Oleh. Purwalodra
Nggak terasa besok dah mulai puasa Ramadhan. Karena, batas terbitnya bulan muda yang biasanya di sebut Hilal itu sudah sama-sama ditemukan. Semoga dari setahun kemaren kita masih punya saldo energi yang fitri, guna melengkapi keihklasan kita di bulan Ramadhan 1436 Hijriah nanti. Dan, seperti biasanya sebelum memasuki bulan Ramadhan, kita saling memaafkan satu sama lain, agar Puasa Ramadhan kita menjadi lebih sempurna. Tetapi, kenapa juga kalo puasa Ramadhan datang, yang kepikiran cuma lebarannya aja ya ?!.
Mungkin, karena Puasa (al-shiyam) mengandung arti menahan diri, sehingga ujiannya pun beratnya nggak keliatan, bahkan tak terasakan alias tak disadari. Godaan terhadap keinginan kita untuk cepet-cepet lebaran, sudah begitu nampak dari kesibukan ‘munggahan’ hari in, dimana sebagian besar kita disibukkan dengan persiapan berbagai makanan dan daftar menu sahur dan buka puasa besok. Bagaimana nggak mikirin lebaran, wong belum masuk Ramadahan aja, harga sembako sudah merangkak naik. Pasar Tanah-Abang sudah nggak bisa buat jalan santai. Mall-mall tiba-tiba padat merayap oleh lalu-lalang istri-istri kita, berebut diskon. Ibu-ibu di rumah begitu rinci merencanakan buat kue lebaran apa besok ?!!. Pokoknya, suasana lebaran sudah ada ‘bau’nya di hari pertama puasa kita sekarang. Knapa begitu ya ?!!.
Perintah Agama khan ?!, selain sebagai sebuah ibadah yang diwajibkan bagi setiap muslim, juga menahan diri dari makan, minum, berhubungan suami isteri, dan hal-hal lain yang membatalkannya sejak terbit fajar sampai terbenamnya matahari. Kewajiban puasa ini akan mengantarkan pribadi pelakunya menjadi takwa dan memang telah pernah ada pemberlakuannya sebelum umat Muhammad (QS. Al-Baqarah: 183). Namun, bukan berarti puasa kita akan terlewati godaan ?!!. Ternyata, secara tidak sadar, kita begitu sulit, yang mana daripada, menahan diri ini. Buktinya, setelah lebaran selesai, maka selesai pulalah kita ‘menahan diri’ untuk hal-hal yang membuat orang terluka. Kebiasaan-kebiasaan mengumbar hasrat, konsumeris dan hedonis, tetep aja nggak berubah.
Semua ustadz, kiyai, bahkan ulama seringkali mengatakan bahwa konsekuensi logis dari menahan diri itu akan melahirkan pribadi muslim yang takwa; Ketika kita kaya tetapi tidak menyebabkan kita sombong; ketika kita miskin dan terbatas hidupnya tidak menyebabkan kita berkeluh-kesah. Demikian juga ketika kita pandai tidak menyebabkan kepandaiannya itu menjadi sumber kesombogan dan membanggakan diri; ketika kita menjadi penguasa tidak menyebabkan kita mendzalimi orang lain, atau berbuat semena-mena terhadap orang lain. Dan lain sebagainya.
Mungkin, inilah bagian integral dari filosofi “menahan diri” yang sejatinya tumbuh dan berkembang dari waktu ke waktu, dari setiap puasa yang kita lakukan dengan ‘bener tur pinter’. Sehingga lahirlah pribadi yang tidak hanya shalih secara individual tetapi juga memiliki keshalihan sosial. Karena itu, sebaiknya kita jangan terjebak dengan pola “menahan diri” yang semu, yakni tidak ada follow-up dari upaya menahan diri yang dilakukan selama puasa Ramadhan nanti. Jangan sampai kita nggak kecipratan hikmah puasa Ramadhan yang kita jalani sebulan penuh, seperti ditegaskan oleh Rasulullah saw: “Betapa banyak mereka berpuasa tanpa memperoleh apapun dari ibadah puasanya kecuali sebuah proses menahan lapar dan dahaga.” (HR. Bukhari).
Akhirnya, sudah saatnya kita sadar alangkah meruginya, jika puasa Ramadhan ini tidak kita lakoni untuk menempa kemampuan kita dalam “menahan diri” dan semoga puasa kita tercermin dalam perilaku kita sehari-hari, dan terciptalah tatanan komunitas yang baik, peduli dan tidak dzalim terhadap sesama. Mohon maaf lahir bathin. Wallahu A’lamu Bishshawwab.
Bekasi, 17 Juni 2015.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H