(Kado Para Guru Dan Dosen)
Oleh. Purwalodra
Hari Rabu ini adalah hari Guru dan Dosen Nasional, Pemerintah Republik Indonesia telah menetapkan bahwa tanggal 25 November merupakan hari guru nasional, dimana tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994 yang dikuatkan oleh Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, serta Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru. Dan, tanggal 25 November ini sekaligus menjadi hari lahirnya Persatuan Guru Indonesia.
Bicara tentang Guru atau Dosen, tidak bisa lepas dari niat baik seuatu negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsanya. Karena seara mental, pertahanan terakhir yang harus tetap kuat, sesungguhnya berada di tangan guru. Karena, tidak akan maju satu negara jika negara itu tidak memiliki sumber daya manusia (SDM) yang handal. SDM yang handal ada karena peran guru atau Dosen di negeri tersebut.
Mungkin kita, bisa mengingat kembali tragedi yang melanda Jepang akibat bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Dimana, hal pertama dan hal yang terpenting yang ditanya oleh Kaisar Jepang pasca ledakan bom atom tersebut, adalah masih adakah guru yang tersisa. Pada akhirnya, Jepang mencoba bangkit dengan menumpukan harapan kepada para guru. Dan hasilnya sekarang, Jepang menjadi raksasa industri dunia meski sebelumnya porak poranda.
Apabila kita mau menelisik lebih jauh, sepertinya ada yang terlewatkan oleh para pembuat kebijakan. Seakan-akan mereka tidak menyadari, bahwa seorang Guru atau Dosen dalam menjalankan tugasnya, bukan hanya berhadapan dengan benda mati dengan segudang administrasinya, melainkan juga dengan makhluk hidup yang bernyawa dan punya karakter, serta kepribadian yang beragam. Guru atau Dosen yang profesional tidak hanya mengajar, tetapi juga mendidik. Untuk itu, guru atau Dosen sangat membutuhkan pikiran yang jernih, tanpa ada beban berlebihan terhadap fisik dan mentalnya, agar kegiatan mengajar dan mendidik bisa lebih fokus dan mampu memberikan pencerahan bagi murid-murid dan mahasiswanya. Â
Guru dan Dosen bertanggung jawab menjadikan peserta didiknya seorang yang pintar dan cerdas serta berkepribadian. Namun, di banyak yayasan pengelola pendidikan, belum memiliki kemauan baik untuk memberikan penghasilan yang layak bagi Guru atawa Dosesnya. Sebab, Guru atau Dosen, tak hanya dibebani tugas mengajar dan mendidik, tetapi juga bertanggung jawab terhadap hasil peserta didiknya, baik akademik maupun psikologis dan mentalnya.
Selain persoalan kesejahteraan Guru atau Dosen yang sampai saat ini belum tuntas, ternyata negeri ini juga mengalami krisis keteladanan tokoh publik, maraknya kebohongan, dan peristiwa ketidakadilan tak bertuan telah menenggelamkan peserta didik kita pada kubangan pembodohan dan pembebalan moral. Realitas keseharian yang mestinya menjadi obyek pembelajaran akhirnya hanya menjadi realitas penuh dusta. Pembelajaran pun hanya dalam buaian mimpi, penuh kepura-puraan dan kepalsuan.
Sehingga, gaung pengajaran tentang prinsip keadilan, nilai-nilai kehidupan, ajaran moral, hingga ragam aturan keagamaan segera senyap ketika tak terpetakan lagi dalam hidup keseharian masyarakat kita. Guru atau Dosen sering harus puas dengan jerih payahnya yang hanya menyentuh dimensi rasional. Realitas negeri yang penuh kebohongan telah menghancurkan prinsip pendidikan tentang rasionalitas, yang seharusnya dapat dipertanggungjawabkan. Dampak tragisnya adalah lahirnya generasi pandai tetapi bebal secara moralitas. Di situlah terkadang saya merasa sedih ?!
Dalam kondisi seperti ini, para Guru atau Dosen dihadapkan pada tantangan pengelola lembaga pendidikan yang memperjual-belikan Ijazah dan gelar palsu. Sampai hari ini, ternyata masih banyak lembaga pendidikan yang melakukan ini dengan alasan untuk menutupi cashflow lembaganya. Dalam praktek semacam ini, sebenarnya para Guru atau Dosen, banyak yang tidak mengetahui ulah lembaga yang mempekerjakannya !.
Namun demikian, upaya untuk menjadi seorang Guru atau Dosen yang baik dan profesional harus tetap menjadi niat baik. Menurut Richard Leblanc, pengajar di York University, Ontario, Kanada, bahwa seorang guru harus hidup dalam suatu paradoks. Di satu sisi, ia harus bersikap penuh hormat dan kelembutan pada murid-muridnya. Di sisi lain, ia juga harus bersikap keras dan menerapkan displin secara konsisten pada murid-muridnya, sehingga mereka bisa mengembangkan potensi dirinya semaksimal mungkin.