Mohon tunggu...
Aisyah Najla Sholeha
Aisyah Najla Sholeha Mohon Tunggu... Mahasiswi Psikologi Universitas Brawijaya 2024

ISTJ

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Angka Like Jadi Validasi, Media Sosial Menjadi Tolak Ukur Kebahagiaan?

16 Maret 2025   15:52 Diperbarui: 16 Maret 2025   15:54 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

          Di era serba digital ini, media sosial telah menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari. Dari berbagi momen berharga hingga mengekspresikan pendapat, media sosial memungkinkan kita untuk terhubung dengan orang lain. Media sosial mempengaruhi cara kita berinteraksi, berkomunikasi, bahkan mempengaruhi bagaimana seorang individu menilai kebahagiaan. Dalam konteks menilai kebahagiaan, angka like di platform media sosial seperti Instagram sering kali dijadikan sebagai pengukur keberhasilan sosial dan kebahagiaan individu. Namun, pertanyaan penting yang muncul adalah; Apakah angka like di media sosial benar-benar mencerminkan validasi dari kebahagiaan seseorang?

          Angka like di media sosial sering dianggap sebagai simbol pengakuan sosial. Setiap like yang diterima dapat memberikan rasa diterima dan dihargai yang mencerminkan kebutuhan mendalam akan pengakuan dari lingkungan sosial. Fenomena ini sering kali dikaitkan dengan individu yang memiliki tingkat kepercayaan diri yang rendah, sehingga mereka melihat jumlah like bukan hanya sebagai angka, namun sebagai ukuran harga diri mereka. Ketika seseorang mendapatkan banyak like, otak mereka akan melepaskan hormon dopamine atau happy hormone yang memberikan rasa senang yang bersifat sementara. Akibatnya, seorang individu akan terus-menerus mencari validasi melalui unggahan di media sosial.

          Keterikatan pada angka like dapat menyebabkan masalah kesehatan mental yang serius. Pengguna yang tidak mendapatkan jumlah like yang diharapkan, sering kali merasa dirinya tidak berharga dan kurang percaya diri. Menurut penelitian yang dilakukan oleh JM Twenge pada tahun 2018 mengenai hubungan screen time dan penurunan psychological well-being seseorang, penggunaan media sosial secara berlebihan dapat meningkatkan tingkat kecemasan dan depresi secara signifikan, terutama di kalangan remaja.

Dalam banyak kasus, kebahagiaan diukur berdasarkan seberapa banyak like, komentar, dan pengikut yang dimiliki seseorang di media sosial. Penelitian menunjukkan bahwa media sosial dapat menjadi diktator kebahagiaan bagi beberapa individu, sehingga keberhasilan mereka diukur melalui validasi yang mereka terima di media sosial. Hal ini menciptakan ide kebahagiaan sebagai jumlah interaksi yang diterima. Semakin banyak jumlah like yang diterima, semakin bahagia seseorang. Namun jika ekspektasi angka like tidak terpenuhi, seorang individu dapat mengalami penurunan psychological well-being yang signifikan.

          Untuk menghindari dampak negatif terhadap obsesi pada angka like, berikut beberapa hal yang bisa dilakukan oleh individu :

  • Bangun kesadaran terhadap bagaimana penggunaan media sosial dapat mempengaruhi perasaan dan kesehatan mental Anda.
  • Tentukan waktu tertentu untuk menggunakan media sosial untuk menghindari penggunaan yang berlebihan.
  • Fokus pada koneksi nyata yang dapat dibentuk dari penggunaan media sosial daripada validasi dari angka like yang diterima.
  • Temukan kegiatan lain yang memberikan kepuasan diri tanpa harus bergantung pada validasi media sosial.
  • memahami bahwa segala sesuatu yang dilihat di media sosial merupakan versi terbaik dari hidup seseorang, hingga membandingkan hidup orang lain dengan diri sendiri hanya akan memunculkan ekspektasi non-realistik terhadap diri sendiri.

Media sosial dapat menghubungkan kita dengan berbagai orang, namun juga dapat menjadi pemicu yang merusak kesehatan mental jika tidak digunakan dengan bijak. Angka like dan validasi di media sosial tidak seharusnya menjadi tolak ukur kebahagiaan seseorang. Kebahagiaan sejati datang dari dalam diri, dari hubungan yang bermakna, dan dari pencapaian yang sesuai dengan nila-nilai pribadi kita.

REFERENSI

Alamsyah, A. (2023). Tirani Kebahagiaan dan Media Sosial: Sebuah Kajian Media dan Politik. Jurnal Politik Profetik.

Newport, C. (2019). Digital Minimalism: Choosing a Focused Life in a Noisy World. Portfolio.

Twenge, J. M., & Campbell, W. K. (2009). The Narcissism Epidemic: Living in the Age of Entitlement. Free Press.

Twenge, J. M., Joiner, T. E., Rogers, M. L., & Martin, G. N. (2018). Increases in Depressive Symptoms in Adolescents and Young Adults: 2005--2017. Psychological Science, 29(2), 203--215.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun