Oleh. Wira Dharmadumadi Purwalodra.
Setiap langkah kecil yang menyapu,
jalan kehidupan.
Lahir kejahatan dari lapisan-lapisan  halus,
pengabdian.
Tumbuh bak tubuh yang terus membesar, dan
bermain-main dengan kendali wewenang.
Kadang mereka disebut penjaga hati.
Namun, justru mengejar kepentingan pribadi.
Mengunakan tahta sebagai kapal-kapal kepentingan.
Diam-diam mengeruk samudera, dan
meninggalkan kotoran.
Dengan, selimut tipu-tipu, tanpa kompetensi.
Mereka terus memainkan harta orang.
Mengeruk semua kepentingan umum.
Menjadi istana di tengah kemelaratan.
Tak perduli, Sang Maha Segalanya, murka.
Permainan mereka tak lagi  indah,
penuh rekayasa di kepala.
Berkolusi disepanjang layar kehidupan,
hanya untuk dirinya sendiri.
Saat mata dunia tertutup, mulut terkunci,
mereka bebas berbuat tanpa emphati.
Mereka tak rasakan pahitnya derita dan nestapa.
Kekayaan mengalir tanpa kendali.
Masa depan orang lain, terenggut tanpa ampun.
Nasib anak-anak bangsa terbakar,
api kemarahan dan ego kotor.
Lembaga, tempat kita menyaring ide-ide.
Mestinya, jadi cahaya yang tak menyilaukan,
bagi siapapun.
Mestinya, dapat mensucikan siapapun,
termasuk keserakahan dan kebutaan syari'at.
Mereka masih bermain dalam kegelapan.
Masihkah, kearifan menghuni relung-relung nurani ?!
Masihkah, semerbak bijaksana tebarkan wewangian ?!
Ungkap kebenaran yang diam terpendam.
Bakar kapal-kapal dan tenggelamkan,
dalam samudera kepentingan mereka sendiri.
Ketika, tiupan angin dianggap kesejukan,
percikan petir dianggap kesyahduan,
kemarau dan derasnya hujan dianggap kenyamanan, Â
Sang Maha Adil tetap terjaga dan selalu bicara.
Bekasi, 06 Juli 2023.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H