Mohon tunggu...
Wira D. Purwalodra (First)
Wira D. Purwalodra (First) Mohon Tunggu... Penulis - Let us reset our life to move towards great shifting, beyond all dusruption.

Saatnya menyibak RAHASIA kehidupan semesta yang Maha Sempurna ini, dengan terus menebar kebajikan untuk sesama dan terus membuat drama kehidupan dan bercerita tentang pikiran kita yang selalu lapar, dahaga dan miskin pengetahuan ini. Sekarang aku paham bahwa kita tidak perlu mencapai kesempurnaan untuk berbicara tentang kesempurnaan, tidak perlu mencapai keunggulan untuk berbicara tentang keunggulan, dan tidak perlu mencapai tingkat evolusi tertinggi untuk berbicara tentang tingkat evolusi tertinggi. Karena PENGETAHUAN mendahului PENGALAMAN.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sekolah Tanpa Pendidikan Itu Omong Kosong?

2 September 2017   19:44 Diperbarui: 2 September 2017   20:11 798
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudah hampir setahun ini saya membujuk anak saya yang sudah menyelesaikan pendidikannya di S1 (strata satu) agar mau melanjutkan pendidikannya ke level yang lebih tinggi. Berbagai bujuk rayu telah saya sampaikan, bahkan saya mencoba menanamkan ke dalam pikiran dan hatinya bahwa dengan menuntut ilmu, Allah akan menjamin rezeki kita. Namun, sugesti yang saya sampaikan itu seakan sia-sia saja. Memang, ia pernah mengatakan bahwa selepas wisuda tahun lalu ia berkeinginan untuk bekerja dulu. Ia akan melanjutkan kuliah sambil bekerja. Tapi setelah ia memperoleh gaji pertama, kedua, ketiga dan seterusnya, tak ada tanda-tanda keinginnnya untuk kembali ke bangku kuliah.

Imanuel Kant, seorang filsuf Jerman yang dianggap sebagai salah satu tokoh utama dari filsafat modern, pernah bilang   begini, "Experience without theory is blind, but theory without experience is mere intellectual play." (Pengalaman tanpa teori itu buta, tapi teori tanpa pengalaman hanyalah sebuah permainan kecerdasan). Dari pengalaman anak saya bekerja di sebuah Bank, yang sudah berjalan hampir sembilan bulan ini, saya pikir sudah cukup untuk mengantarkannya pada suatu tingkat pengalaman yang nyata. Apalagi pihak perusahaan sudah melatihnya selama sepuluh hari untuk mampu bekerja dengan baik dan benar. Oleh karena itu, mungkin inilah saat yang tepat untuk kembali ke bangku kuliah.

Bagi orang tua, yang ingin anak-anaknya sukses dalam karir maupun belajarnya, tentu memiliki kekuatiran jika anak-anaknya berhenti belajar dari berbagai hal di dunia ini. Saya sangat meyakini bahwa menuntut ilmu merupakan amalan yang sangat mulia. Bahkan merupakan kewajiban setiap Muslim. Banyak sekali ayat maupun hadits Rosulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam yang menyebutkan tentang keutamaan seorang ulama dan para penuntut ilmu. Mereka adalah sebaik baik makhluk. Kesaksian mereka atas ke-Esa-an Allah disejajarkan dengan kesaksian Allah dan para malaikatnya. Derajat mereka ditinggikan. Para malaikat serta makhluk hidup yang lainnya senantiasa mendoakan mereka. Bahkan Allah menjadikan ukuran kebaikan seseorang dengan ilmu yang dia miliki.

Di era yang serba dimudahkan oleh perangkat teknologi sekarang ini, kita menyaksikan, bahwa banyak hal yang meruanglingkupi kehidupan kita sehari-hari, meskipun kehilangan isi atawa esensi utamanya, justru semakin diminati. Misalnya; bir tanpa alkohol, kopi tanpa kafein, hubungan percintaan tanpa komitmen, agama tanpa spiritualitas, bahkan sekolah tanpa pendidikan. Semua ini merupakan kerangka tanpa isi, yang menjadi gejala masyarakat modern, yang kehilangan esensi kehidupannya.

Jika kita menganalisis kondisi seperti ini lebih jauh, semua ini berawal dari keluarga kita sendiri. Ketika kita masih menjadi seorang anak dalam suatu keluarga, kita diajarkan untuk mencari pengakuan, kebahagiaan dan kepenuhan diri di luar diri kita, yakni dari orang lain. Pada saat kita gagal mendapatkan pengakuan dari orang lain, atau misalnya dihina, kita lalu sedih dan menderita. Ketika gagal mendapatkan tujuan di luar diri kita, kita lalu merasa rendah dan bodoh. Dalam keadaan sedih dan menderita ini, kita terus dan terus dituntut untuk mencari di luar diri kita, yang pada akhirnya, kita tidak akan pernah mendapatkannya, dan hidup kita akan semakin menderita.

Padahal, sejatinya, kita tidak memerlukan pengakuan dari siapapun. Kepenuhan diri sudah ada di dalam diri kita, dan tidak perlu mencarinya di luar. Kebahagiaan sudah selalu ada di dalam diri kita. Kita hanya perlu melihat ke dalam hati, dan tidak lagi sibuk mencari di luar diri kita.

Sejak kecil, kita juga diajarkan untuk terpukau pada benda-benda cantik dan mahal di sekitar kita. Ukuran keberhasilan hidup kita adalah, mampukah kita memiliki benda-benda cantik dan mahal tersebut? Jika ya, maka kita disebut berhasil. Jika tidak, maka kita dicap sebagai orang gagal. Betapa bodohnya asuhan semacam ini. Sejatinya, manusia tak perlu benda-benda untuk mencapai kebahagiaan yang sejati. Ia hanya cukup melatih pikirannya dan puas dengan apa yang ia punya sekarang dan disini. Pengasuhan dari orang tua dan masyarakat kita itu, walaupun mungkin maksudnya baik, sejatinya adalah penipuan ?!!

Sejatinya, pikiran kritis lebih penting dari kepatuhan. Keberanian dan kemampuan bertanya lebih penting dari kemampuan untuk menjalankan perintah. Pada level tertinggi, kita hidup tidak lagi dengan aturan dan hukum yang dipaksakan dari luar oleh masyarakat kita, melainkan dengan intuisi dan nurani kita yang melampaui akal budi itu sendiri. Kita tidak pernah diajarkan tentang hal ini, bukan? Sekali lagi, pendidikan dan pengasuhan dari masyarakat kita telah menipu kita.

Sejak kecil, kita diajarkan untuk peduli pada dunia. Kita diajarkan untuk peduli apa kata orang. Kita diajarkan untuk memperhatikan dan menjaga nama baik. Jika kita gagal menyenangkan masyarakat kita, maka kita akan dianggap sebagai orang yang gagal dan pencundang.

Sejak kecil, kita juga diajar untuk menimba ilmu. Kita diajar untuk mengisi kepala kita dengan hal-hal baru. Kita diajar untuk membaca buku-buku. Kita diajar untuk menghisap informasi terus menerus, sampai kita mati. Padahal, sejatinya, belajar itu tidak sama dengan mengisi kepala. Belajar itu, sejatinya, adalah mengosongkan kepala kita dari kotoran-kotoran dunia dalam bentuk informasi-informasi tak berguna. Ketika semua kotoran telah pergi, kita lalu menjadi alami dan bijak, sesuai dengan kodrat alami kita sebagai manusia. Pendidikan, dalam arti yang kita alami sekarang ini di berbagai belahan dunia, adalah sumber dari segala kesesatan yang menjadi akar dari segala penderitaan dan kejahatan di dunia.

Pada akhirnya saya menyimpulkan, apakah sekolah kita selama ini tidak mendidik anak-anak kita ?!! atau kita sendirilah yang mendidiknya secara salah ?!! Wallahu A'lamu Bishshawwab.

Bekasi, 02 September 2017.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun