Oleh. Purwalodra.
Dinamika rumah tangga, penuh dengan pernik-pernik komunikasi yang kadangkala menguras banyak energi. Hubungan suami-istri menjadi hangat atau dingin tergantung kedua belah pihak untuk memelihara tegangan, antara gairah biologis dan kenyataan hidup sehari-hari. Namun, tidak kalah pentingnya ketika persoalan cinta yang diwakili oleh ‘rasa’ memegang peranan dominan dalam sebuah hubungan. Menjalin hubungan yang menguras emosi dan rasa inilah yang kemudian menjadi persoalan tersendiri dalam kehidupan berumah tangga.
Konflik rumah-tangga berawal dari perbedaan cara berfikir antara suami dan istri. Laki-laki atau sang suami selalu berfikir dengan logika yang rasional, sementara berperilaku dengan perasaannya. Lain halnya dengan perempuan atawa istri yang biasanya berfikir dengan perasaannya, dan berperilaku dengan logika rasionalnya. Namun, perbedaan ini bisa dijembatani dengan rasa yang tumbuh dalam koridor cinta.
Ketika seorang istri berfikir keras dengan perasaannya, maka yang terjadi ia akan mengalami ‘defisit rasa’ yang berakibat fatal, sehingga perilaku yang muncul akan kehilangan perasaannya. Begitu pula, ketika seorang suami banyak berfikir rasional menggunakan logika, maka ia akan mengalami ‘defisit rasionalitas’ yang juga akan berakibat fatal terhadap perilakunya yang tidak lagi rasional atawa irrasional. Tindakannya penuh keraguan, pikirannya penuh dengan hal-hal mistis, dan selalu bimbang dalam mengambil keputusan. Defisit rasa maupun defisit rasionalitas sama-sama memiliki potensi yang merusak hubungan antara suami dan istri, atawa sepasang kekasih.
Tindakan yang ditimbulkan dari pengaruh defisit-rasionalitas yang diderita oleh seorang suami biasanya dengan melakukan hal-hal yang tidak rasional, seperti halnya kecintaannya kepada batu akik yang berlebihan, membatasi uang belanja istri per hari, segala kebutuhan dapur dikelola oleh sang suami, dan bahkan selingkuh. Sementara, defisit-rasa yang diderita istri adalah perilaku yang boros dan tidak mampu mengelola keuangan keluarga, yang lebih parahnya lagi jika istri tidak lagi peka pada sikap dan perilaku anak-anaknya.
Perlu kita ingat, bahwa rasa di dalam diri manusia mampu menangkap totalitas dari realitas kehidupan, dan kemudian mengekspresikannya secara indah dengan cara-cara estetik maupun puitik yang seringkali melampaui rasionalitas dan kesempitan bahasa itu sendiri. Oleh karena itu, kita perlu untuk mendalami estetika, supaya kita mampu memahami kerumitan hubungan dalam rumah tangga, menghargai perbedaan-perbedaan yang ada, dan mengekspresikan penghargaan itu dengan cara-cara yang indah.
Selanjutnya, bahwa rasa itu bukanlah semata emosi. Emosi adalah bagian dari rasa, namun lebih kecil dan lebih sempit ruang lingkupnya. Sementara, rasa itu selalu mengandung emosi, namun lebih kaya dan lebih luas jangkauannya. Ketika orang menyamakan keduanya, mereka bagaikan menyamakan bukit di kaki gunung Semeru dengan gunung Semeru itu sendiri.
Sekali lagi, bahwa banyak konflik antar suami-istri atawa sepasang kekasih juga terjadi, karena hubungan antar mereka tidak menggunakan rasa yang dikemas dalam keindahan cinta. Sementara keindahan cinta ini justru berawal dari kedamaian di dalam hati masing-masing, antara sepasang suami dan istri, ato kekasih.
Sementara, damainya hati ini berawal dari berbagai peristiwa yang kita temukan sehari-hari, yang biasanya berasal bebagai keinginan dan kebutuhan hidup. Ketika hati tidak damai, maka kita tidak akan dapat hidup maksimal, apalagi mengekspresikannya dalam suatu keindahan. Kita tidak akan bisa menjadi pelayan sejati bagi orang lain (men for others). Terkait dengan persoalan ini, orang Jerman punya istilah menarik tentang ini, yakni das Sein dan das Sollen. Das Sein adalah apa yang secara nyata terjadi. Sementara, das Sollen adalah apa yang seharusnya terjadi, atau apa yang kita harapkan terjadi. Celah antara dua hal ini, yakni antara apa yang sesungguhnya terjadi dan apa yang kita harapkan terjadi, inilah yang membuat hati kita tidak merasakan kedamaian.
Selanjutnya, kata kunci yang bisa kita gunakan dalam menjalin hubungan cinta yang indah ini, antara lain menganggap penting pasangan kita dan menganggap penting hubungan kita dengannya. Karena, saat ini manusia modern hidup dengan memakai alam ini dan manusia lain untuk kepentingannya sendiri. Inilah yang biasanya disebut sebagai cara berpikir eksploitatif, yakni cara berpikir yang melihat segala sesuatu di sekitar kita semata sebagai alat untuk dihgunakan untuk memenuhi kebutuhan fisik maupun emosional kita sebagai manusia. Cara berpikir inilah yang melahirkan penjajahan antar manusia atas nama keuntungan ekonomi. Cara berpikir ini akan melahirkan kekosongan dalam hidup kita.
Martin Heidegger dan Edmund Husserl, filsuf Jerman abad 20, melakukan kritik tajam pada cara berpikir eksploitatif ini, dan menawarkan alternatif, yakni cara berpikir yang “tenang dan menghargai realitas”. Cara berpikir ini berusaha menghargai lingkungan disekitar kita dan manusia lain sebagai sesuatu yang penting dan bernilai pada dirinya sendiri, bukan hanya nilai guna. Dengan kata lain, apresiasi dan ekspresi suatu keindahan akan menggantikan eksploitasi sebagai cara berpikir. Dengan cara berpikir ini, orang bisa merasa bahagia, hidup cukup secara emosional, dan menjalin hubungan yang bermakna dengan orang lain.