Oleh. Purwalodra.
Beberapa hari lalu, saya menulis tentang sistem kapitalisme dengan daya pikat konsumtivisme yang telah membius kita menjelang lebaran tahun ini, maka tak heran inflasipun meroket tajam di bulan Ramadhan ini. Kita menjadi tidak sadarkan diri dengan berbagai penjajahan yang terjadi dan menjadi sangat mabuk dengan datangnya hari raya yang hanya tinggal menghitung jam saja. Kita beramai-ramai menghitung hari-hari menjelang lebaran dengan tanda (-) minus, di tengah-tengah perjalanan mudik ke kampung halaman.
Sementara, para jama’ah Masjidpun secara fundamental sudah menghitung waktu demi waktu dengan mengkompilasi kuantitas ibadah wajib, sunah dan ibadah-ibadah lainnya, melalui aktivitas i’tikafnya. Bahkan, banyak lembaga-lembaga yang bernafaskan agama yang tidak kompetenpun ikut-ikutan melakukan hisab dan rukyat untuk menentukan hilal, atau kapan lebaran dilaksanakan, tapi ujung-ujungnya mengikuti ketetapan pemerintah. Pertanyaannya, apakah setelah Ramadhan selesai kita bisa kembali menjadi fitrah ?. Atau justru balas dendam, atau menjadi tambah rakus dan tamak ?!.
Yang terlihat justru, dari tahun ke tahun, tidak ada perubahan yang signifikan, baik sikap, cara berfikir dan bahkan perilaku kita, meski tadarus yang dilakukan sudah khatam lebih dari dua kali. Ramadhan yang semestinya membawa perubahan pada cara berfikir, sikap dan perilaku ini ternyata hanya sebuah rutinitas tahunan yang belum membawa perubahan, baik dari sisi individu, kelompok, maupun masyarakat. Yang suka menipu, akan lebih cerdas menipu. Yang senang menindas akan lebih semangat untuk menindas. Dan, yang senang berbuat zhalim akan lebih cantik lagi dalam melakukannya. Inikah buah dari Ramadhan yang bisa kita petik ?!.
Kondisi semacam ini, tentu memiliki akar sejarah yang cukup panjang di masyarakat kita. Mulai dari zaman kolonialisme fisik sampai zaman kolonialisme mental sekarang ini. Akar sejarah peradaban masyarakat kita, memang telah menjadikan negeri ini menjadi negera terkorup di dunia. Masyarakat yang katanya paling ramah dan toleran ini ternyata adalah masyarakat pemangsa satu sama lainnya. Saya pikir, setiap selesai Ramadhan tidak ada lagi polisi yang mau terima uang di jalan gara-gara pengendara melanggar lalu lintas, tapi ternyata selesai lebaran makin marak hal itu dilakukan ?!. Begitu juga, saya mungkin terlalu berbaik sangka, dengan orang-orang yang disebut sebagai pemimpin, selesai Ramadhan mestinya lebih arif dan bijak dalam memutuskan suatu masalah. Tapi justru yang terjadi, ketika Ramadhan selesai perilaku zhalim tak kunjung usai ?!.
Mungkin, ada baiknya kita menginstrospeksi diri. Melihat lagi ke dalam nurani kita, apakah kita sudah mampu merubah diri kita. Keyakinan untuk bisa berubah, bukan karena Ramadhan saja, tapi banyak hal yang bisa kita jadikan sebagai acuan untuk berubah. Oleh karena itu, kita memang membutuhkan revolusi mental, dengan cara memperbaiki sikap mental kita sebagai budak, yang selalu minder dan berwatak abdi.
Mentalitas budak berarti, orang malas atau tidak mau berpikir mandiri, dan menyerahkan keputusan hidupnya pada apa kata kelompok atau komunitas. Orang semacam ini tidak lebih sebagai budak yang rindu untuk dikuasai dan ditaklukan, karena tidak mau berpikir mandiri.
Mental budak terwujud nyata di dalam sikap abdi. Sikap abdi berarti, orang lebih senang disuruh dan diperintah, daripada memutuskan sendiri, apa yang mesti ia lakukan. Orang lebih senang tunduk pada kata orang lain, daripada mempertimbangkan sendiri, apa yang baik dan buruk bagi dirinya. Sikap abdi yang meluas akan menciptakan bangsa budak yang bergantung dan tunduk pada bangsa asing, seperti yang dengan jelas kita lihat di masyarakat kita sekarang ini.
Di hadapan bangsa asing, kita merasa minder dan rendah diri. Kita merasa, apapun yang orang asing lakukan selalu lebih baik dari yang kita lakukan. Sikap minder, mental budak dan sikap abdi saling terkait satu sama lain. Hasilnya bangsa yang terjajah, walaupun tidak merasa diri terjajah. Bangsa yang rindu untuk dikuasai oleh orang asing.
Ciri nyatanya serupa. Kita lebih senang barang buatan luar negeri, daripada barang buatan dalam negeri, walaupun mutunya sama. Ada rasa bangga dan gengsi, ketika kita menggunakan produk luar negeri yang mutunya tak lebih bagus dari mutu produk dalam negeri. Ini contoh kecil dan amat nyata dari mental budak, sikap abdi dan rasa minder yang menjadi ciri dari Indonesia sekarang ini. Ciri yang berakar pada kerinduan kita semua untuk dikuasai dan ditaklukan, karena takut dengan kebebasan dan kemandirian.
Pada bentuknya yang paling ekstrem, kita lalu membenci bangsa kita sendiri. Akar dari kebencian ini adalah tiga sikap tadi (minder, abdi, dan budak) yang kesemuanya berpijak pada ketakutan akan kebebasan. Tiga sikap inilah yang menjadi musuh dari kemajuan bangsa kita dewasa ini. Kita justru bangga dengan mencerca bangsa sendiri, dan dengan senang hati memuja bangsa lain, tanpa tolok ukur yang obyektif.