Mohon tunggu...
Wira D. Purwalodra (First)
Wira D. Purwalodra (First) Mohon Tunggu... Penulis - Let us reset our life to move towards great shifting, beyond all dusruption.

Saatnya menyibak RAHASIA kehidupan semesta yang Maha Sempurna ini, dengan terus menebar kebajikan untuk sesama dan terus membuat drama kehidupan dan bercerita tentang pikiran kita yang selalu lapar, dahaga dan miskin pengetahuan ini. Sekarang aku paham bahwa kita tidak perlu mencapai kesempurnaan untuk berbicara tentang kesempurnaan, tidak perlu mencapai keunggulan untuk berbicara tentang keunggulan, dan tidak perlu mencapai tingkat evolusi tertinggi untuk berbicara tentang tingkat evolusi tertinggi. Karena PENGETAHUAN mendahului PENGALAMAN.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ketika Kebencian dan Cinta Tak Bisa Terpisahkan

15 Juni 2016   09:16 Diperbarui: 26 Juni 2016   04:34 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh. Purwalodra

Memotret kejadian masa lalu yang ingin kumaafkan sekarang, justru mengingatkanku pada kenangan indah yang sulit dilupakan. Seakan aku masuk ke dalam pusaran paradoks memafkan itu sendiri. Satu sisi aku ingin memaafkan diriku sendiri atas apa yang kulakukan padamu, namun tak pernah kubayangkan sebelumnya, bahwa tindak memaafkan itu selain meringankan beban terdalam diriku sendiri, juga melahirkan kembali keindahan-keindahan yang seharusnya sudah lama kulupakan ?!

Sebenarnya, sudah lama aku meyakini bahwa hidup ini tak selamanya rasional atawa masuk akal, bahkan nyaris seluruh kehidupan ini tidak rasional. Ketika aku melakukan tindak memaafkan, ternyata ada niat untuk berdamai dengan kehidupan, baik pada kehidupanmu, maupun kehidupan diriku sendiri. Namun, tindak memaafkan ternyata merupakan tindakan paradoks. Karena dalam setiap ucapan maaf itu, selalu terkait dua hal, yakni keinginan untuk mengingat masa lalu yang menyakitkan, sekaligus untuk melupakan. Untuk mengingat berarti untuk menerima kejadian masa lalu yang dianggap sebagai sesuatu yang negatif, yang harus dimaafkan, sebagai bagian dari peristiwa hidup, dan juga sebagai bagian dari relasi antar kita sebagai manusia. Kemudian, untuk melupakan berarti berkomitmen untuk tidak lagi mengungkap peristiwa yang membawa luka itu ke dalam kehidupan ini.

Namun demikian, tingkat tertinggi dari memaafkan adalah memaafkan apa yang sebenarnya tidak termaafkan. Jika saja aku memaafkan hal-hal yang sepele, yang sebenarnya tidak merugikan diriku sendiri, maka sebenarnya aku belum melakukan tindak memaafkan, karena aku masih melakukan hitung-hitungan untung-rugi dengan orang yang kumaafkan itu. Tapi, jika aku sungguh dirugikan, baik secara mental maupun fisik, dan aku mampu memaafkan, maka aku sudah mampu mencapai tingkat tertinggi dari memaafkan itu sendiri.  Mungkin, inilah dimensi yang mungkin dikatakan sebagai paradoksal terdalam dari tindak memaafkan, bahwa memafkan menjadi sebuah kenyataan, ketika kita berani untuk memaafkan apa yang sebenarnya tidak termaafkan ?!

Sebenarnya, hampir semua manusia di dunia ini, tidak akan mudah memahami hubungan antar sesama kita, manusia. Relasi antar manusia merupakan sesuatu yang rumit untuk direfleksikan. Beragam unsur atawa variabel bisa dijejer, dan refleksi juga bisa dilakukan dari berbagai sudut pandang manapun. Namun, kerumitan hakekat relasi antar manusia ini merupakan undangan bagi kita untuk merefleksikan lebih jauh, apa sih sebenarnya yang mendasari relasi antar manusia itu, sehingga melahirkan berbagai kebencian dan cinta ?!  

Aku sendiri terus mencoba melihat kebencian dan cinta ini bukan hanya dari sisi emosionil saja, tetapi dalam arti fenomenologis. Maksudnya begini, kebencian dan cinta dilihat pada dirinya sendiri, dan bukan pada gejolak emosi maupun perasaan yang datang dan pergi, dari setiap diri manusia yang memiliki emosi tersebut. Kebencian dan cinta dipandang sebagai dorongan primordial yang menggerakan manusia untuk berelasi dengan manusia lainnya. Dorongan primordial ini merupakan dorongan metafisis yang menggerakan relasi antar manusia sekaligus menggerakkan peradaban manusia di bumi ini.

Sartre, seorang filosof, pernah bilang, bahwa keberadaan manusia lain barulah berarti, ketika aku menyadari keberadaannya, yakni ketika pribadi lain tersebut menjadi tampak bagiku, dan tidak sebelumnya. Manusia lain selalu menyingkapkan dirinya sebagai “sesuatu yang menatap diriku”. Kesadaran bahwa seseorang sedang menatapku bukanlah suatu kesadaran langsung, seperti ketika aku menyadari bahwa ada orang bermata hitam tengah menatap diriku. Selanjutnya, kesadaran bahwa ada orang yang sedang mengintipku, bahwa ada langkah kaki di depan pintu rumahku, bahwa ada gerakan di balik tembok kamarku, juga adalah kesadaran bahwa ada “sesuatu yang menatapku”. Dengan demikian, menurut Sartre, kesadaran akan tatapan bukanlah kesadaran akan keberadaan suatu benda obyektif di dunia, melainkan suatu kesadaran mental bahwa aku sedang ditatap.

Konsepsi tentang tatapan yang dikemukakan oleh Sartre tersebut sebenarnya adalah suatu bentuk tatapan yang spesifik. Namun, ia kemudian mengabsolutkan tatapan itu, serta menggeneralisasikannya untuk menjelaskan jenis tatapan-tatapan yang lain. Tatapan yang dibicarakan oleh Sartre ini adalah tatapan kebencian(hateful stare), di mana kapasitas aku sebagai subyek lenyap ketika ditatap oleh orang lain. Tatapan kebencian membuat diriku menjadi satu benda di antara benda-benda lainnya. Apa yang ditulis Sartre ini juga menggambarkan apa yang terjadi sesungguhnya di dalam realitas, yakni deskripsi atas tatapan kebencian di dalam kehidupan kita.

Namun demikian, manusia tidak hanya menatap manusia lain melulu dengan menggunakan tatapan kebencian. Refleksi Sartre tentang tatapan di dalam bukunya Being and Nothingness jelas merupakan suatu refleksi yang sangat tajam untuk menjelaskan hakekat relasi antar manusia di dalam masyarakat yang terdistorsi. Akan tetapi, pembacanya jelas akan menolak argumen itu. Bahkan di dalam masyarakat yang sudah membusuk sekarang ini, ada tatapan-tatapan positif lain yang terjadi, seperti tatapan cinta, tatapan memaafkan, dan sebagainya. Di dalam praktek hidup dan karyanya, Sartre memang terkenal sebagai pembela kebebasan manusia. Akan tetapi, tiga bab pertama buku Being and Nothingness tampak tidak menunjukkan hal itu. Di dalam buku itu, filsafatnya lebih tampak sebagai filsafat kebencian (philosophy of hatred).

Seperti juga kebencian, cinta pada hakekatnya selalu mewarnai relasi antar manusia sehari-hari. Cinta adalah modus mengada dari diri manusia, yang satu sama lain hidup bersama. Cinta selalu mengandaikan adanya persentuhan antara subyektifitas aku dengan subyektifitas orang lain. Panggilan untuk persentuhan tampak di dalam kata-kata, mimik wajah, tatapan, ataupun permintaan. Panggilan untuk persentuhan yang paling otentik tidaklah terletak di dalam kata-kata, tetapi di dalam sikap yang mengajak kita untuk tidak lagi mementingkan diri kita sendiri. Cinta sebagai panggilan persentuhan dengan orang lain mengajak kita untuk meninggalkan keterpesonaan kita terhadap diri dan kepentingan kita sendiri.

Lantas, pengabsolutan kepentingan diri dan keterpesonaan pada diri sendiri itu akan membuat diri  kita tertutup dari panggilan persentuhan terhadap orang lain. Untuk melihat panggilan cinta, kita perlu lebih dari sekedar mata, lebih dari sekedar sikap berpusat pada diri sendiri. Orang yang pandangannya tertutup oleh kesombongan dan kerakusan tidak akan mampu melihat panggilan cinta itu. Panggilan cinta dari orang lain bukanlah sebuah dominasi ataupun sebuah penaklukan. Panggilan itu memberikan kita kesempatan untuk memilih, apakah kita hendak menerimanya atau tidak. Panggilan cinta sama sekali bukan sebuah tuntutan, sehingga mudah sekali panggilan tersebut luput dari mata kita. Jika aku sepenuhnya terserap di dalam keterpusatan ego yang ada dalam diriku, maka aku tidak akan mengerti panggilan cinta dari orang lain. Ketika aku sibuk dengan diriku sendiri, maka aku yakin bahwa aku adalah suatu entitas yang cukup diri, maka aku tidak akan peka terhadap panggilan cinta dari orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun