Berbagai pemikiran Filsuf di awal abad pertengahan Eropa juga berpikir tentang keberadaan waktu ini. Mereka, melihat perbedaan antara dua macam waktu, yakni waktu subyektif dan waktu obyektif.Â
Waktu subyektif adalah waktu yang kita rasakan di dalam batin dan pikiran kita. Sementara, waktu obyektif adalah waktu sebagai mana tertera di dalam jam dan kalender. Ia adalah hari, jam dan tanggal yang digunakan sebagai panduan oleh banyak orang di dalam hidupya.
Sementara itu, waktu subyektif dan waktu obyektif berjalan dengan logika yang berbeda. Satu jam terkena macet di jalan dan satu jam bersama kekasih tercinta memiliki rasa yang amat berbeda. Secara obyektif, keduanya sama, yakni satu jam. Namun, secara subyektif, keduanya amatlah berbeda.
Di masa awal perkembangan ilmu pengetahuan modern di Eropa, pandangan tentang waktu subyektif pun disingkirkan. Yang tersisa kemudian adalah pandangan tentang waktu yang obyektif. Di sini, waktu dipandang sebagai sesuatu yang ada secara mandiri di luar diri manusia. Ia adalah bagian nyata dari alam yang bisa diukur.
Pandangan ini kemudian dikritik oleh filsuf lain pada abad pencerahan juga, bahwa waktu adalah bagian dari akal budi manusia. Ia tidak berada di alam, melainkan di dalam pikiran manusia. Sebagai bagian dari pikiran manusia, waktu membantu manusia sampai pada pengetahuan tentang dunia.
Di dalam filsafatnya, para filsuf tersebut sudah menegaskan, bahwa waktu selalu terkait dengan ruang. Keduanya adalah bagian dari pikiran manusia.Â
Pandangan ini dikembangkan selanjutnya oleh Albert Einstein. Ia melihat, bahwa waktu tidak pernah bisa dipisahkan dari ruang. Maka dari itu, ia merumuskan konsep ruang-waktu untuk menegaskan maksudnya.
Pada akhirnya, tanpa menafikan berbagai pandangan para filosof tersebut tentang waktu, maka kitapun menyadari bahwa hidup kita dibatasi oleh ruang dan waktu.Â
Apapun yang kita kerjakan, ikhtiarkan dan usahakan ada batas ruang dan waktu. Oleh karena itu, agar kita mampu menembus ruang dan waktu, untuk menyelesaikan visi dan misi hidup kita masing-masing, maka hanya keyakinan kepada yang Maha Pemberi Karunialah yang dapat menuntaskan perjalanan hidup kita.Â
Melalui berbagai upaya dalam mewujudkan kebaikan bersama (amal saleh) dan memahami sinergi kehidupan (saling nasehat menasehati) di jalan kebenaran dan kesabaran. Wallahu A'lamu Bishshawwab.
Bekasi, 25 April 2018.