Mohon tunggu...
Wira D. Purwalodra (First)
Wira D. Purwalodra (First) Mohon Tunggu... Penulis - Let us reset our life to move towards great shifting, beyond all dusruption.

Saatnya menyibak RAHASIA kehidupan semesta yang Maha Sempurna ini, dengan terus menebar kebajikan untuk sesama dan terus membuat drama kehidupan dan bercerita tentang pikiran kita yang selalu lapar, dahaga dan miskin pengetahuan ini. Sekarang aku paham bahwa kita tidak perlu mencapai kesempurnaan untuk berbicara tentang kesempurnaan, tidak perlu mencapai keunggulan untuk berbicara tentang keunggulan, dan tidak perlu mencapai tingkat evolusi tertinggi untuk berbicara tentang tingkat evolusi tertinggi. Karena PENGETAHUAN mendahului PENGALAMAN.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Ketika Fikiran dan Hati Tak Mampu Menyatu

2 November 2014   04:35 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:54 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14148524631702296328

Oleh. Purwalodra

[caption id="attachment_332592" align="alignright" width="300" caption="Foto koleksi pribadi"][/caption]

Beberapa hari terakhir, pola hidupku menjadi berantakan, lantaran beberapa aktivitas fikiran yang tak mampu mendapatkan respon dari hati. Sehingga aku harus mengikuti alur aktivitas fikiran tanpa hati, yang sulit kudamaikan. Mulai dari mempersiapkan berbagai konsep yang terkait dengan perkuliahan sampai dengan menyelesaikan tugas-tugas rutin yang mau-tidak-mau, harus diselesaikan. Namun, semua itu tanpa hadirnya hati akan menimbulkan gejolak bathin yang justru melahirkan berbagai perasaan campur-aduk yang sulit sekali diwarnai, meski menggunakan cat tembok sekalipun.

Pokoknya, dalam minggu-minggu ini bayak bangits aktivitas fikiran dan hati yang perlu kuselesaikan dengan baik, jika tidak maka sangat mempengaruhi pekerjaan-pekerjaanku berikutnya. Aku menyadari bahwa setiap perbuatan atau tindakan selalu menggunakan fikiran dan hati, kalo tidak maka sudah pasti hasilnya tidaklah memiliki makna yang kuharapkan. Ketika tindakan kita menggunakan fikiran, maka hasilnya jelas akan bersifat rasional, obyektif dan sesuai rencana yang ditetapkan. Namun, ketika semua tindakan lahir dari hati dan perasaan kita, maka sudah pasti hasilnya akan memiliki keindahan dan menyentuh rasa yang paling dalam. Disinilah, titik dimana aku merasakan kepuasan dari setiap aktivitasku.

Pentingnya setiap tindakan menggunakan fikiran dan hati ini sudah semestinya menjadi kebiasaan yang lazim dilakukan, sehingga apapun aktivitas kita, maupun upaya penyelesaian pekerjaan menjadi lebih bermakna dan rasional. Seperti halnya, tadi pagi ketika aku mendapat tugas dari kantor untuk menjemput teman-teman yang pulang dari tanah-suci dalam rangka menunaikan Ibadah Haji. Pagi itu secara rasional aku menunaikan pekerjaan sesuai dengan surat tugas yang kuterima, namun hati masih belum melekat mendampingi aktivitas tersebut. Sehingga, kegiatan menyambut kedatangan teman-teman yang dari tanah suci tidak seindah yang kujalankan. Maknanya menjadi hilang, dan aktivitasnya tidak menyentuh perasaan.

Entah mengapa, aku juga tidak menyadari lebih detil, kegiatan penyambutan teman-teman yang pulang dari tanah-suci menjadi begitu membosankan, dan bikin be-te. Meski tugas itu selesai kujalani, namun tidak memberi kesan berarti bagi diri sendiri. Inilah yang kuanggap tidak menyatunya fikiran dan hati dalam menjalani suatu pekerjaan. Sampai-sampai akupun mengatakan begini, "maaf saya hanya menjalankan tugas sesuai dengan surat tugas yang saya terima." Ketika beberapa teman mengatakannya kepadaku, "terimakasih atas sambutan teman-teman telah menjemput saya di asrama haji."

Memang ternyata, apapun yang kulakukan perlu kombinasi antara fikiran dan hati agar setiap aktivitasku memiliki energi dan semangat. Yang jelas mampu memberi suasana yang berkesan, bermakna dan dapat dirasakan sebagai bagian dari proses hidup yang kita jalani. Jujur aja, aku sangat sulit membohongi diri sendiri, apa yang kurasakan, pada saat aku menjalankan aktivitas apapun yang tidak menggunakan hati. Situasi dan kondisinya akan menjadi berbeda, ketika suasana hati tidak membalut perasaanku.

Ketika fikiran dan hati mampu menyatu di setiap perbuatanku, maka apapun pekerjaan yang kujalani, dan berapa banyak pekerjaan yang kutuntaskan akan menggelorakan semangatku.  Namun,  jika fikiran dan hati kemudian bercerai, maka situasi be-te, galau dan perasaan yang serba-salah akan lebih menciptakan kondisi yang sangat menyeramkan.

Mungkin, gagasan untuk menjadi selaras dan menjadi seimbang adalah salah satu solusi bagi setiap aktifitas yang kita jalani. Perlu diingat, bahwa fikiran dan hati juga tidak bisa kita paksakan begitu saja, untuk bisa hadir dalam setiap kegiatan kita sehari-hari. Butuh cara dan metode dalam menghadirkan mereka. Setiap kita pasti memiliki cara dan metode masing-masing. Namun, bagiku yang belum mampu memaksa hati untuk berdamai dengan fikiran, aku cuma bisa bilang : ya sudahlah ... !!!, dengan harapan ia akan berdamai dengan fikiranku sendiri. Wallau A'lamu Bishshawwab.

Bekasi, 01 November 2014.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun