Pernah mendengar ungkapan seperti judul di atas? Aku yakin jamak yang mengetahuinya. Aku sendiri pertama kali mendengar saat awal-awal kuliah dulu. Kira-kira tujuh tahun silam. Saat itu sedang menunggu buka puasa gratis (maklum mahasiswa :-D) di salah satu masjid di lingkungan kampus biru Kota Gudeg. Sambil menunggu, aku merapat ke ruang utama mendengarkan kajian menjelang buka yang disampaikan oleh seorang ustadz muda.Pada awalnya aku tak terlalu menaruh perhatian. Mata terus berfokus melihat putaran jarum jam yang menggantung di dinding di atas mihrab masjid. Lamanyoo waktu berbuka tiba. padatnya kuliah telah menguras energiku hari itu. Kalau mau sukses, rapikan dulu sandal dan sepatumu!! Tiba-tiba ucapan Ustadz muda itu mengalihkan perhatianku. Jarum jam segera kuabaikan. Kualihkan pada ustadz muda yang masih bersemangat memberikan ceramahnya sembari mengedarkan pandangan pada jamaah yang sebagian besar mahasiswa. Kuperhatikan mereka saling berpandangan sambil mengerutkan dahi. Pun juga denganku. Sukses dengan sandal dan sepatu? Maksudnya apa itu? Apa sukses hanya milik pengusaha sepatu ? Atau kalau mau sukses harus pintar-pintar memilih sendal dan sepatu? Ah, ustadz ini membuat teori baru. Ada-ada saja. Gumamku. Merapikan sandal dan sepatu adalah urusan sepele. Kalau menaruhnya saja kita selalu berantakan, bagaimana mungkin kita bisa mengurus urusan besar. Ustadz muda itu melanjutkan penjelasannya. Agak masuk akal bagiku, tapi belum sepenuhnya. Selang beberapa saat, waktu maghrib tiba. Sang ustadz  mengakhiri penjelasannya yang bagiku sendiri belum terlalu jelas. Tapi setidaknya ada benang merah yang bisa diambil. Ketika akan berwudhu, aku melewati pintu utama masjid. Dan wooowww, sepertinya jamaah di masjid yang nota bene mahasiswa tidak akan ada yang sukses nih, pikirku sambil senyum-senyum sendiri. Ada sandal yang pasangan kirinya di sudut teras bagian utara, dan yang kannya di dekat vas bunga di tangga dekat teras. Ada pula segerombolan sepatu aneka warna bertumpuk menjadi satu di tengah-tengah, persis di depan pintu utama. Hehehe, entahlah, toh tak sepenuhnya ucapan ustadz tadi itu benar. Namanya juga ungkapan. Aku pun berlalu. Laper euy.... (teteup :-) Namun, semakin ke sini, aku semakin menemukan kausalitas positif dalam teori ustadz tersebut. Setidaknya ada dua hal yang bisa diambil pelajaran dari manajemen sepatu sandal ini baik dalam makna sebenarnya, maupun dalam makna kiasan. Pertama, merapikan sandal dan sepatu akan melahirkan keindahan. Pernah ke Darut Tauhid? Pertama kali ke sana, aku terkesima, Benar-benar tertata. Indah, nyaman, dan membuat betah berlama-lama di sana.Saat ini aku gedung-gedung baru sudah mulai memperhatikan ini, tertuama di mushola-mushola mereka. Keindahan akan menciptakan kesegaran mata yang melihatnya. Objek ini akan diantarkan oleh indera mata ke otak untuk direspon. Keindahakan akan melahirkan efek positif pada otak.Secara tidak langsung tentu akan mendorong kemampuan berpikir. Otak yang segar karena disuguhi hal-hal indah dan baik akan bekerja optimal dan menghasilkan pemikiran-pemikiran cemerlang yang mendorong dan mengarahkan seseorang untuk sukses. Oleh karenanya, merapikan sepatu dan sandal adalah awal untuk meraih keindahan yang lebih besar dalam bentuk kesuksesan.Tentu, tidak hanya sandal dan sepatu saja yang perlu dirapikan. Mari kita lihat sejenak meja kerja kita, ruangannya, apakah sudah tertata sehingga enak dipandang dan nyaman untuk ditempati. Pun nanti saat pulang ke rumah atau balik ke kamar kos. Sudahkan kita benar-benar nyaman di dalamnya? Memang kerapian dan keindahan ini relatif. Ada yang bilang "Ah, gw mah cuek. Santai aja," atau ungkapan "Cowok ga harus rapi. Itu urusan cewek." dan ungkapan senada lainnya. Namun aku sangat yakin bin percaya, bahwa ketika orang-orang yang menegasikan kerapian tadi dibawa ke tempat-tempat yang bersih dan indah mereka akan betah dan nyaman. Jika anda salah satunya, monggo dibuktikan sendiri :) Kedua, jangan abaikan hal-hal kecil dan sepele. Menyusun sepatu bukan hal besar tentang membangun gedung-gedung tinggi. Menyusun sepatu juga bukan soal good corporate management, apalagi tentang menyusun strategi merancang teknologi modern masa depan yang mendunia. Namun padanya tersimpan makna bahwa kesuksesan besar yang sedang kita upayakan tak akan berarti apa-apa tanpa hal-hal kecil di sekitar kita. Sebut saja kepedulian pada waktu luang, kesehatan, senyuman pada orang lain, sedekah seribuan, atau apa pun yang kita anggap kecil. Hal-hal kecil jika diakumulasikan akan menjadi besar. Bahkan, Allah pun menyukai ibadah yang sedikit-sedikit tapi berkelanjutan. Daripada sedikit-sedikit ngaji, sedikit-sedikit sholat, tapi selang sebulan nggak ibadah apa pun. Begitupula dalam meraih kesuksesan. Ingin menjadi apa pun kita, rintislah dari hal-hal kecil dan sederhana. Sehingga dapat merasakan betul nikmatnya perjuangan ketika telah sampai pada pucaknya kelak. Berhitunglah dari o,1, 2, 3, ..., dan naikilah tangga dari anak tangga pertama jika ingin menuju anak tangga berikutnya. Salam sandal sepatu ;-)
#Otokritik, saat diri sering abai dengan hal-hal kecil
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H