Oleh. Purwalodra
Kebencian-kebencian kita hari ini, adalah efek dari rasatakut yang masih kita pelihara. Penderitaan kita sampai hari inipun selalu bersumber dari rasa takut yang menghantui kita. Rasa takut ini merupakan sumber dari kegelisahan, kecemasan dan kekuatiran kita terhadap masa lalu, masa depan atau juga terhadap seseorang. Kita menjadi tidak karuan dan kacau hari ini karena Kebencian-kebencian ini akan terus berada dalam pikiran yang membelenggu. Pikiran kita terus saja mengisahkan cerita-cerita ilusif yang sesak dengan kepalsuan dan penipuan.
Pertanyaannya, bagaimana kita bisa memiliki kemampuan melepas cerita-cerita ilusif dari pikiran kita itu ?. Jawaban sederhananya adalah kita perlu sadar. Memang, sudah semestinya kita perlu menyadari, bahwa segala hal di dunia ini hanya sementara. Ia ada dan kemudian dengan berjalannya waktu, ia menghilang. Hal ini berlaku untuk segala sesuatu, mulai dari karir, keluarga, harapan, kekecewaan dan kehidupan itu sendiri. Semua ada dan akan berlalu.
Plato, filsuf Yunani Kuno, juga sudah menegaskan, bahwa tubuh adalah penjara bagi jiwa. Tubuh itu hanya seperti kendaraan yang mengantar manusia ke berbagai ruang. Namun, ia menghalangi jiwa manusia untuk sampai pada pengetahuan sejati. Tubuh manusia akan sakit, menua dan akhirnya mati. Namun, jiwa manusia tidak pernah lahir, dan juga tidak akan pernah akan mati. Ia selalu ada. Tubuh dan segala yang ada hanyalah kesementaraan yang bersifat kosong. Semuanya adalah ilusi yang tampak nyata bagi indra kita.
Selanjutnya, di dalam diri manusia, kesadaran lalu melahirkan pikiran. Pikiran berguna bagi manusia untuk memempertahankan dirinya. Untuk itulah ilmu pengetahuan dan teknologi dilahirkan. Pikiran manusia juga menciptakan konsep dan bahasa yang berguna untuk memahami segala sesuatu. Dalam arti ini, dapatlah dikatakan, bahwa pikiran kita menciptakan segalanya yang diketahui manusia.
Namun, pikiran manusia juga memiliki kelemahan. Pada hakekatnya, pikiran kita itu bersifat kosong, sementara dan tidak pasti. Pikiran manusia tidak mencerminkan kebenaran, melainkan hanya aktivitas mental subyektifnya saja. Ia datang dan pergi, bagaikan angin dingin di tengah musim panas.
Seringkali kita sibuk dengan pikiran kita sendiri, dan kita juga selalu mengira bahwa pikiran kita nyata. Kita menganggap bahwa pikiran kita juga sebuah kebenaran. Jika kita kritisi lebih jauh, pikiran kitalah sumber dari segala penderitaan batin dan konflik antar kita sebagai manusia, yakni dari pikiran kacau yang dianggap sebagai kebenaran.
Kita senantiasa mengalami kemelekatan pada pikiran kita sendiri, sehingga kita sulit memajamkan mata di malam hari. Kita menjadi tidak sadar, bahwa pikiran kita adalah kosong, sangat sementara dan tidak pasti. Karena kemelakatan inilah, kita menganggap diri kita selalu benar. Kitapun menjadi orang yang sombong dan ngeyelan.
Kita yang selalu melekat pada pikiran kita, juga akan melekatkan diri pada pendapat yang kita miliki. Kita mengira, bahwa pendapat kita juga memiliki kebenaran mutlak. Kita tidak sadar, bahwa pendapat kitapun tidak mencerminkan kenyataan apa adanya. Kemudian, kita akan terjebak pada penyakit yang sama, yakni arogansi, dan mendorong kesalahpahaman serta konflik dengan orang lain.
Kemelekatan kita pada pikiran juga menciptakan penderitaan. Kita akan selalu diatur oleh pikiran kita sendiri. Ketika senang, kita akan merasakan senang secara berlebihan. Ketika sedih, maka kita akan menjadi amat menderita, bahkan ingin bunuh diri.
Pada akhirnya, kita, sebagai manusia, harus hidup di antara sikap memegang dan melepas. Ketika kita ingin menggenggam sesuatu, kita harus mampu melepas sesuatu yang lain. Kita perlu mengelola alam ini, sambil belajar untuk melepaskannya. Kita perlu menjalani hidup ini, sambil terus sadar, bahwa hidup ini pun akan segera berlalu. Kita harus hidup dengan sepenuh hati, sambil terus sadar, bahwa tubuh kita akan menjadi bangkai dan debu pada akhirnya nanti ... mungkin saatnya sekarang, kita berhenti mikirin pikiran !!!. Wallahu A'lamu Bishshawab.