Mohon tunggu...
Wira D. Purwalodra (First)
Wira D. Purwalodra (First) Mohon Tunggu... Penulis - Let us reset our life to move towards great shifting, beyond all dusruption.

Saatnya menyibak RAHASIA kehidupan semesta yang Maha Sempurna ini, dengan terus menebar kebajikan untuk sesama dan terus membuat drama kehidupan dan bercerita tentang pikiran kita yang selalu lapar, dahaga dan miskin pengetahuan ini. Sekarang aku paham bahwa kita tidak perlu mencapai kesempurnaan untuk berbicara tentang kesempurnaan, tidak perlu mencapai keunggulan untuk berbicara tentang keunggulan, dan tidak perlu mencapai tingkat evolusi tertinggi untuk berbicara tentang tingkat evolusi tertinggi. Karena PENGETAHUAN mendahului PENGALAMAN.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ketika Murid Sudah Siap, Sang Guru Akan Datang!?

13 September 2015   14:24 Diperbarui: 16 Oktober 2017   08:45 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Oleh. Purwalodra

Sampai hari ini, ada saja pertanyaan yang masih menggelantung dalam pikiranku, yang mungkin tidak perlu ada jawabannya. Pertanyaan itu begini, “bagaimana aku harus hidup ?” Jawaban sederhananya, ya ... hiduplah dengan apa adanya. Titik. Namun, pikiranku tak bisa begitu saja berhenti di sini. Ketika aku kaji lagi, ternyata selama hayat dikandung badan, memang pertanyaan itu tak perlu ada jawaban. Karena, sejak aku lahir di dunia ini, aku membawa sesuatu dalam diriku sendiri. Sesuatu itu adalah panggilan hati, misi hidup, atau apalah-apalah gituuu ?! Aku mengetahui hal ini, karena setiap orang memilikinya, ini terlihat dalam bentuk bakat atau kemampuan-kemampuan lainnya. Misalnya, aku sangat terpanggil untuk menulis sejak duduk di bangku Sekolah Dasar. Karena itu ketika aku melihat atau menemukan peristiwa hidup yang perlu aku tulis, maka jadilan tulisan itu !?.

Sebagai langkah awal dalam menjalani panggilan hati atau misi hidup ini, aku selalu berusaha mengenali, siapa diriku yang sedang menulis ini ? Apa panggilan hidup yang ada dalam hatiku ? dan apa saja bakat-bakatku yang bisa muncul dari panggilan hatiku itu ? Dengan pengetahuan ini, aku bisa mengembangkan diri sesuai dengan keinginanku. Dengan kemampuan yang sudah selalu ada di dalam diri setiap manusia, aku bisa membantu orang lain dalam bidang yang menjadi bakatku sekarang. Hanya dengan mengikuti panggilan hati ini, maka aku bisa mendapatkan apapun dalam hidupku, sekaligus memberikan kontribusi nyata yang baik untuk orang-orang di sekitarku yang mebutuhkan.

Terkait dengan pepatah orang Cina, yang menjadi judul tulisan ini, memiliki makna filosofis yang dalam. Pepatah itu sudah menghuni pikiranku sejak lama. Ia selalu mengingatkanku agar jangan pernah putus asa dalam menghadapi setiap persoalan. Karena setiap masalah dalam kehidupan ini, selalu datang bersamaan dengan solusinya. Seperti halnya, setiap kesulitan yang datang dalam hidupku, pasti ada saja kemudahan-kemudahan dalam menyelesaikannya. Begitu pula, jika murid sudah siap, maka sang Guru akan datang, juga sebaliknya, jika Guru sudah siap maka muridpun akan datang.

Kalimat judul diatas juga, memahamkanku untuk selalu menyempurnakan ikhtiar. Karena, mempersiapkan segala sesuatu, dan melaksanakan sepenuh hati apa yang kurencanakan, adalah bagian terbesar dari hasil yang akan aku peroleh. Tidak bisa kupungkiri bahwa, setiap kali aku melakukan sesuatu, apapun itu, dengan senantiasa mengedepankan rasa syukur dan ikhlas, maka hasilnya lebih luar biasa dari pada aku melakukannya dengan hanya fokus pada hasil semata. Meskipun dalam kontek spiritual, tak satupun manusia yang mampu mengupayakan hasil, namun aku selalu yakin, ketika aku mampu menyempurnakan ikhtiar, maka akan ada hasil yang lebih dari apa yang kupikirkan sebelumnya. Kalimat judul diatas, juga memberi kesadaran, bahwa aku tak akan menerima persoalan-persoalan besar dalam hidupku, jika persoalan kecil saja tidak becus kulakukan.

Selain  faktor-faktor internal yang ada pada diriku, setiap manusia selalu membutuhkan seorang pembimbing. Pada saat masih anak-anak dulu, hanya kedua orang tuakulah yang membimbing berjalan, makan, minum dan mandi. Pada saat aku mulai mengenal sekolah, maka Ibu dan Bapak Gurulah yang membimbingku belajar dan mengenal pengetahuan tentang sesuatu. Pada saat kuliah di kampus, aku juga mengenal Pembimbing Akademik (PA). Bahkan di masyarakat pun aku mengenal seorang pembimbing itu, melalui tokoh-tokoh masyarakat. Para pembimbing inlah Guru-Guru sejatiku. Tanpa kusadari, seorang Pembimbing ternyata selalu ada, dan menjadi bagian dari perjalanan hidupku sehari-hari, sejak kelahiran sampai aku meninggalkan dunia yang sementara ini.

Menurut John Maden, “Pembimbing harus mengamati yang tidak ingin ia lihat, dan mendengarkan yang tidak ingin ia dengar.”  Dari pernyataan ini, maka kehadiran seorang pembimbing hidupku, memang sebuah sunnatullah. Tidak ada manusia yang hidup tanpa bimbingan dari orang lain, maupun alam ini. Bahkan seorang Tarzan, dalam film-film Jungle, juga dibimbing oleh seekor kera besar dengan alam belantaranya. Seperti inilah manusia hidup. Selalu ada pembimbing. Karena itulah, bisa aku bisa perbaharui kalimat judul diatas menjadi, ”Jika aku sudah siap, maka Pembimbing akan datang, begitupun sebaliknya.”

Selanjutnya, menurut Ric Giardina, dalam bukunya The Bona Fide Integrity, 2002, bahwa dalam misi hidup kita di dunia ini, ternyata “kita selalu memiliki pesan untuk orang lain yang harus kita sampaikan. Dengan cara yang persis sama, orang lainpun memiliki pesan untuk kita, yang juga merupakan bagian dari misi hidup mereka.”

Dalam misi hidup kita di dunia, ternyata kita memiliki sesuatu untuk diajarkan kepada orang lain, begitu pula, mereka juga memiliki sesuatu untuk dibagikan kepada kita. Jadi, sebuah kebenaran di dunia ini, bahwa hidup manusia dari zaman ke zaman, ternyata saling ajar-mengajarkan, atau istilah dunia pendidikan, aktivitas belajar-mengajar, atau mengajar-belajar.

Seorang bijak pernah berkata, "Ilmu tanpa amal, cacat. Dan, amal tanpa ilmu, buta." Juga dalam pepatah bahas arab, "Al-'ilmu bilaa 'amalin, kasy-syajari bilaa tsamar". Atau berarti, bahwa "Ilmu yang tidak diamalkan bagai pohon tak berbuah.” Pepatah Arab ini mengingatkanku agar apa yang kumiliki, ada bagian yang harus kubagikan kepada orang lain. Dari titik inilah, mungkin Ric Guardina, berani mengungkapkan, bahwa, “kita selalu memiliki pesan untuk orang lain yang harus kita sampaikan. Dengan cara yang persis sama, orang lainpun memiliki pesan untuk kita.” Jadi, tunggu apa lagi, sampaikan kepada orang lain, meski hanya satu ayat !?. Wallahu A’lamu Bishshawwab.

Bekasi, 13 Sepetember 2015.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun