Oleh. Purwalodra
[caption id="attachment_331296" align="alignright" width="300" caption="Foto koleksi pribadi"][/caption]
Sore tadi seorang teman curhat soal kondisi hidupnya dalam menjalani tugas-tugas pekerjaannya. Ia merencakan akan mengambil pensiun dini dalam waktu dekat ini, alasannya sederhana, yakni hanya ingin fikiran dan hatinya bebas tidak terbelenggu, ia ingin mengem-bangkan apa yang menjadi harapannya selama ini, yaitu berusaha menjadi dirinya sendiri dalam memperoleh nafkah hidup bagi keluarganya.
Curhat-curhat semacam ini ternyata hampir setiap hari kutemui di berbagai unit kerja, meski kondisi tempat saya bekerja saat ini boleh dibilang sedang maju-majunya melakukan ekspansi usaha. Namun, hampir seluruh karyawannya berkeinginan untuk melarikan diri dari hiruk-pikuk pengembangan usaha yang dilakukan oleh para pimpinan perusahaan. Hal inilah yang biasa disebut oleh para akademisi sebagai ketidakpuasan kerja.
Banyak faktor yang menjadi sebab dari ketidakpuasan kerja ini, mulai dari kompensasi yang tidak adil, sampai dengan kepemimpinan organisasi yang buruk. Ketidakpuasan kerja ini yang akhirnya dapat menimbulkan perilaku negatif karyawan terhadap organisasi, yaitu menurunnya komitmen karyawan terhadap pekerjaan, dan bahkan kepada organisasinya. Bagi seorang pemimpin yang hanya berorientasi pada keuntungan dan hanya peduli pada dirinya sendiri, ketidakpuasan kerja karyawannya menjadi hal yang sangat menguntungkan. Karena karyawan-karyawan lama yang dianggap gajinya sudah dianggap tinggi akan memutuskan untuk mengundurkan diri, dengan pesangon seadanya.
Para pimpinan perusahaan yang tidak peduli pada kesejahteraan karyawannya juga akan sangat diuntungkan, apabila karyawan lama yang berstatus tetap ini mengundurkan diri dari pekerjaannya. Keuntungan ini diperoleh dari berkurangnya orang-orang yang kritis, susah diatur dan tidak loyal kepada pimpinan. Pimpinan perusahaan beranggapan, bahwa karyawan baru dengan gaji apa adanya, mudah diatur dan bisa patuh seperti robot.
Dari banyak kasus, ketidakpuasan kerja ini memang sengaja diciptakan di dalam banyak oraganissai, baik yang berorientasi profit maupun sosial. Tujuan dari usaha untuk menumbuhkan ketidakpuasan kerja di kalangan karyawan ini adalah untuk mengurangi orang-orang lama yang ada didalam organisasi, selain itu juga untuk melakukan upaya-upaya pembusukan dan mentiadakan pemberdayaan bagi karyawan. Hal ini wajar dilakukan karena, biasanya organisasi akan melakukan pembersihan bagi orang-orang yang tidak lagi loyal kepada pimpinannya, bukan loyal pada perusahaan. Pemimpin semacam ini biasa disebut sebagai pemimpin yang berorientasi kepada kekuasan semata.
Dalam suasana ketidakpuasan kerja yang sengaja diciptakan ini, secara teoritis karyawan melakukan tindakan-tindakan sebagai pengungkapan atas ketidakpuasan kerja ini, yaitu :
- Keluar (Exit) yaitu meninggalkan pekerjaan termasuk mencari pekerjaan lain.
- Menyuarakan (Voice) yaitu memberikan saran perbaikan dan mendiskusikan masalah dengan atasan untuk memperbaiki kondisi.
- Mengabaikan (Neglect) yaitu sikap dengan membiarkan keadaan menjadi lebih buruk seperti sering absen atau semakin sering membuat kesalahan.
- Kesetiaan (loyality) yaitu menunggu secara pasif sampai kondisi menjadi lebih baik.
Keempat tindakan tersebut menjadi jalan keluar bagi Karyawan yang mengalami ketidakpuasan kerja. Mungkin yang paling mudah dilakukan adalah memutuskan untuk keluar dari perusahaan, sementara tindakan yang paling berat adalah bertahan dan menunggu secara pasif sampai kondisi menjadi lebih baik.
Akhirnya, dalam filsafat tentang perilaku manusia ditegaskan bahwa tidak ada yang sungguh-sungguh baik dan sungguh-sungguh buruk. Semua lahir dari keadaan-keadaan yang menciptakannya. Tidak ada yang sungguh-sungguh benar dan sungguh-sungguh salah. Semua lahir dari rasa sakit, dan akan menciptakan rasa sakit pula. Bagi mereka yang mampu bertahan dalam kondisi ketidakpuasan ini adalah mereka yang berani menjalani hidup yang bukan hidupnya. Gimana kalo begitu !!!. Wallahu A'lam Bishshawwab.