Oleh. Purwalodra
Tak terasa sudah setahun lebih jari-jemariku tidak lagi menari-nari diatas tombol-tombol laptop. Dan entah sudah berapa semester saya tidak lagi bertatap muka langsung dengan para mahasiswa, jauh sebelum Covid-19 menjadi trending topic di seluruh dunia. Rindu menulis dan rindu mengajar, sebenarnya sudah menjadi pakaian hidup saya sehari-hari.Â
Meskipun, Allah sudah mengganti kedua kesibukan tersebut dengan berbagai kesibukan lainnya, terkait aktivitas akademis tersebut. Namun masa-masa romantisme itu membuncah seperti erupsi merapi kemaren. Tentu ada hikmah dan pelajaran berharga, ketika saya mencoba menyadari bahwa semua ini atas skenario-Nya yang Agung.
Menurut saya, tak ada hubungannya antara menulis dengan mengajar. Mungkin saja, menulis ada hubungan dekat dengan membaca, dan yang saya tahu bahwa mendengar ada hubungan intim dengan berbicara, atawa mengajar. Namun, apapun aktivitas kita yang bersumber dari semua pengetahuan, jika kita sematkan makna di dalamnya, maka seluruh aktivitas hidup dan kehidupan kita akan bermakna.Â
Dan kita akan tetap bergairah menjalaninya, meskpun terlihat tidak menyenangkan. Misalnya, Kehidupan sulit hari ini, terkait dengan pekerjaan dan eksistensi lainnya, akan selalu bermakna dalam hidup kita, jika kita mampu menarik hikmah/filosofinya. Namun jika kita tidak mampu memaknainya, semua itu hanyalah segumpal penderitaan yang tak berujung dan tak pernah berakhir.
Semua hikmah dan tujuan manusia dalam hidup ini, senantiasa dimuarakan pada kebahagiaan. Karena tidak ada hal lain, selain kebahagiaan. Orang yang sudah bahagia tak mungkin menginginkan hal lainnya, meskipun hanya 'sesuatu'. Jika kita masih menginginkan hal lain, maka kita belum menemukan apa itu kebahagiaan. Â
Untuk bisa bahagia, tentunya kita perlu menciptakan kebiasaan-kebiasaan untuk bisa hidup bahagia (happiness habit). Caranya adalah dengan berusaha untuk hidup di sekitar orang-orang yang mengembangkan potensi kita, bertindak sesuai dengan apa yang dapat mengembangkan potensi kita, mengetahui dan bertindak sesuai dengan potensi unik yang kita miliki, dan hidup selaras dengan nilai-nilai yang kita yakini.Â
Dari semua itu, hal pertama yang penting kita bangun adalah identitas diri. Sadari pula, bahwa memahami dan menerima diri kita apa adanya adalah kunci utama untuk menjadi bahagia. Kemudian, kita yang bahagia harus bisa mencintai dan menghargai diri sendiri, walaupun mungkin saja kita sangat berbeda dibandingkan dengan lingkungan sosial disekeliling kita.
Mengenali, memahami dan menerima identitas diri kita apa adanya, dimaksudkan untuk memberikan 'polesan' makna dari apa yang kita kerjakan di dalam hidup ini, diantaranya adalah profesi kita, hobi dan kesenangan kita. Orang lain belum tentu mampu membedakan hal ini. Misalnya, kita adalah sekaligus seorang suami, ayah, dosen, dan seorang penulis.Â
Dan, mungkin selama ini tidak ada masalah dengan beragam identitas tersebut. Tiba-tiba, ketidakbahagiaan muncul ketika salah satu dari identitas tersebut memperoleh perhatian lebih dibandingkan yang lainnya, pasti ada satu bentuk identitas yang berkurang porsi perhatiannya.Â
Ketika identitas sebagai seorang dosen lebih penting dari sebagai seorang ayah, maka keluarga akan merasa dipinggirkan. Dan ketika identitas seorang ayah lebih penting daripada seorang dosen, maka pekerjaan sehari-hari akan terganggu. Setiap orang perlu untuk menjaga keseimbangan identitasnya. Memang tidak mungkin keseimbangan itu dicapai sepenuhnya. Akan tetapi usaha untuk meraih keseimbangan itu perlu diupayakan terus-menerus.