Oleh. Purwalodra.
Seperti halnya pendapat umum, yang mungkin sudah menjadi hukum alam, bahwa cinta seorang laki-laki itu datangnyanya dari mata, lalu turun ke hati. Namun, lain halnya dengan seorang wanita, cintanya bermula dari telinga kemudian turun ke jiwa. Makanya, tidak jarang wanita cantik yang berdandan tidak wajar di tengah keramaian, dijadikan sebagai alat untuk menjual rokok merek baru. Menurut saya, hal ini adalah perbuatan yang melecehkan martabat wanita. Dan pengusaha yang mempekerjakan para wanita cantik untuk menjadi ‘sales girl’ itu, tidak lebih dari para buaya darat pemangsa bangkai ?!. Tapi, herannya para wanita cantik itu masih saja mau di jadikan alat promosi para begundal kapitalis, dan menjadikannya tidak cantik lagi ketika ia menjajakan rokok sambil senyum-sana, senyum-sini !!!.
Mungkin saya adalah sebagian besar manusia yang lemah menghadapi senyuman, dari orang-orang yang ahli dalam membuat semesta ini tersenyum. Meski banyak ustadz bilang, senyum adalah ibadah, namun bagiku senyuman tak lebih dari seonggok kemunafikan yang tak perlu ditafsirkan lagi sebagai sebuah komunikasi non-verbal. Mungkin, saat ini banyak sekolah yang mengajarkan bagaimana seseorang bisa tersenyum. Namun bagiku sekolah-sekolah itu bukan mengajarkan kejujuran, tapi justru mengajarkan manusia untuk memiliki sifat kepura-puraan. Sebab, ketika kita berada di sekolah maka kita tidak lagi boleh menggunakan hati nurani. Kita dituntut untuk mengikuti fakta, data dan informasi yang berkembang. Kita harus mengikuti teori yang sudah ada. Siapapun tak boleh berteori selain seorang profesor botak yang sering fikirannyapun tak masuk akal. Sekali lagi, tersenyum tak perlu diajarkan, ia akan lahir dengan sendirinya tanpa disuruh, jika hati nuraninya damai.
Bagiku, tak seharusnya manusia tersenyum hanya sebagai komoditas atawa alat untuk menipu. Karena senyum mudah ditelusuri darimana ia berasal. Jika lahir dari kepura-puraan, ia akan terasa hambar, tapi jika ia lahir dari jiwa yang damai kitapun bisa merasakannya dengan jiwa yang tenang.
Sebenarnya, saya ingin mengatakan bahwa dunia ini memang tak seperti penampakannya. Banyak hal tersembunyi di balik penampakannya. Yang sering tampil di permukaan justru kebohongan dan penipuan. Kebenaran dan kejujuran yang seringkali menyakitkan, justru mengendap di balik apa yang tampak sebagai fakta atau data itu.
Mungkin, itulah kenyataan hidup kita sehari-hari. Wajah cantik menyimpan kebusukan. Wajah tampan dan rapi menyimpan kerakusan. Kita bagaikan menghirup udara penipuan setiap harinya. Namun, penipuan itu tidak bisa dibiarkan. Ia harus dipertanyakan dan dilawan, supaya kita bisa melihat apa yang tersembunyi di baliknya. Mungkin, kita tak akan pernah sampai pada kebenaran. Namun, usaha untuk mempertanyakan penipuan juga dapat dilihat sebagai “kebenaran” itu sendiri, yakni kebenaran yang terus berubah dan berkelanjutan.
Sebaga manusia, seringkali kita tak menyadari bahwa penipu terbesar kita ternyata adalah pikiran kita sendiri. Dengan segala macam prasangka, trauma dan dendam, kita melihat kenyataan hidup ini tidak dengan kejernihan berpikir, tetapi dengan selimut kabut yang mengacaukan. Awan-hitam prasangka buruk, trauma dan dendam ini mengakibatkan kita selalu disiksa oleh pikiran kita sendiri. Seperti misalnya dengan kekuatiran dan ketakutan akan orang lain, atau kecemasan akan masa depan. Fikiran yang kacau dan jiwa yang tidak mendamaikan, akhirnya menuntun kita untuk bertindak seiring dengan kekacauan fikiran kita itu, yang menciptakan konflik dan ketegangan antar sesama.
Selanjutnya sumber dari semua penampakan dalam hidup kita, juga berasal dari persepsi kita sehari-hari tentang berbagai sesuatu. Persepsi yang baik akan memancarkan energi yang baik pula, namun persepsi buruk terhadap sesuatu akan banyak melahirkan prasangka, trauma dan dendam yang berkepanjangan.
Mungkin, kita perlu hidup dengan berpijak pada pemikiran dasar, bahwa apa yang tampak itu tak pernah apa yang sesungguhnya, dan inilah kenyataannya. Sebab kenyataan hidup kita hanya diwarnai dengan fikiran kita untuk selalu bisa diterima oleh orang lain, bukan ingin menampilkan diri kita apa adanya. Fikiran kita selalu mengajarkan agar kita menutupi kelemahan yang ada dalam diri kita, kalau tidak orang akan membuli kita, bahkan meremehkan kita. Intinya, kita tidak perlu bertindak alamiah, kita harus menampilkan diri kita sesuai kehendak masyarakat, dan tampil secara ilmiah.
Berpijak pada pandangan ini, saya sangat berkepentingan untuk “tidak selalu percaya” pada apa yang tampak dari orang lain. Penampilan fisik adalah tipuan terbesar yang mengelabui hidup setiap orang dari kenyataan hidupnya, bahkan tidak jarang senyum seorang wanita, adalah racun bagi laki-laki yang memandangnya. Begitupun rayuan seorang laki-laki adalah racun bagi para wanita. Akhirnya, saya mau bilang begini, ketika tak ada lagi senyummu di sini, mungkin bisa menjadi salah satu kebahagiaan tersendiri bagi saya ?!. Wallahu A’lamu Bishshawab.
Bekasi, 15 November 2015.