Jingga merona. Memendar bentangan luas tak bertepi. Ia sadar tak bisa lama-lama menikmati ini. Dipetiknya setangkai senja. Menyimpan rapat dalam jiwa merindu purnama. Terus bergegas menyusuri lobi berpagar Samudera Hindia. Dua minggu sudah berada di ranah barat Sumatera.
Hasil audit kali ini sangat melegakan. Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Jarang-jarang, bahkan bias dihitung dengan jari. Yang ada biasanya mereka disuguhi aneka tawaran, menikmati jajanan, wisata lokal, dan buah tangan tak kurang dua jinjingan. Agar lunak sedikit. Begitu motifnya. Tak berupa, tak berona. Cari aman!
Boarding time.
Tak dihiraukannya senja yang kian tenggelam.Surya telah menyerahkan tugasnya pada purnama malam.
“Kamu bawaan siapa?” Ia terkesiap. Rekannya membuyarkan narasi singkat senja itu.
“Eh, eng…..bawaan ibu dan bapak saya Pak. Tapi lebih berat ibu sih. Mata, hidung, dan gaya bicara saya sangat mirip ibu.”
“Lho lho, bukan itu maksud saya.”
“Oh, maksudnya bagaimana Pak?”
“Kamu masuk sini bawaan siapa?”
“Saya murni Pak.”
“Wah, becanda kamu, iya saya tau kamu Murni. Murni Bening Ramadhani. Itu nama lengkap kamu kan.” Suara bariton paruh bayanya meninggi.
“Iya Pak, terus Pak?”
“Ya, kamu diterima di sini atas bawaan siapa? Orang tua, pak de, bibi, atau siapa begitu?”
“Iya Pak, saya murni, tidak dibawa siapa pun. Bahkan kerabat dan teman saya saja tidak ada yang bekerja di kementerian ini Pak.”
“Wah, ndak percaya saya. Apalagi kamu ditempatkan di direktorat ‘basah’ yang jadi incaran orang-orang di sini. Kamu tau si Bandu, Rancu, dan Sosri? Mereka itu anak-anak eselon satu dan dua di kementerian ini. Kalau tidak, mana mungkin mereka bisa diterima dan ditempatkan di sini.”
Murni hanya mengulum senyum. Pekat melekat saat ia menatap bundaran bening di kanannya. Ini bukan yang pertama. Bahkan sudah tak terhitung. Selalu saja ada yang mengkonfirmasi, kalau tak boleh dibilang berburuk sangka kalau ia bukan ‘titipan’.
***