Oleh. M. Eko Purwanto
[caption id="attachment_254399" align="alignleft" width="261" caption="Authentic"][/caption]
Maghrib tadi adalah akhir Ramadhan 1431H. Besok pagi bakal terbit matahari 1 Syawwal 1431H. Harapan akan keberkahan Hari-hari dalam Ramadhan telah berlalu begitu cepat, meski lapar dan haus serta berbagai pengendalian hawa nafsu menjadi rutinitas keseharian kita kemaren. Sekarang semua itu menjadi pengalaman spiritual, dengan buah kekuatan yang sangat halus, yang akan membimbing kita selama sebelas bulan ke depan. Ramadhan telah kita lalui dengan khidmad. Berbagai ibadah khusu' pun kita jalankan dan bermacam kewajiban telah kita tunaikan dengan baik. Semoga kita bisa dipertemukan lagi pada Ramadhan di tahun depan.
Berkah puasa di bulan Ramadahan telah menjadikan kita lebih terbuka dan ikhlas menerima apapun yang hadir dalam hidup kita. Karena, di tengah-tengah kehidupan kemaren, mungkin kita lebih banyak memilih untuk "menutupi diri" daripada harus terbuka tentang keberadaan kita, baik itu pendirian, perasaan, maupun kelemahan dan kesalahan kita. Hal ini disebabkan karena kita mengalami luka akibat berbagai penolakan yang dilakukan oleh lingkungan kita masing-masing, baik itu di dalam rumah tangga, keluarga, sekolah, kampus, maupun tempat kerja kita. Kita menemukan bahwa lingkungan kita seringkali tidak seramah yang kita harapkan atau inginkan. Akibatnya, kita akan menutup diri dan sering "berpura-pura". Sikap ini merupakan alternatif yang lebih aman yang sering kita gunakan untuk menghadapi suatu keadaan yang tidak menyenangkan.
Dengan kekuatan spiritual yang sangat halus, berkah dari menjalankan Ibadah Puasa dan pernak-pernik pengendalian hawa nafsu di bulan Ramadhan, insya Allah akan menjadikan sikap keberserahan kita kepada Allah Swt semakin meningkat, dan keyakinan kita terhadap sesuatu yang tidak kita ketahui akan menjadi motivasi yang sangat tinggi untuk selalu berbuat kebaikan terhadap sesama.
Tulisan ini mungkin bisa kita jadikan kekuatan ato sekedar inspirasi untuk mampu mempengaruhi hidup kita dan kehidupan orang lain secara lebih dalam, yaitu pengaruh yang ditimbulkan pada saat kita menjadi diri kita sendiri.
Ada sebuah ‘kata' yang kita kenal dalam dunia kepemimpinan, mengenai kekuatan dari suatu pengaruh yang sangat besar yang dapat diberikan oleh seorang pemimpin kepada lingkungannya. Kata tersebut ialah "authentic" yang berasal dari bahasa Yunani kuno "authentikos". Kamus Webster memberikan definisi untuk kata tersebut sebagai berikut: asli (not false or imitation, original), murni (genuine). Selain itu definisi yang diberikan oleh The Ethics Center for Engineering and Science dari Massachussetts Institute of Technology (MIT) untuk kata "authentic" adalah "tidak adanya kemunafikan" atau "membohongi diri sendiri" (the absence of hypocrisy or self-deception) yang lebih lanjut juga dijelaskan oleh kamus Webster sebagai tidak munafik (genuine, not being a hypocrite). Kata munafik (hypocrite) sendiri berarti "berpura-pura, meniru" atau "bertindak seolah-olah" untuk sesuatu (kebiasaan, nilai, atau karakter) yang orang tersebut sebenarnya tidak miliki.
Kekuatan Kepemimpinan seseorang bukan hanya mengenai suatu posisi yang dimiliki seseorang, melainkan pengaruh yang ditimbulkannya, baik positif maupun negatif. Seorang pemimpin yang sejati, asli, murni, atau authentic adalah seseorang yang hidup dengan membiarkan orang lain membaca kehidupannya, seperti suatu buku yang terbuka, tanpa rasa takut sedikitpun untuk menunjukkan semua keberadaannya, baik kekuatan, kelemahan, maupun kesalahan yang dibuatnya.
Pengaruh terbesar yang dapat diberikan seorang pemimpin kepada orang yang dipimpinnya bukanlah melalui kesempurnaan visi, misi atau program yang realisasikan, melainkan melalui perubahan yang ditunjukkannya. Kata kunci dari kalimat tersebut adalah menjadikan diri kita tetap ‘authentic' alias menjadi diri kita sendiri yang asli atau tidak munafik.
Dengan menjadikan diri kita authentic, maka kekuatan percaya diri kita meningkat dan energi spiritual kita tumbuh mempengaruhi orang-orang disekitar kita untuk tidak berpura-pura baik terhadap kita. Tetapi, jika kita sendiri tidak authentic, maka lingkungan kitapun akan menjadi lingkungan yang penuh dengan kemunafikan, akhirnya kita akan hidup diantara orang-orang yang selalu berlomba-lomba berbuat kedzaliman. Naudzubillah ...