Mohon tunggu...
Wira D. Purwalodra (First)
Wira D. Purwalodra (First) Mohon Tunggu... Penulis - Let us reset our life to move towards great shifting, beyond all dusruption.

Saatnya menyibak RAHASIA kehidupan semesta yang Maha Sempurna ini, dengan terus menebar kebajikan untuk sesama dan terus membuat drama kehidupan dan bercerita tentang pikiran kita yang selalu lapar, dahaga dan miskin pengetahuan ini. Sekarang aku paham bahwa kita tidak perlu mencapai kesempurnaan untuk berbicara tentang kesempurnaan, tidak perlu mencapai keunggulan untuk berbicara tentang keunggulan, dan tidak perlu mencapai tingkat evolusi tertinggi untuk berbicara tentang tingkat evolusi tertinggi. Karena PENGETAHUAN mendahului PENGALAMAN.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menjaga Jarak dengan Penderitaan ?!

25 Juni 2015   09:51 Diperbarui: 8 Desember 2015   23:07 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh. Purwalodra

Beberapa hari ini saya disibukkan dengan berbagai problematika rumah tangga, yang sebenarnya tidak perlu saya pikirkan terlalu dalam. Karena problem rumah tangga itu bukan persoalan keluarga saya sendiri, tapi beberapa teman yang curhat dan minta solusi atas masalah-masalah yang menimpa dirinya dan keluarganya. Salah satu kasus saja yang menjadi pikiran saya sampai saat ini adalah ketika salah seorang teman yang kebetulan berprofesi sebagai istri dan ibu rumah tangga, selama ini merasa tidak lagi nyaman bersama suaminya. Ia menderita dan sedih manakala suaminya selalu tidak peduli, cuek dan selalu bikin ‘bete’, bahkan sering tidak bertegur-sapa satu sama lain, meski tinggal serumah. Masalah ini berlangsung bertahun-tahun yang dimulai dengan munculnya wanita idaman lain (WIL) dalam kehidupan suaminya.

Berkali-kali saya membujuk teman (perempuan) saya ini agar tidak melakukan tindakan apapun, termasuk tindakan untuk menggugat cerai pada suaminya. Jalani saja apa adanya. Tentu dengan kesabaran tingkat dewa. Namun, upaya ini belum mampu memberi ketenangan hidup teman saya, bahkan penderitaannya semakin dalam menghujam. Semoga tulisan singkat ini bisa sedikit memberi pencerahan, untuk sekedar memberi lentera kecil agar perjalanan hidup yang masih panjang itu, bisa dilaluinya dengan kedamaian.

Penderitaan berasal dari kata derita. Kata derita berasal dari bahasa sansekerta dara artinya menahan atau menanggung. Derita artinya menanggung atau merasakan sesuatu yang tidak menyenangkan. Penderitaan dapat berupa penderitaan lahir atau batin atau lahir dan batin. Penderitaan termasuk realitas kehidupan manusia yang mau tidak mau, suka tidak suka mesti dijalani oleh setiap manusia selama berada dan hidup di dunia. Intensitas penderitaan bertingkat-tingkat, ada yang berat, ada yang ringan. Namun demikian, peranan individu juga bisa menentukan berat-tidaknya intensitas penderitaan itu sendiri. Suatu peristiwa yang dianggap penderitaan bagi seseorang, belum tentu merupakan penderitaan bagi orang lain. Jadi penderitaan itu bersifat relatif, tergantung dari manusia itu sendiri yang menafsirkannya.

Penderitaan pada seseorang juga bisa dikatakan sebagai fenomena universal. Penderitaan tidak mengenal ruang dan waktu. Ini berarti bahwa penderitaan tidak hanya dialami oleh manusia zaman sekarang, dimana kebutuhan dan tuntutan hidup semakin meningkat, ‘yang mana dari pada,’ akan menimbulkan  penderitaan bagi yang tidak mampu untuk memenuhinya. Akan tetapi penderitaan itu telah ada sejak munculnya manusia pertama, yakni nabi Adam. Betapa menderitanya nabi Adam dan Hawa ketika ia harus meninggalkan surga lantaran tindakannya yang tidak mengikuti  perintah Tuhan dan lebih mengikuti nafsunya dan bujukan syaitan. Selain itu, penderitaan sebagai fenomena universal tidak mengenal perbedaaan manusia. Artinya, penderitaan juga bisa dialami oleh setiap manusia, bahkan manusia-manusia yang dianggap suci atau nabi dan rasul. Begitu universalnya fenomena penderitaan maka tidak mengherankan kalau banyak para seniman dan filsuf mengangkat penderitaan dalam karya-karya seni dan ajaran filsafatnya. Bahkan bisa dikatakan hampir semua karya seni lahir dari imajinasi penderitaan ini.

Lalu, pertanyaan yang bisa dimunculkan dari prolog diatas, adalah bagaimana kita mampu mengatasai berbagai penderitaan yang kita alami, atau dengan kalimat lain, bagaimana kita mampu melampaui semua penderitaan hidup kita ?.  Ada banyak jawaban atas pertanyaan ini. Namun, menurut saya, jawaban yang paling mendekati kebenaran adalah jawaban dari Anthony de Mello SJ di dalam bukunya yang berjudul Awareness.

Langkah-langkah untuk melampaui penderitaan yang bisa dipelajari dari Anthony de Mello, antara lain adalah dengan menyadari perasaan-perasaan yang ada di dalam diri kita. Ketika kita sakit atau mengalami musibah, kita tentu sedih. Ketika kita mendapat hadiah atau anugerah lainnya, kita tentu senang. Kita perlu untuk mampu menyadari semua perasaan-perasaan yang muncul di dalam hati kita itu.

Kita tidak boleh menolak perasaan ini. Kita harus menerima dan merasakannya. Namun, disinilah letak langkah pentingnya, kita tidak boleh menyamakan diri kita seutuhnya dengan perasaan itu. Kita harus melihat perasaan itu sebagai sesuatu yang berbeda dari diri kita. Kita harus mengamati perasaan itu sebagai suatu gerakan emosi yang tidak sama dengan jati diri kita yang asli.

Sebagai contoh, ketika kita merasa sedih, kita tidak boleh menyamakan seluruh jati diri kita dengan perasaan sedih itu. Sebaliknya, kita perlu merasakan sekaligus menjaga jarak dari rasa sedih itu. Kita perlu mengamati rasa sedih di dalam batin kita dengan suatu jarak. Jarak ini nantinya akan menghasilkan kesadaran, bahwa kesedihan itu tidaklah asli, melainkan sesuatu yang dengan mudah datang dan pergi, seperti angin saja, sehingga ia bukanlah sesuatu yang penting.

Dengan demikian, kata kunci disini adalah mengamati. Kita perlu mengamati gerak emosi di dalam batin kita, selayaknya orang ketiga. Jadi, ketika kita sedih, kita tidak boleh bilang, bahwa saya sedih, melainkan ada sesuatu yang sedih. Kita amati, maka akan muncul jarak, dan kesedihan, ataupun emosi lainnya, akan hancur dengan seketika. Kita pun akan menemukan kedamaian yang sesungguhnya.

Inilah inti dari kesadaran diri. Inilah inti dari mistisisme yang dicontohkan oleh berbagai orang besar dalam sejarah, mulai dari para filosof zaman kuno sampai dengan kita saat ini. Intinya, kita tidak boleh menyamakan jati diri kita dengan emosi maupun perasaan kita. Kita harus menjadi pengamat atas diri kita sendiri, yang berjarak atas perasaan-perasaan kita sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun