masyarakat politik di Kotaku yang sedang mengalami krisis kepemimpinan publik. Dan sampai hari ini masih menjadi keyakinan yang tak terbantahkan. Bahkan para elit politik, mulai dari Walikota, para anggota DPRD, anggota KPU dan para pejabat pemdapun mengakui keberadaan paradigma ini, bahwa uang adalah modal segalanya untuk menjadi pemimpin publik. Hal seperti ini menjadi wajar tanpa syarat ketika rumusan pola berfikirnya adalah 'MEMILIKI à MELAKUKAN à MENJADI.'

Pola berfikir tersebut, tidak seratus persen salah, karena rumus pola tersebut dominan mengakui hal-hal yang bersifat fisik saja yang bisa menjadikan seseorang MENJADI sesuatu yang diinginkan. Namun, bagi orang-orang yang mengakui eksistensi Tuhan dan hukum-hukum-Nya, dan yang menyelimuti kita sebagai manusia dalam hidup dan kehidupan ini, maka pola rumusan paradigma diatas akan dibalik begini, 'MENJADI à MELAKUKAN à MEMILIKI.'

Lumayan berat untuk memahami pola berfikir diatas (Menjadi à Melakukan à Memiliki), ketika bathinnya dalam kondisi 'Hidup Segan Mati Tak Mau'. Menurut teman-teman diskusi, pola ini tidak rasional, karena tidak rasional maka pola ini tidak benar, kalo sudah nggak bener, jelas kandidat walikota, caleg maupun calon pejabat publik lainnya, tak bakal bisa memenangkan pertarungan dalam Pilkada, pileg maupun suksesi apapun.

Sebagai contoh saja, jika saja saya MEMILIKI uang milyaran rupiah, pasti saya akan MELAKUKAN Pencalonan walikota, dengan begitu saya berkesempatan untuk MENJADI walikota. Pola ini mengatakan bahwa, MEMILIKI sesuatu adalah syarat mutlak untuk MENJADI sesuatu. Namun, lain halnya dengan orang yang berpikir sebaliknya, dimana ia menanamkan pada diri bathinnya dulu bahwa ia seakan-akan sudah MENJADI walikota, kemudian MELAKUKAN hal-hal yang berkaitan dengan upaya untuk MEMILIKI jabatan walikota tersebut. Sebab, orang yang sudah 'Menjadi', nampaknya 'Memiliki' cukup waktu, 'Memiliki' cukup uang, 'Memiliki' cukup kesempatan, bahkan 'Memiliki' cukup peluang untuk melakukan segala hal yang benar-benar penting untuk 'Menjadi' walikota.

Contoh lain yang lebih kecil, jika saja saya 'Memiliki' uang banyak, pasti saya akan  belanjakan (melakukan) uang itu pada sesuatu yang menyenangkan, sehingga saya menjadi bahagia. Dengan begitu, memiliki uang banyak akan menjadikan saya Bahagia. Pola sebaliknya adalah, jika saya 'Menjadi' Bahagia, maka saya akan 'Melakukan' hal-hal yang membahagiakan diri saya dan orang lain, sehingga saya 'Memiliki' kebahagiaan itu selamanya.

Boleh dibilang bahwa rumus pola pikir pertama yakni : Memiliki à Melakukan à Menjadi, merupakan rumus rasional, fisikal dan menjadikan diri kita selalu kekurangan dan tidak pernah cukup 'Memiliki'. Sedangkan pola pikir kedua, yakni : Menjadi à Melakukan à Memiliki, merupakan rumus bathiniah, metafisik dan menjadikan diri kita selalu cukup dan selalu memiliki apa yang kita inginkan. Dan sunatullahnya, bahwa 'Memiliki' tidak menghasilkan 'Menjadi', tapi sebaliknya.

Pijakan ato pondasi dari pola pikir pertama (Memiliki à Melakukan à Menjadi) bahwa ternyata orang tersebut adalah orang yang belum mengenal siapa dan menginginkan apa dirinya. Sementara pola pikir kedua (Menjadi à Melakukan à Memiliki) adalah orang yang sudah mengenal siapa dirinya dan apa sebenarnya yang ia inginkan.  Sehingga kita bisa memaklumi bahwa sebagian besar dari kita lebih memilih pola pikir pertama daripada pola pikir yang kedua, sebab pola pikir pertama bersifat fisikal sementara pola pikiran kedua bersifat metafisikal. Dan, perlu kita ingat, bahwa semua kondisi pikiran memancarkan diri mereka sendiri.

Tulisan ini hanyalah sekedar argumen semata, untuk meyakinkan apa yang saya yakini, dan mengukuhkan apa yang sekarang saya miliki. Saya hanya menggurui diri saya sendiri, sebagai manifestasi keinginan saya untuk tetap menjadi pembelajar. Dan menyatakan sikap bahwa yang RASIONAL belum tentu MENANG, karena tidak perlu mencapai kesempurnaan untuk berbicara tentang kesempurnaan; tidak perlu mencapai keunggulan untuk berbicara tentang keunggulan; dan tidak perlu mencapai tingkat evolusi tertinggi untuk berbicara tentang tingkat evolusi tertinggi. Bukan begitu ?. Wallahu 'Alam Bisshawab.

Bekasi, 10 April 2011.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun