Oleh. Purwalodra
Mungkin aku adalah seorang yang tidak pernah menyadari apapun yang pernah terjadi. Atau pura-pura tidak merasa peduli terhadap masa kini dan masa lalu. Peristiwa yang silih berganti, semestinya kusadari sebagai pelajaran berharga dalam hidup ini. Namun, lagi-lagi ketika fikiranku penuh dengan berbagai program yang tertanam secara sengaja maupun tidak, kesadaran diri ini kemudian tak pernah mau mendekat. Sebenarnya, yang kupahami tentang suatu kesadaran adalah menghayati sepenuhnya peristiwa yang sedang terjadi dengan makna yang kuciptakan sendiri. Dengan melekatnya ketidaksadaran yang kumiliki saat ini, mengakibatkan peristiwa semakin cepat silih-berganti. Sedih-senang. Derita-bahagia. Gagal-berhasil. Cepat berganti-ganti. Sehingga, aku merasa tidak lagi mampu memaknai hidup lebih dalam.
Menjadi sadar diri memanglah tidak mudah, mungkin perlu pengenalan terhadap aspek-aspek yang bermuara pada pengenalan terhadap diri sendiri. Dan pengenalan terhadap diri sendiri ini merupakan syarat utama untuk mencapai hidup yang otentik.
Dalam konteks kesadaran ini, para filsuf dan psikolog, yang seringkali berbicara tentang "problematika kesadaran" (the problem of consciousness), menganggap seolah problem kesadaran merupakan problem yang sudah jelas pemetaannya. Bahkan Descartes, seorang filsuf modern asal Prancis, berupaya menanggapi problem itu dengan merumuskan pendapatnya sendiri. Ia berpendapat bahwa pikiran manusia merupakan entitas yang lebih tinggi tingkatannya dari pada tubuh. Pikiran mempunyai prioritas atas tubuh. Fakta bahwa kita dapat berpikir menunjukkan bahwa manusia merupakan entitas yang memiliki kesadaran. Ada relasi internal antara kesadaran dan pikiran. Pikiran juga memiliki prioritas atas dunia. Tanpa pikiran tidak ada realitas eksternal. Dengan demikian pikiran terpisah dari dunia. Pikiran adalah entitas yang mandiri. Pikiran juga terlepas dari tubuh. Argumen Descartes banyak dikenal sebagai teori tentang dualisme tubuh dan jiwa.
Selanjutnya, kesadaran adalah bagian dari kondisi internal manusia yang harus dibedakan dengan kondisi fisiknya. Kesadaran dapatlah dipandang sebagai penghubung antara stimulus yang diterima oleh seseorang, dan respons yang diberikannya. Inilah paham tentang kesadaran di dalam teori identitas, yang menjadi alternatif dari dualisme dan behaviorisme. Sekilas pandangan ini memang mirip dengan dualisme, yakni jiwa yang melulu dipisahkan dari badan. Namun di dalam teori identitas, pikiran, kesadaran, dan jiwa manusia terhubung dengan tubuh untuk memberikan respons terhadap rangsangan yang datang dari dunia luar. Pikiran, kesadaran, tubuh, dan dunia luar adalah empat konsep yang saling terhubung satu sama lain, yang mempengaruhi perilaku manusia secara signifikan.
Memaknai teori diatas tentu aku mencoba melakukan instrospeksi, apakah ada kesatuan gerak antara pikiran, kesadaran, tubuh dan dunia luar. Mungkin saja aku menganggap bahwa kesadaran merupakan aktivitas jiwa yang bisa dirasakan dalam bentuk kedamaian, keindahan dan kebahagiaan. Fikiran merupakan pintu gerbang menuju kesadaran, sementara tubuh dan dunia luar merupakan manifestasi dari fikiran yang tertanam dalam kesadaran kita.
Lantas, upaya untuk menyadarkan diri sendiri, tidak lain dan tidak bukan adalah perintah kepada diri kita untuk selalu memiliki kemampuan merasakan kondisi saat ini sebagai sesuatu yang kekal. Karena tidak ada waktu yang kekal selain momen saat ini (the Now). Masa lalu sudah menghilang, masa depan akan menjadi masa sekarang. Ketika kita mampu mengekalkan setiap peristiwa melalui kesadaran, maka penderitaan kita tidak lagi menjadi suatu rasa sakit, atau kesenangan menjadi suatu rasa nikmat. Semuanya sama, dan harus sama-sama kita syukuri, karena kita selalu diberi kesempatan untuk tumbuh dan berkembang menjadi manusia sempurna, dengan berbagai cobaan dan ujian yang kita jalani.
Menyadarkan diri merupakan aktivitas jiwa yang memberi peringatan kepada kita untuk senantiasa mengingatkan diri sendiri bahwa kekuatan, pengetahuan dan apapun yang kita jalani di semesta ini tidak lepas dari campur tangan Allah Swt. Kita hanya diwajibkan untuk menyempurnakan ikhtiar, sementara hasil dari semua ikhtiar kita hanya Allah yang berhak menentukannya. Maka tidak heran ada pernyataan yang mengatakan bahwa, ketika keyakinan kita berada dipuncak, maka bersiap-siaplah dengan kegagalan. Mengapa demikian ?. Karena manusia pada hakekatnya hanya diwajibkan berusaha, namun hasilnya tetap Allah yang menetapkannya. Semoga kesadaran ini selalu kita miliki. Wallahu A'alam Bishshawwab.
Bekasi, 17 November 2014.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H