Oleh. Purwalodra
Ramadhan sudah meninggalkan kita, ribuan do’a sudah kita panjatkan, ribuan langkah kebaikan sudah kita jalani, semua pikiran telah kita jinakkan, dan ratusan angan-angan sudah kita singkirkan. Lantas, apakah Ramadhan kemaren mampu merubah kehidupan kita sebelas bulan ke depan ?. Atawa kita akan mengulangi perbuatan kita ketika sebelum Ramadhan tiba, atau kita berpura-pura tidak pernah bertemu Ramadhan dan menemui hidup kita kemaren ?!
Menurut saya, nilai tertinggi yang dihasilkan dari Ramadhan kemaren, adalah sikap alami atawa fitrah kita sebagai manusia. Karena itu, keadaan fitrah inilah yang kita tuju di penghujung Ramadhan. Dalam Ramadhan, kita diajak untuk kembali ke jati diri kita yang sejati, yakni jati diri alami atau kembali kepada fitrah kita, sebagai hamba Allah yang senantiasa bersyukur dan ikhlas. Lalu, kitapun hidup dan bertindak dari titik alami tersebut.
Fitrah adalah kejadian asal atau pembawaan asli yang ada pada diri manusia beserta sifat dan potensinya. Menurut M. Quraish Shihab dalam buku yang berjudul “Wawasan Al Quran” menyatakan bahwa, “kata fitrah terambil dari akar kata fathr yang berarti belahan atau kejadian, fitrah manusia adalah kejadiannya sejak semula atau bawaan sejak lahirnya”. Lebih lanjut M. Quraish Shihab mengatakan, “manusia berjalan dengan kakinya adalah fitrah jasadiyahnya, berfikir untuk menarik kesimpulan melalui premis-premis adalah fitrah akhliahnya, senang dan gembira juga adalah fitrahnya”. Menurut Syahminan Zaini dalam buku yang berjudul “Ciri Khas Manusia” menyatakan bahwa, “fitrah adalah potensi-potensi tertentu yang ada pada diri manusia yang dibawanya semenjak lahir”. Fitrah adalah apa yang ada pada diri manusia sejak dijadikannya/diciptakannya oleh Allah SWT yang berkaitan dengan aspek jasmani dan rohani serta kemampuan-kemampuan yang ada pada kedua aspek tersebut.
Di dalam Ramadhan, selain kita dituntun untuk menuju ke dalam fitrah-Nya, kita juga diarahkan untuk menemukan kembali sikap tulus yang jauh dari pamrih dan kepentingan yang tersembunyi, yang mungkin sebelum Ramadhan kemaren kita tinggalkan. Dalam Ramadhan, kita dididik untuk berperilaku ikhlas, alias tidak ada pertimbangan untung rugi ataupun benar salah. Semua pertimbangan untung rugi ataupun benar salah lahir dari pola pikir dualistik yang membedakan aku sebagai subyek dan orang lain atau dunia sebagai obyek. Banyak filosof, menegaskan bahwa cara berpikir ini merupakan sumber dari segala penderitaan dan petaka di dalam hidup manusia. Cara berpikir ini juga mendorong terjadinya penilaian yang akhirnya bermuara pada pengelompokan dan penyingkiran.
Selanjutnya, setiap manusia itu selalu lahir dan hidup di dalam masyarakat. Setiap masyarakat mengajarkan kita nilai-nilai kehidupan tertentu. Kita lalu menjalankan hidup dengan seperangkat nilai tersebut. Inilah yang disebut sebagai programing sosial. Hasilnya, kita lalu memiliki citra diri yang melekat erat pada nilai-nilai masyarakat. Kita membangun “Ego” berdasarkan programming sosial dari masyarakat. Ego menjadi ide yang dibangun dari kebiasaan dan programming sosial masyarakat. Ketika kita masuk ke dalam programming sosial, kita pun keluar dari keadaan alamiah kita, sebagai manusia. Lantas, kita kehilangan spontanitasnya, dan hidup hanya dengan panduan nilai-nilai masyarakat kita. Kita melihat dan menilai segala sesuatu dari programming sosial yang kita terima. Pada titik ini muncul depresi, harapan dan kekecewaan pada manusia lain, akibat perbedaan programming sosial yang ada.
Lalu, untuk bisa kembali ke keadaan alamiah, kita perlu mengambil jarak dan bahkan melepaskan programming sosial yang meruanglingkupi hidup kita. Di dalam keadaan alamiah tersebut akan muncul cinta dan moralitas yang tidak lagi berpijak pada tekanan sosial, tetapi dari gerakan batin yang berpijak pada sikap alamiah dan spontanitas manusiawi. Pendek kata, moralitas yang berpijak pada kebebasan batin, dan bukan pada tekanan dari luar.
Manusia modern cenderung melekat pada pikiran analitis, rasional dan reflektif. Mereka mencoba memahami segala sesuatu dengan akal budinya. Mereka mencoba untuk belajar dari masa lalu, dan mempersiapkan masa depan. Semua proses ini menciptakan tegangan yang membuat orang tidak dapat mencerap masa kini secara sempurna. Kejernihan dan kedamaian pun menjadi jauh dari genggaman tangannya. Pikiran yang berlebihan menghambat aliran tindakan. Pikiran yang berlebihan mengaburkan keadaan alamiah manusia. Orang pun menjadi terhalang di dalam pikiran maupun tindakannya.
Halangan terbesar manusia untuk mencapai keadaan alamiah adalah pikirannya sendiri. Lebih tepatnya, pikiran yang terus meragukan dari saat ke saat. Pikiran yang meragukan menghalangi orang untuk menggunakan pikirannya secara jernih dari saat ke saat. Akhirnya, ia terjebak ke dalam kebingungan, dan masuk ke dalam penderitaan. Dalam arti ini, kelekatan batin, yang menjadi tantangan utama manusia menuju pencerahan batin, juga dapat dipahami sebagai “pikiran yang selalu meragukan”dari saat ke saat.
Ego, atau kesadaran akan adanya identitas pribadi yang kokoh dan terpisah dari segala yang lain, itu bagaikan duri di dalam tubuh manusia. Kita berusaha untuk merawatnya dengan memenuhi kebutuhan akan ambisi dan pengakuan. Kita, kemudian, menjadi marah dan kecewa, ketika ego kita dihina, atau tergesek oleh suatu peristiwa. Oleh karena itu, semoga di dalam keadaan alamiah/fitrah kita di hari yang FITRI ini, kita mampu merajut kebaikan, cinta dan kebijaksanaan !? Wallahu A’lamu Bishshawwab.
Purworedjo, 06 Juli 2016.