[caption id="attachment_136970" align="alignleft" width="300" caption="Dalang Rudi Prasetyo sedang memainkan wayang beber di Pacitan, Jawa Timur, Kamis (22/9). dok.pribadi"][/caption] Selama ini kita mungkin lebih mengenal wayang kulit, wayang orang, dan wayang golek. Dari ketiga wayang itu mungkin ada yang sudah sangat sering melihat pertunjukannya baik itu langsung maupun lewat media massa.Adakah yang pernah menyaksikan wayang beber? Atau sekedar mendengar informasi tentang wayang beber? Sesuai namanya, wayang ini dipentaskan dengan cara dibeber atau dibentangkan karena bentuknya adalah lukisan yang terdiri dari beberapa gulungan yang mengandung cerita.
Memang wayang ini kurang familier karena katanya kurang menarik untuk disaksikan dan dinikmati dibandingkan pertunjukan wayang yang lain. Lha kenapa? Jadi ceritanya pada Kamis (22/09) saya berkesempatan ikut melihat kreasi batik wayang beber di Pacitan. Kebetulan saya ikut bagian dalam tim Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) UNS Solo. Juga bersama teman-teman wartawan cetak, TV, dan radio lokal Solo untuk melihat langsung ke lokasi kreasi batik wayang beber.
Nah, setelah menyaksikan batik-batik kreasi dari wayang beber ini kami bersama-sama mengunjungi sanggar seni kota Pacitan. Sanggar ini ditangani sendiri oleh Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Pacitan,M. Fathony, SH,MM. Di sanggar ini, Fathoni mengenalkan kepada anak-anak muda mengenai kebudayaan kota Pacitan termasuk wayang beber ini.
Menurut cerita Fathony, wayang beber awalnya merupakan hadiah dari raja Majapahit kepada Ki Roro Naladremo karena berhasil menyembuhkan putri raja yang sakit. Wayang beber yang diberikan raja ini berjumlah enam lembar dan setiap lembar terdiri dari empat adegan/pejagongan. Kisah ini terjadi sekitar abad tahun 1692 M. Wayang ini bercerita tentang kisah cinta Panji Asmoro Bangun dengan Dewi Sekartaji Putri Jenggolo.
Mengapa cuma dikasih wayang? Padahal sudah menyembuhkan putri raja. Ki Roro Naladremo tidak mau dikasih harta atupun jabatan lainnya. Tapi ketika raja Majapahit memberi wayang dia malah suka dan mau menerimanya.
Wayang beber ini tidak boleh dimainkan oleh dalang lain kecuali keturunan Ki Roro Naladremo. Jadi hingga sekarang wayang ini tidak dimainkan oleh dalang lain selain keturunan Naladremo. Jadi tahu kan mengapa wayang ini tidak begitu pesat perkembangannya dan jarang menyaksikan pertunjukannya.
Kemarin sewaktu berkunjung ke sanggar Rudi Prasetyo, saya sedikit kaget karena ternyata Rudi Prasetyo ini bukan merupakan keturunan dari Mbah Mardi Gunocawito (penerus terakhir ki Roro Naladremo). Setelah menyaksikan pementasan wayang beber dan sedikit berbincang degan Rudi, ternyata dia diamanahkan oleh Mbah Mardi untuk melestarikan wayang beber ini bersama dengan temannya, Wardi yang bertuga menjaga lukisan dari wayang beber. Jadi, lulusan alumni Universitas Negeri Yogyakarta jurusan Bahasa Jawa ini berkenalan dengan Mbah Mardi ketika menjadi mahasiswa. Pada 2003 dia berkenalan dengan Mbah Mardi untuk kepentingan skripsinya. Lalu pada 2004 mulai belajar mendalang wayang beber dari nol. Dan pada 2010 lalu dikukuhkan menjadi dalang wayang beber.
Lalu bagaimana dengan keturunan penerus Mbah Mardi? Anak-anak Mbah Mardi memang tidak ada yang bisa mendalang wayang beber ini. Sehingga Mbah Mardi mengamanahkan wayang beber kepada Rudi Prasetyo demi kelestarian wayang beber. Tetapi cucu dari Mbah Mardi yaitu Handoko yang masih menginjak SMP sudah mulai diajari oleh Rudi. Hondoko lah yang diharapkan menjadi penerus dan pelestari wayang beber dari keturunan Ki Roro Naladremo.
Wayang beber pun mulai dikreasikan ke bentuk lain yaitu seni lukis dan batik. Seni lukis sudah sejak1988 sudah mulai dikembangkan oleh I Gusti Nengah Nurata, salah seorang dosen seni lukis di ISI Surakarta. Lalu untuk kreasi batik wayang beber dikembangkan oleh seorang dosen Sastra dan Seni rupa UNS Solo, Sarah Rum Handayani. Dia yang menciptakan dan mengembangkan desain batik wayang beber. Batik ini mulai masuk ke dunia industri batik di Pacitan melalui produsen Batik Puri dan Batik Saji.
Kini, wayang beber hanya dimainkan di Pacitan dan Gunung Kidul, Yogyakarta. Di Gunung Kidul, kondisi wayangnya sudah sangat memprihatinkan. Di Kraton Surakarta juga ada tapi sudah tidak dipentaskan.
Sayang sekali jika warisan budaya dari kerajaan Majapahit ini sampai punah dan mungkin nanti dicuri oleh bangsa lain. Semoga bermanfaat.