Oleh. Purwalodra
[caption id="attachment_355358" align="alignright" width="300" caption="Foto koleksi pribadi"][/caption]
Hampir setiap jam makan siang, aku menyempatkan diri untuk berdiskusi dengan teman-teman yang sempat menemaniku makan. Berbagai hal biasanya muncul seketika sebagai bahan diskusi yang biasanya juga tanpa rencana. Siang ini, tiba-tiba muncul gagasan untuk mencoba menjawab kegalauanku beberapa waktu tentang kalimat-kalimat yang sering kutulis di FB, bahwa kebahagiaan itu ada di dalam diri kita, dan orang lain tak kan mampu merebutnya.
Pernyataan itu ternyata justru membuatku galau luar-dalam. Bagaimana tidak, jika pernyataan kebahagiaan yang kukatakan ada di dalam itu, ternyata masih ada 'sesuatu' yang masih ada di luar. Setelah ditelusuri satu per satu, apa yang menjadi harapan, keinginan bahkan angan-anganku pun ikut nimbrung menambah banyaknya antrian yang belum menjadi bagian dari kebahagiaanku. Hal ini ternyata, lama kelamaan menjadi racun dalam hidupku. Akupun sampai-sampai berfikir, apakah ada kebahagiaan tanpa syarat ?. Sementara yang kuketahui, pikiran kita membutuhkan perwujudan apa yang ia pikirkan. Ketika pikiran kita tanpa memperolah hasil apa-apa, maka sakitnya tuh ada di mana-mana.
Meskipun hampir setiap malam, aku selalu menanyakan kepada diriku sendiri (secara virtual) berbagai hal dan peritiwa yang kualami seharian tadi. Apa saja yang kutemui, kudengar dan kurasakan selama seharian, sejak bangun tidur sampai tidur lagi ?. Jawaban dari semua pertanyaan itu kusimpan sebagai pengetahuan, sekaligus sebagai evaluasi atas apa yang kuperbuat selama seharian. Dari jawaban-jawaban inilah aku banyak menemukan apa yang sebenarnya kuterima dari cinta yang Maha Agung, dari kasih sayang yang Maha Mulia, dan dari pencipta kebahagiaan yang Maha Segalanya.
Ketika ruang kebahagiaan dalam diriku mulai terbuka, ada saja yang terasa belum lengkap jika beberapa keinginan dan harapan yang selama ini belum menampakkan wujudnya, tidak menjadi bagian dari ruang dan waktu yang kumiliki sekarang. Pikiran ini selalu menghantui di saat-saat pintu kebahagiaan itu mulai terbuka. Sampai-sampai aku berpikir, jika keinginan dan harapanku salah, kenapa juga tidak segera kuhapus keinginan dan harapan itu ?. Kesulitanku menghapus keinginan dan harapan yang selama ini belum bisa terealisasi, disebabkan karena kedua hal ini sudah terlanjur berurat dan berakar. Atau mungin saja, keinginan dan harapanku terlanjur mengkonsepsikan dirinya sebagai 'sesuatu' yang mesti terwujud. Padahal secara alamiah 'keinginan' dan 'harapan' tidak harus mewujudkan diri, jika hal ini tidak memuliakan kita. Nah, jika 'keinginan' dan 'harapan' ini berubah menjadi 'kebutuhan', maka mau tidak mau, atau suka tidak suka mesti terwujud, entah itu dalam bentuk yang sama atau berbeda. Seperti halnya kebutuhan makan, minum, dan lain-lain.
Yang kupahami sekarang, bahwa konsep hidup itu ternyata bukan kehidupan itu sendiri. Karena Konsep adalah abstraksi dari pikiranku atas segala hal yang ada, atas segala hal yang kujalani, dan atas segala hal yang kuyakini, termasuk 'keinginan' dan 'harapan'. Aku menggunakan konsep sebagai simbol untuk menjelaskan dunia. Namun, konsep bukanlah dunia. Ia hanyalah simbol, yakni alat untuk membantuku memahami dan menjelaskan dunia.
Yang sering kualami, bahwa aku mengira konsep yang kupikirkan ini sebagai sebuah kenyataan, karena pikiranku terus bekerja dan melihat berbagai kemungkinan melalui konsep-konsep di kepalaku itu. Pada akhirnya, aku merasa kuwatir dan takut berlebihan atas sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Segala 'keinginan' dan 'harapan'ku pun hancur, karena ketakutan yang berlebihan tersebut. Hidupku pun tetap saja menderita.
Sebagai catatan kritis saja, bahwa ketika semua orang ingin hidup bahagia, maka hampir semua orang terjebak pada konsep tentang kebahagiaan. Bahwa hidup yang bahagia itu harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang ada di kepalanya, yakni konsep kebahagiaan. Ia pun berusaha mewujudkan semua syarat-syarat itu dengan segala daya-upaya. Ironisnya, kita tidak akan pernah bahagia, karena kita terjebak pada konsep tentang kebahagiaan.
Kebahagiaan yang sejati bisa dicapai, jika kita melepas semua konsep kita tentang kebahagiaan. Kebahagiaan bisa terjadi secara alamiah, ketika kita melepas semua pandangan kita tentang arti dari kebahagiaan. Kebahagiaan sebagai keadaan alamiah manusia, yang mampu memberikan ketenangan batin, apapun yang terjadi di sekitar kita. Bisa dibilang, ia adalah kebahagiaan tanpa "kebahagiaan".
Hal yang sama juga berlaku untuk cinta. Semua orang mencari cinta. Coba dengarkan lagu-lagu di radio dan lihat film-film di TV maupun bioskop. Semua bercerita tentang cinta. Namun, kenyataannya, banyak orang tidak mendapatkan cinta dalam hidupnya. Mengapa? Karena cinta yang sejati ada di depan mata kita. Fakta bahwa kita masih hidup, relatif sehat dan ada udara serta sinar matahari yang mengisi hidup kita adalah tanda cinta yang alamiah dari yang Maha Kasih dan Maha Sayang. Namun, kita buta dengan semua itu, karena kita terjebak pada konsep kita tentang cinta. Kita memaksa dan memacu diri untuk menjadikan konsep itu jadi kenyataan. Sebuah upaya sia-sia yang menghabiskan energi dan tak akan bisa mencapai tujuannya, yakni kebahagiaan.