Oleh.Purwalodra
Beberapa hari ini, kekecewaanku begitu memuncak lantaran seorang teman wanitaku yang kuanggap mampu menjaga dirinya dari kancah pergaulan, tidak mampu mengemban amanah itu. Semula aku berharap, kondisi apapun yang ada, meski gejolak bathin meronta-ronta membutuhkan perlindungan seseorang sebagai tambatan hati, usahakan agar tidak memperkeruh suasana atawa iklim kerja. Aku mencoba menduga-duga, akan ada kondisi baru yang memberinya kesempatan, guna bisa larut dalam keceriaan dan kebebasan yang beretika. Namun kenyataannya, persepsi teman-teman sekerjanya tak mampu ia genggam. Iapun jatuh terperosok pada jurang persepsi yang tak wajar dari teman-teman kerjanya. Akhirnya, dengan sangat terpaksa, ia harus mundur dari perusahaan dimana ia bekerja, dan menggali kembali 'luka lama' yang begitu dalam !. Â Â
Kegelisahan dan luka bathin yang semula ia bawa dari kampung masih begitu membekas dalam jiwanya. Sehingga ketika ia berada di kota, luka bathin itu tak mampu ia sembuhkan, bahkan semakin menggila. Sebenarnya, ia sudah menyadari bahwa masih ada trauma yang mengganjal dalam dirinya. Sebelum ia dimutasi ke tempat yang baru, ia begitu yakin akan mmpu menepis trauma masa lalunya itu, dengan keceriaan dan tawa yang sehari-hari ia lakukan pada semua orang. Namun, kondisi berkata lain, justru keceriaan dan tawa yang ia bawa kemana-mana itu, banyak menimbulkan persoaalan-persoalan baru pada dirinya. Dan, membawanya pada kondisi yang penuh dilematis. Â Â
Seseorang yang memiliki trauma bisa ditandai dengan kegelisahan batinnya. Dengan trauma ini, kita tak bisa merasa tenang, karena kita hidup penuh dengan ketakutan. Kita selalu takut dengan masa depan, dan berbagai ketidakpastian hidup lainnya. Sementara itu, akar dari trauma adalah rusaknya hubungan perkawinan, persahabatan, bahkan rusaknya hubungan cinta-kasih. Dampaknya adalah ketidakbahagian hidup. Kita akan sulit menjalankan tugas sehari-hari. Hidup kita terasa tanpa tujuan dan tanpa makna.
Dalam teori resonansi, trauma seseorang dengan masa lalunya akan menular, dan akan berpengaruh terhadap pikiran dan jiwa orang lain. Karena manusia terdiri dari tubuh dan jiwa. Ketika seseorang mengalami peristiwa yang traumatis, misalnya pengalaman kekerasan atau pengalaman yang membuatnya ‘sakitnya tuh disini ?!’ maka hubungan antara tubuh dan jiwanya akan rusak. Ketika ini terjadi, orang tersebut akan mengalami rasa cemas, takut dan depresi yang membuatnya tak bisa merasakan kebahagiaan sepanjang hidupnya. Pengalaman kekerasan dan masa lalu yang pahit ini, akan beresonansi dengan orang lain, yang akan berakibat rusaknya hubungan dengan orang lain secara berulang. Dan, terus saja berulang ?!.
Karena itulah, banyak orang mengalami sakit berulang, yang akarnya seringkali bukan melulu fisik, tetapi justru karena aspek jiwanya. Obat fisik tidak akan cukup. Trauma harus disadari, lalu coba untuk dilampaui. Dari titik ini, kita kemudian mengetahui bahwa kesehatan manusia tidak pernah hanya merupakan kesehatan tubuh semata, tetapi juga kesehatan jiwa. Jadi, bisa juga dibilang bahwa kesehatan adalah hubungan yang harmonis antara tubuh dan jiwa, karena orang bisa melampaui trauma-trauma yang ia alami. Trauma tidak bisa dihindari, karena hubungan dengan orang lain tidak bisa selalu baik. Namun, trauma bisa disadari dan kemudian dilampaui.
Memahami jiwa manusia bukanlah sesuatu yang abstrak secara metafisis, melainkan selalu terkait dengan sisi biologis kita sebagai manusia. Organ tubuh secara fisik yang paling erat hubungannya dengan jiwa adalah otak. Merujuk berbagai penelitian yang ada, Ruppert, Professor Psikologi sekaligus praktisi psikoloanalitik (Psychoanalytiker) di München, membagi tiga jenis otak manusia, atau tiga perkembangan otak manusia. Yang pertama adalah otak reptil yang berfungsi secara dasariah untuk menjaga keberlangsungan diri manusia, misalnya dengan menyerang musuh untuk mempertahankan diri, dan sifat instingtif.
Jenis kedua adalah otak mamalia, yang fungsinya untuk merasa dan mencintai. Bagian ini juga memungkinkan orang untuk merasakan keterkaitan dengan satu kelompok, atau keluarga. Dan terakhira adalah bagian otak kanan. Bagian ini, menurut Ruppert, memungkinkan manusia melakukan analisis sebab akibat atas berbagai kejadian hidup di dunia, juga merumuskan ide dan membentuk kesadaran akan jati dirinya.
Biasanya, seseorang yang mengalami trauma, Â pikiran dan jiwanya akan cenderung fokus pada peristiwa-peristiwa yang mengakibatkannya mengalami kondisi traumatik itu. Artinya, ia akan terus fokus pada kejadian-kejadiannya. Dalam kondisi semacam ini otak manusia akan terus berproses menghasilkan trauma-trauma baru, dan tentu akan melahirkan kejadian-kejadian traumatis baru dalam hidupnya.
Sementara itu, jiwa manusia memiliki tiga keadaan dasar, yakni keadaan senang, penuh tekanan dan keadaan traumatik. Ketika orang merasa senang, dunia seolah terbuka untuknya. Dia siap untuk merengkuh beragam kemungkinan yang ada. Kecemasan jauh dari hidupnya. Ketika orang merasa tertekan, dunianya seolah tertutup. Ia selalu terjaga dan cemas. Ia tidak bisa tenang. Ia selalu waspada, jangan-jangan nasib buruk menimpanya. Pada saat, orang merasa tertekan, ia menjalani hidupnya dengan berat. Ia butuh banyak sekali energi untuk melakukan kegiatan sehari-hari. Tertekan adalah dampak langsung dari trauma yang terpendam. Di dalam keadaan ini, orang akan gampang lelah, walaupun hanya melakukan pekerjaan yang begitu ringan.
Memang, tidaklah mudah melampaui kondisi traumatis ini dengan mencari pengganti dari peristiwa masa lalu yang pahit itu. Namun, kita bisa merubah syaraf-syaraf otak kita itu, melalui berbagai aktivitas yang terilhami. Artinya, aktivitas yang tumbuh dari perasaan lapang dan menyenangkan. Dan yang lebih penting lagi, syukuri semua yang ada, dan nikmati perjalanannya. Lalu, lihat apa yang terjadi ?!. Wallahu A’lamu Bishshawwab.