Sambungan dari Bagian 1, ...
Sebagai contoh saja, ia saat ini masih harus melunasi angsuran 3 tahun lagi ke salah satu bank swasta nasional terkemuka di Bekasi, sejak 4 tahun lalu. Pinjaman usaha yang hanya berjumlah 56 juta, dengan bunga 1,75% (Flat) per bulan, ia harus membayar Rp. 1.700.000,-/bulan, selama 7 tahun. Dengan angsuran sebesar itu dan penghasilan tetap yang sudah tidak ada lagi, dari mana ia bisa membayar angsuran, sementara ketiga anaknya belum mampu membantu meringankan beban hutangnya di bank. Warung yang dimilikinya hanya beromset duaratus ribu saja perhari, dari omset sebesar itu paling tinggi hanya menghasilkankan keuntungan 20 % saja. Kalau saja ia tidak makan setiap hari selama sebulan, 20 % dari keuntungannya sebulan bisa diperoleh Rp. 600.000,-, uang sebanyak ini tidak cukup mengangsur hutang bank yang ia tanggung.
Berhutang Pada Diri Sendiri 2
Namun, dengan keyakinannya yang tinggi dan semangatnya yang tidak pernah putus, ia bisa melunasi angsuran hutang bank tersebut setiap bulannya. Bagaimana ia dapatkan kekurangan angsuran bank dan untuk makan sehari-hari bersama istri dan satu anaknya yang belum bekerja itu ?. Nah, dari sinilah saya kemudian menemukan apa yang ia sikapi dan lakukan dalam hidupnya sehari-hari ternyata memiliki kekuatan spiritual untuk menghasilkan uang. Sementara ia sendiri tidak menyadarinya, bahwa apa yang ia lakukan mampu menghadirkan apa yang ia inginkan. Jangankan teman saya ini memahami hukum-hukum universal, baca buku-buku tentang pengembangan pribadi saja, belum pernah. Apalagi memahami tentang ayat-ayat dalam Al Qur'an yang menginformasikan tentang hal ini, karena saya sendiri belum paham betul apa hakekat Iman, Tawakal dan Taqwa yang secara definitif saja masih sulit saya pahami.
Ada beberapa sikap dan perilaku dimana teman saya ini mampu mengatasi masalah hidupnya sehari-hari, khususnya persoalan terhadap finasialnya. Pertama-tama, yang saya ketahui dari teman saya ini adalah, ia mampu menggali, meyakini dan memanfaatkan dirinya sendiri. Selama ini, Pak Sapar yang saya kenal adalah seorang yang cukup kreatif di bidang listrik, mudah membantu orang lain, dan tidak pernah melakukan diskriminasi dalam bergaul. Siapapun ia bantu bahkan sampai mengurus KTP maupun Kartu Keluarga, tanpa imbalan yang diminta. Karena keikhlasannya itu, banyak orang memberikan 'tip' lebih banyak dari apa yang telah dilakukannya itu, meskipun ia sendiri tidak memintanya.
Ia mampu menggali potensinya berupa kemampuannya di bidang listrik, sekaligus meyakininya bahwa potensinya tesebut layak untuk membantu orang banyak, dan memanfaatkannya dengan ikhlas, tanpa kepentingan materi yang harus dikejar meskipun ia sendiri membutuhkannya. Sehingga sampai sekarang, tenaga dan fikirannya digunakan oleh orang se-RW. Paling tidak minimal ada 3 orang dalam sehari yang membutuhkan bantuannya untuk memperbaiki peralatan yang berhubungan dengan listrik. Jika masing-masing orang yang ia bantu minimal memberikan 'tip' tiga puluh ribu rupiah, sudah pasti ia mengantongi minimal 90 ribu rupiah sehari. Namun, kadang-kadang ada saja dalam sehari tak seorangpun yang memintanya memperbaiki peralatan listrik.
Kedua, teman saya yang satu ini ternyata mampu mengendalikan pikirannya agar tetap postip dan menjauhkan diri dari prasangka buruk terhadap orang lain. Sering saya mengatakan pada teman saya ini bahwa tetaplah berfikir positip dan menerima apapun yang terjadi sesuai kemampuan kesabaran yang kita miliki, agar kita memiliki kekuatan spiritual untuk menerima solusi yang terbaik dari jiwa kita sendiri. Kata-kata saya ini kemudian diyakini sebagai jalan pintas untuk mengurai sekaligus memunculkan solusinya sendiri, tanpa harus menguras energi pikiran kita yang sangat terbatas ini.
Terakhir, teman saya ini juga mampu mengendalikan amarahnya (emosi), ia mampu tetap berada dalam kondisi tenang apapun situasi yang membuatnya sakit hati. Meskipun ia sendiri tahu kapan ia harus marah dan kapan ia tetap menjaga kekuatan sabarnya. Namun, ia lebih memilih sabar daripada marah. Ia tidak ingin ketenangan dan kedamaiannya terganggu, makanya ia selalu banyak diam kalo sedang marah dan terus berbuat ato menyelesaikan apa yang harus diselesaikan.
Kemampuannya untuk mengendalikan amarahnya ini, ternyata membuat dirinya lebih tenang alias tidak terburu-buru (tidak sabaran) dan meyakini sesuatu yang tidak ia ketahui. Pernah saya katakan kepada teman saya itu, bahwa sikap terburu-buru (tidak sabaran) ini lahir karena pikiran kita sudah merasa terikat dengan hasil yang kita harapkan, sehingga secara emosional kita ingin cepat-cepat menyelesaikan dan melihat hasil dari ikhtiar yang kita lakukan tersebut. Wal hasil, ternyata apa yang kita lakukan dengan terburu-buru adalah sia-sia, kalau tokh ada hasilnya lebih banyak kecewanya.
Kemampuan untuk mengendalikan amarah ini juga akan melahirkan keyakinan terhadap apa yang belum kita ketahui sebelumnya, karena kita sudah merasa benar-benar ikhlas dengan apa yang akan kita terima nantinya. Dengan meyakini apa yang tidak kita ketahui ini, justru akan menghasilkan sesuatu yang positip bagi setiap ikhtiar kita. Kita akan selalu dikejutkan oleh hasil-hasil (secara finansial) yang tidak pernah terduga sebelumnya.
Ketiga sikap dan perilaku teman saya ini ternyata menjadi hikmah bagi saya dan menyadarkan saya bahwa ternyata saya masih banyak berhutang pada diri saya sendiri. Hutang saya terhadap diri saya akan lebih mengerikan akibatnya dari pada hutang teman saya kepada bank, karena hutang saya terhadap diri sendiri berakibat tidak akan munculnya petunjuk hidup dari bathin/jiwa saya sendiri, dan apa yang saya inginkan tidak akan pernah berwujud. Salah satu hutang saya adalah tidak menjalankan apa yang pernah saya katakan kepada teman saya itu. Wallahu A'lam bish-shawab.