Oleh. Purwalodra
Sebenarnya aku tidak mau disebut Ustadz, kupikir sebutan Ustadz hanya untuk Guru Agama saja. Sementara, aku adalah seorang Guru Ekonomi, jadi sepertinya gak layak aku memiliki sebutan Ustadz. Meskipun, ketika aku menulis ada beberapa ayat Al Qur’an yang ku-ikut sertakan sebagai penguat argumentasi, namun sekali lagi, aku bukan seorang Ustadz.
Mungkin terasa agak berat ketika aku perlu menuangkan beberapa fikiran yang terlintas di dalam batok kepala, tentang perjalanan kehidupan manusia. Karena niat seseorang merupakan sebab dari semua perjalan hidup manusia. Dan, ketika kita bicara tentang manusia, maka kita bicara hidup dan kehidupan. Pada saat kita bicara tentang kehidupan, maka rujukan kita adalah kitab suci yang kita imani. Namun, lagi-lagi di dalam agama kita, mungkin yang berhak untuk membicarakan kitab suci cuma Ustadz. Banyak diantara kita juga sering bilang begini, “jadilah kiai yang intelek, bukan intelek yang tahu agama.”
Pandangan inilah yang membuahkan persepsi dalam diriku untuk selalu kuatir membicarakan kitab suci sebagai pedoman hidup manusia. Salah-salah aku bisa distempel sebagai orang ‘murtad’, atau salah-salah aku bisa difigurkan sebagai orang yang bikin-bikin aliran baru dalam agama. Akhirnya, dilingkungan kita, orang-orang cuma berani bicara sesuai dengan pengetahuan dan disiplin ilmu yang dipelajarinya aja, sementara bicara agama hanya milik para ustadz, kiai ato ulama. Sehingga masyarakat kita, secara stuktural dan sistematis disekulerkan oleh kondisi sosial yang terus mengembang.
Mungkin saja, pandangan di masyarakat, ketika seseorang mengetahui sedikit agama, sedikit ayat dan sedikit pengalaman keberagamaannya, ia tidak pantas bicara agama, meskipun tidak di dalam forum. Namun kita menyaksikan dengan mata kepala kita sendiri, tidak sedikit kiai, ulama dan intelektual yang begitu banyak makan asam-garamnya agama, melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah agamanya. Mereka melakukan korupsi, menindas dan meremehkan orang lain. Mereka yang memiliki harta dan mungkin saat ini menjadi pengelola haji, dengan bangganya setiap tahun menunaikan haji, sementara masyarakat disekitarnya masih sulit mencari sesuap nasi. Kalopun dia seorang pejabat, banyak yang menyalahgunakan wewenangnya selaku pejabat. Sungguh ironis di negeri ini.
Spiritualitas keberagamaan di negeri ini seakan tercabik-cabik dan tidak sesuai dengan agama yang mereka anut. Bahkan, lembaga yang berdasarkan pada label agamapun, perilaku organisasinya lebih buruk dari perusahaan yang nota-bene milik orang-orang sekuler. Menindas, menjajah, mediskriminasi dan meremehkan karyawannya. Seakan karyawan dijadikan budak yang bisa dibeli kapan saja dan dimana saja, meski label agamanya jelas menjadi nama lembaga tersebut.
Para pemimpin, manajer, pengurus atau apapun mereka, tidak lagi mengindahkan hukum-hukum agamanya, seperti halnya korupsi dengan menyalahgunakan wewenangnya, memaksakan kehendak, menindas dengan membuat aturan yang sangat membelenggu kreativitas karyawannya, atau sikap sombong yang tidak mau mendengar masukan-masukan dari bawahannya. Para atasan lebih nikmat mendengar para pembisiknya, dari pada mendengar kritikan dari bawahannya. Ketidakadilan yang menyelimuti kehidupan masyarakat kita sehari-hari, seakan-akan tidak lagi dikendalikan oleh konsepsi-konsepsi agama. Keserakahan, keculasan, kesewenang-wenangan, asal bapak senang (ABS) dan berbagai perilaku negatif lainnya, seolah-olah liar berkembang.
Sementara itu, mereka yang boleh dibilang taat menjalankan agamanya malah mau memaksakan diri bikin negara yang berlabel agama yang diimaninya. Sebagai orang awam, kucoba sedikit merenungi pengalaman di belahan bumi lainnya, dimana banyak negara-negara yang berlabel agama ‘diberontak’ oleh rakyatnya sendiri yang juga pengen bikin negara yang lebih syari’at, yang juga berlabel agama. Sebenarnya, ini politik untuk mencari kekuasaan atau pengen menjalankan ibadah dengan nyaman ?. Masyarakat negara-negara yang berlabel agamapun, saling bunuh dengan alasan menegakkan syari’at agamanya.
Saat ini, hati nurani masyarakat kita menjadi rapuh dan terkikis oleh kepentingan kekuasaan dan finansial belaka. Hanya orang-orang yang berharta dan memiliki jabatan saja yang dipandang sebagai orang sukses, sementara mereka yang masih berjuang memenuhi kebutuhan fisik hidupnya sehari-hari, belum dipandang sebagai manusia yang sukses. Orang-orang ini bisa dibeli kapan saja dan dimana saja.
Dalam hati kecil, aku selalu merindukan, orang pinter yang arif dan bijak terhadap orang lain yang tidak menunjukkan kepintarannya. Aku memimpikan ada orang yang pinter agama, rajin ibadah yang tidak bangga dan mempertontonkan apa yang diperbuatnya. Aku berharap ada orang berharta yang ringan tangan terhadap sesama. Dan mereka yang punya jabatan, mau menyembunyikan jabatannya dan pengaruhnya ketika mereka berkumpul bersama rakyatnya. Semoga, kerinduanku tidak semakin dalam !!!.
Bekasi, 16 Agustus 2014.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H