Oleh. Purwalodra
Curhat seorang ibu muda di pintu telingaku melalui ‘Ha-pe’ sedikit merusak irama gendang telingaku. Ia hampir-hampir juga merusak ‘mindset’ yang selama ini tertanam dibenakku tentang seorang perempuan yang minta agar diceraikan oleh suaminya, karena tidak mampu bertahan dalam badai perselingkuhan suaminya. Curhat yang tak pernah kenal waktu dan pulsa itu, telah mengundang persepsiku agar aku bisa memberikan solusi dan pencerahan terhadap seluruh problematika hidup dirinya. Namun, apalah diriku ... tak ada manusia yang mampu merubah kondisi hidup orang lain, kecuali dirinya sendiri.
Ibu muda beranak tiga itu, memintaku untuk berkontribusi atas keputusannya agar dirinya memperoleh legitimasi dariku, bahwa ia masih dalam koridor kebenaran untuk mengambil keputusan cerai dengan suaminya. Aku Cuma bisa bilang, keputusan itu jangan didasarkan kepada kebencian atau apapun juga. Alasan cerai yang bisa netral adalah karena kehendak Tuhan atau memang karena suami mengingkari hal-hal yang tertuang dalam perjanjian pernikahan, yang terpapar dalam buku nikah. Jika saja alasan perceraian itu di dasarkan kepada kebencian, maka untuk proses-proses hidup selanjutnya, termasuk pernikahan-pernikahan berikutnya yang akan di jalanai oleh ibu muda itu, ceritanya akan sama seperti sebelumnya. Alasan-alasan perceraian di luar perjanjian pernikahan, atau bukan karena Tuhan, maka akan menjadi preseden buruk terhadap proses-proses kehidupan berikutnya, yang akan dilaluinya. Karena secara filosofis, sebuah alasan adalah sebuah pemikiran atau konsep, yang sengaja ditanamkan dalam benak dan jiwa kita sendiri, bahwa alasan tersebut adalah sebuah kebenaran. Sehingga ketika alasan-alasan itu menjadi sebuah kebenaran, maka kebenaran-kebenaran yang ada dalam benak dan jiwa itulah yang menjadi ‘kompas’ atau arah kehidupan yang kita buat sendiri.
Suatu alasan bisa menjadi arah kehidupan, atau bahkan akan menjadikan hidup ini paradoks, atau hidup akan berjalan berbanding terbalik dengan apa yang menjadi alasan kita itu. Sebagai contoh, alasan kita mau menikah dengan seseorang misalnya ingin agar hidup kita tidak kesepian, namun apa yang terjadi ketika kita sudah menikah dengannya ?. Kita justru terus merasa kesepian meski kita sudah dikarunia dua anak sekalipun. Hidup menjadi paradok dengan alasan-alasan yang kita miliki. Sebagai contoh lagi, ketika kita bekerja keras dengan alasan untuk menjadi kaya, namun ketika kita bekerja siang-malam tanpa kenal waktu dan kelelahan, apa yang kemudian terjadi ?. Kita justru terlibat banyak hutang, ditambah lagi hubungan kita dengan anak-anak dan istripun semakin renggang.
Salah satu yang menjadikan hidup ini menjadi paradok, atau jalan hidup yang tidak sesuai dengan alasan-alasan yang kita putuskan, karena kita terlalu yakin bahwa hidup ini sesuai dengan pikiran kita. Keyakinan kita yang terlalu tinggi inilah merupakan awal dari kehidupan yang paradok. Entah mengapa, inilah misteri kehidupan. Tapi ada sedikit logika yang bisa kita fahami dari pikiran kita yang terbatas ini, sebagi contoh, ketika kita menginginkan sesuatu dengan keyakinan penuh, maka sikap sombong dan takabur akan menghiasi perjalanan hidup kita. Sikap sombong dan takabur inilah yang kemungkinan akan menjerumuskan kita pada penderitaan yang tanpa berkesudahan. Kita tetap saja sedih, meski kesabaran kita sudah sampe ke ubun-ubun. Kita tetap menderita, meski kita terus berdo’a. Dan, kita masih saja kecewa meski usaha-usaha kita sudah memakan banyak korban pikiran, harta, bahkan jiwa.
Mungkin, kita bisa kembali membersihkan semua alasan-alasan hidup kita, dengan mengingat kebali alasan-alasan orang tua kita pada saat, kita baru dilahirkan ke dunia ini. Orang tua kita bilang begini, ‘semoga fulan/fulanah menjadi anak yang Sholeh-Sholehah, berguna bagi agama, masyarakat, bangsa dan negaranya.’ Bersama alasan-asalan orang tua kitalah, maka kita menjadi hidup kita lebih terbimbing, bisa teruji dengan baik oleh dinamika kehidupan dalam keluarga dan masyarakat, dimana kita hidup di dalamnya. Ketika orang tua kita menyatakan diri, agar anaknya menjadi anak yang Sholeh/Sholehah, maka ujian yang akan kita hadapi adalah ujian moral. Semantara, ketika orang tua kita bilang, agar kita bisa berguna bagi agama, masyarakat, bangsa dan negara, boleh jadi kita akan menemukan berbagai persoalan-persoalan hidup bersama masayarakat kita kelak di kemudian hari.
Oleh karena itu, apakah tidak lebih baik kita memiliki alasan-alasan yang mampu menyertakan Tuhan, atau alasan-alasan yang mampu menyertakan penghambaan kita kepada Allah Robbul ‘Alamien dalam hidup kita ?! ... dengan begitu kendali hidup kita bukan berada pada fikiran kita, tapi pada kekuatan yang Maha Besar dan Maha Mengetahui dari hidup dan kehidupan kita yang fana ini. Wallahu A’lamu Bishshawwab.
Bekasi, 05 Juni 2015.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H