Oleh. Purwalodra
[caption id="attachment_363672" align="alignright" width="300" caption="Habibah Ma"][/caption]
Perjalanan hidup kita selalu diwarnai dengan berbagai sikap, yang tidak kita sadari ternyata mampu menggiring kita ke arah prinsip hidup, yang sulit diubah. Padahal kondisi kehidupan di luar diri kita sejak dulu netral-netral saja, namun hati dan pikiran kita membentuk persepsi-persepsi baru sehingga obyek apapun yang ada di luar diri kita menjadi sesuatu yang berbeda.
Sikap yang didefinisikan sebagai suatu pernyataan evaluatif mengenai obyek, orang, atau peristiwa, merupakan kesan akhir seseorang yang melibatkan emosi, informasi dan perilaku orang tersebut. Sikap juga merupakan suatu kecenderungan yang menetap untuk bisa merasa dan bertindak dengan cara tertentu pada beberapa obyek. Sikap inilah yang membuat kita berbeda dalam cara pandang dan berbeda dalam bertindak. Sebagai contoh, cara seseorang menyikapi suatu kondisi yang tidak memuaskan dirinya.
Sikap juga mendorong seseorang untuk melakukan tindakan-tindakan konstruktif (baik), maupun destruktif (merusak). Banyak orang bijak mengatakan, bahwa yang penting bukan peristiwa atau kejadiannya, tapi sikap kita terhadap peristiwa dan kejadian tersebut. Ketika kita menyikapi ketidakjujuran orang lain terhadap diri kita, yang penting bukan ketidakjujurannya tersebut, namun sikap kita sendiri. Jika kita merasa terluka pada ketidakjujuran itu, maka luka itu akan bertambah dalam. Tapi jika kita justru bersyukur atas kebohongan yang ia lakukan terhadap kita, maka kita akan tetap damai. Dan tentu saja, Tuhan tidak akan tinggal diam untuk kita dan orang yang membohongi kita itu.
Perlu juga kita ingat, bahwa kedamaian yang ada pada diri kita akan membawa banyak kedamaian pada hidup kita. Demikian pula, jika kita merasa terluka oleh perbuatan seseorang, kita akan semakin tambah terluka dimanapun kita berada. Sikap kita yang selalu mendamaikan diri sendiri ini merupakan katalisator (penetral) dari semua persoalan hidup kita yang selalu silih berganti ini. Hari ini mungkin kita merasa senang, besok belum tentu sama seperti hari ini. Namun, bagi kita yang senantiasa berbuat kebaikan, selalu saja ada pertolongan dari Tuhan. Oleh karenanya, hindari ketakutan kita untuk mengalir dengan kejadian-kejadian.
Selanjutnya, kita juga jangan terjebak kepada perilaku kepura-puraan yang muncul dari pikiran kita. Karena kepura-puraan ini merupakan salah satu perbuatan pikiran kita yang sangat menyesatkan, dalam bahasa Descartes, Simulo ergo sum (aku berpura-pura, maka aku ada). Hal ini tentu saja akan berakibat pada kegelisahan hidup berkepenjangan. Kita tidak pernah merasakan kedamaian dengan berpura-pura. Kita perlu mengelola sikap ini sampai pada titik kewajaran. Jika kita sedang ditimpa musibah, sudah sepantasnya kita bersedih, namun kesedihan yang kita alami tentu tidak perlu berlarut-larut. Juga demikian juga ketika memperoleh kesenangan, mungkin sikap kita juga tidak perlu berlebihan, sewajarnya kita sebagai manusia. Karena kesedihan dan kesenangan akan silih berganti, datang dan pergi.
Kita yang dinobatkan sebagai manusia, sering memiliki perilaku yang sama dengan hewan, maka tidak heran kalo manusia juga di sebut sebagai hewan yang mampu berfikir (homo sapiens). Mungkin, kepura-puraan yang dilakukan oleh hewan, berbeda dengan kepura-puraan yang dilakukan oleh manusia. Kepura-puraan pada manusia, biasa disebut sebagai kemampuan beradaptasi, atau kemampuan untuk menyesuaikan diri. Namun, di balik itu, kita tahu, bahwa kita berusaha memoles tampilan luar kita, agar sesuai dengan keadaan di luar diri kita. Bahkan, kita menipu diri kita sendiri, demi supaya bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar kita.
Sebagai contoh saja, orang yang biasanya trauma dengan hari senin, pasti akan mengatakan 'Horeee besok hari Seniiin ....' yang dikatakan dihari minggu selepas Magrib. Dalam berdagang, seorang sales berdandan dan wangi, sehingga bisa memperoleh kepercayaan pembeli. Kita berusaha tampil ramah dan bersahabat, walaupun hati kita tak nyaman. Kita berusaha tersenyum, walaupun mungkin hati dibakar amarah dan rasa benci. Kepura-puraan semacam ini menghiasi kegiatan banyak orang di kehidupan kita sehari-hari, baik di kantor maupun di masyarakat. Sikap ini berakibat fatal pada diri kita, dan kita akan terus berada dalam lembah kegelisahan hidup yang semakin dalam. Karena, perilaku kepura-puraan tersebut, bersumber dari rasa takut seseorang. Orang berpura-pura, supaya ia bisa melindungi dirinya dari masalah yang akan datang, jika ia menampilkan jati diri aslinya.
Rasa takut tersebut sangat terkait dengan kebutuhan untuk bertahan hidup. Dengan berpura-pura, orang berharap bisa menyelamatkan dirinya dari berbagai ancaman yang ada. Bagi sebagian orang, kepura-puraan ini juga merupakan kebutuhan akan pengakuan. Orang melebih-lebihkan dirinya. Ia tertawa berlebihan. Ia berbicara bohong berlebihan. Alasan sebenarnya hanyalah satu, yakni untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain, bahwa ia adalah orang yang hebat, berharga dan, mungkin saja, bahagia. Menurut Honneth, pengakuan adalah salah satu kebutuhan mendasar manusia. Orang bisa saja, secara sadar ataupun tidak, melakukan berbagai cara untuk memperoleh pengakuan.
Kepura-puraan yang dilakukan seseorang juga ditujukan sebagai cara untuk mencapai tujuan tertentu dengan jalan yang lebih mudah. Hal-hal yang berharga di dunia ini kerap sulit untuk dicapai. Ada orang yang lebih memilih untuk mencapai hal-hal tersebut dengan cara-cara yang gampang. Ia menipu orang lain, guna mendapatkan tujuannya. Kepura-puraan adalah salah satu cara terbaik untuk ini. Orang berpura-pura baik dan jujur, walaupun ia korup dan suka menipu. Jika orang lain tahu jati dirinya yang asli, maka tujuannya tidak akan tercapai. Maka, ia lalu bersembunyi di balik kedok perannya. Ia lalu berpura-pura.