Mohon tunggu...
Yohanis Fransiskus Lema
Yohanis Fransiskus Lema Mohon Tunggu... -

Menamatkan Program PascasarjanaDepartemen Hubungan Internasional FISIP, Universitas Indonesia tahun 2004. Sejak tahun 2004 hingga kini mengajar di FISIP Universitas Nasional Jakarta dan sehari-hari adalah Presenter News and Talks TVRI pusat Nasional, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kejutan Politik Jokowi-Ahok di Putaran Pertama

20 Agustus 2012   12:43 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:31 1177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

O l e h : Y F Ansy Lema
Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada) DKI Jakarta telah digelar 11 Juli 2012 silam. Kendati demikian, belum bisa dipastikan siapa Gubernur/Wakil Gubernur DKI Jakarta definitif periode 2012-2017. Karena tak satupun pasangan kandidat yang memperoleh 51% suara atau lebih, maka Pemilukada mesti dilanjutkan ke putaran kedua. Demikian aturan Pemilukada DKI Jakarta.
Sejumlah fakta politik mengejutkan terjadi dalam Pemilukada putaran pertama. "Kejutan politik" sebenarnya adalah sesuatu yang lumrah terjadi. Namun, untuk konteks Pemilukada DKI Jakarta kali ini, "kejutan politik" yang terjadi dapat dikatakan luar biasa. Mengapa demikian? Tak satu pun lembaga survei yang sebelumnya memprediksi pasangan Calon Gubernur/Wakil Gubernur Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok) bakal unggul dalam Pemilukada. Semua lembaga survei malah hanya menempatkan pasangan ini berada di urutan kedua dengan dukungan suara tak lebih dari 20%, jauh di bawah perolehan suara Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (Foke-Nara). Bahkan, beberapa lembaga survei sesumbar bahwa duet Foke-Nara berpeluang besar menang dalam satu putaran.
Semua prediksi itu meleset total. Suara pemilih berkata lain. Hasil Pemilukada meluluhlantakkan kredibilitas lembaga survei. Di luar dugaan, pasangan Jokowi-Ahok berhasil meraih suara mayoritas, bahkan unggul atas pasangan petahana Foke-Nara. Hasil hitungan suara KPUD DKI Jakarta, Jokowi-Ahok unggul dengan suara terbanyak yakni 1.847.157 (42,60%) suara, meninggalkan pesaing utamanya Foke-Nara yang
meraup 1.476.648 (34,05 %) suara. Lebih fantastis lagi, pasangan "Jakarta Baru" ini unggul di lima wilayah administratif DKI Jakarta.
Tulisan ini bermaksud menjawab dua pertanyaan penting. Pertama, mengapa terjadi "kejutan politik" dalam Pemilukada DKI Jakarta? Kedua, bagaimana strategi politik Jokowi-Ahok sehingga bisa unggul pada putaran pertama?
Pemilih Cerdas
Keberhasilan Jokowi-Ahok mendulang suara terbanyak pada putaran pertama menegaskan bahwa pemilih Jakarta umumnya adalah pemilih cerdas. Diduga kuat, swing voters yang note bene pemilih rasional menjadi penentu kemenangan Jokowi-Ahok. Swing voters yang belum menentukan pilihan saat diadakan survei-survei pra-pemilukada karena masih mempertimbangkan secara rasional ke mana dukungan mesti diberikan, mayoritas ternyata mendukung Jokowi-Ahok. Survei Litbang Kompas, misalnya, menyebutkan swing voters mencapai 26 persen. Angka ini jika ditambahkan ke hasil yang diprediksi beberapa lembaga survei yang menyebutkan Jokowi-Ahok akan memperoleh 18-21%, terbukti tak jauh meleset dengan perolehan pasangan ini.
Lima alasan bisa dikemukakan sebagai argumentasi bahwa swing voters pendukung Jokowi-Ahok adalah sungguh pemilih cerdas. Pertama, ciri pemilih cerdas adalah tidak memilih kandidat yang mengandalkan praktek politik uang (money politics) dan yang mengiming-imingi pemilih dengan materi berkedok bantuan sosial. Pemilih cerdas juga anti terhadap politik transaksional. Sebagaimana diketahui, modal utama Jokowi-Ahok saat berkampanye hanyalah tiga kartu, yakni kartu nama, kartu sehat dan kartu pintar, bukannya uang ataupun materi. Jokowi-Ahok tak pernah membagikan barang/materi, apalagi uang untuk memperoleh dukungan pemilih. Bahkan, kemeja kotak-kotak yang menjadi identitas pasangan "Jakarta Baru" ini pun, tidak dibagikan secara gratis. Warga yang ingin memilikinya wajib membelinya. Dana tersebut lantas digunakan untuk membiayai kampanye pasangan ini. Perilaku politik transaksional yang identik dengan sikap politisi dan Partai Politik (Parpol) sama sekali tidak tampak pada pasangan ini. Sikap anti terhadap politik uang sejak awal telah diperlihatkan Jokowi-Ahok saat PDIP dan Partai Gerindra mengusung keduanya sebagai Cagub/Cawagub DKI Jakarta. Tak sepeser rupiah pun dikucurkan untuk membeli dukungan Parpol. Padahal, dalam banyak kasus, demi mendapatkan dukungan Parpol, kandidat mesti merogoh kocek hingga milyaran rupiah.
Kedua, karakteristik pemilih cerdas adalah memilih pemimpin bukan berdasarkan sentimen SARA (suku, agama, ras, antar golongan). Alasan primordial tidak menjadi pertimbangan dominan dan utama dalam memilih pemimpin. Walau tak sedikit kampanye hitam bernuansa SARA yang menyudutkan Jokowi-Ahok, namun bukannya antipati, malah simpati dari warga yang diperoleh pasangan ini. Latar belakang Ahok yang Kristiani-Tionghoa, ternyata tidak menghambat warga Jakarta untuk memberikan dukungan pada pasangan ini. Pemilih cerdas lebih melihat duet Jokowi-Ahok sebagai "pasangan Nusantara" yang sungguh merepresentasikan kebhinekaan Indonesia. Apalagi, Jakarta ibarat miniatur Indonesia, di mana bermukim anak bangsa dari berbagai latar belakang suku, etnis, agama dan golongan, sehingga pemilih rasional berharap Jakarta bisa menjadi rumah bersama bagi semua anak bangsa. Bagi pemilih cerdas, impian mewujudkan Jakarta sebagai rumah bersama mensyaratkan pemimpin Jakarta mendatang adalah sosok yang mampu mengayomi pluralitas, bukanya mendikotomi penduduk asli Jakarta dan pendatang.
Ketiga, pemilih kritis-rasional adalah pemilih yang memilih pemimpin berdasarkan rekam jejak (track record), visi, misi dan kompetensi kandidat. Pemilih cerdas niscaya tak akan "membeli kucing dalam karung". Karena itu, pemilih cerdas selalu berupaya mengumpulkan informasi sebanyak mungkin perihal kandidat dan mempelajarinya sebelum memilih. Jokowi dikenal sebagai Walikota Solo yang telah terbukti berhasil memimpin Solo. Keberhasilannya tidak hanya dirasakan warga Solo. Pengakuan atas keberhasilannya diperkuat dengan masuknya nama Jokowi sebagai satu dari lima kandidat Walikota terbaik dunia versi "The City Mayors Foundation", suatu lembaga internasional dengan kredibilitas mumpuni. Salah satu prestasinya yang layak diapresiasi adalah ia tercatat sebagai satu-satunya kepala daerah yang sukses menata dan mengelola pedagang kaki lima (PKL) secara manusiawi, tanpa menimbulkan konflik antara PKL dengan aparat negara. Sementara pasangannya Ahok, dikenal sebagai Bupati profesional dan bersih. Saat menjabat Bupati Belitung Timur (Beltim), ia melakukan sejumlah gebrakan, di antaranya menjalankan pendidikan gratis 12 tahun, menyajikan jaminan kesehatan via asuransi yang mencakup operasi caesar, pemberian obat-obatan, layanan ambulance, bahkan memberikan santunan kematian lewat sistem asuransi. Ia juga sukses membenahi infrastruktur jalan, serta memberikan bantuan untuk ratusan rumah warga yang nyaris roboh. Karena integritasnya, tahun 2007 Gerakan Tiga Pilar Kemitraan yang terdiri dari Masyarakat Transparansi Indonesia, KADIN dan Kementerian Negara Pemberdayaan Aparatur Negara memberikan Ahok penghargaan sebagai tokoh anti korupsi dari unsur penyelenggara negara. Majalah Tempo pun menobatkannya sebagai satu dari “10 tokoh yang mangubah Indonesia" karena ia dinilai memberi inspirasi bagi model kepemimpinan transformatif di Indonesia.
Keempat, pemilih cerdas adalah pemilih yang berpihak pada perubahan, bukannya pada status-quo. Oleh sementara kalangan, Jakarta kerap dinilai sebagai "kota sakit" karena berbagai persoalan yang menghimpitnya, mulai dari banjir, kemacetan, pemukiman kumuh, pengangguran hingga kriminalitas. Jakarta diterakan sebagai kota tak layak huni karena tak memberikan kenyamanan bagi warganya. Dihadapkan pada kusutnya persoalan ibu kota, pemilih rasional cenderung akan lebih mendukung perubahan. Dengan mendukung perubahan, ada ekspektasi akan hadirnya Jakarta baru. Karena itu, suara perubahan adalah suara yang menghendaki transformasi menuju Jakarta baru yang humanis, bermartabat, layak huni, tertata rapi dengan kualitas pelayanan publik yang prima.
Kelima, pemilih cerdas adalah pemilih yang tidak mudah didikte lembaga survei. Bukan rahasia lagi, banyak survei elektabilitas politik dibiayai kandidat tertentu dengan tujuan menggiring opini pemilih agar memilih kandidat tersebut. Dengan perkataan lain, hasil survei bisa direkayasa untuk kepentingan politik kandidat yang membiayai survei. Pemilukada DKI Jakarta putaran pertama telah membuktikan bahwa pemilih Jakarta tergolong cerdas karena tidak mempan diperdayai oleh survei-survei pesanan kandidat yang sarat kepentingan politik. Yang justru terjadi, integritas lembaga survei kian terpuruk karena tidak valid memproyeksi hasil Pemilukada.

Nir-Pencitraan
Sebagaimana pasangan kandidat lainnya, Jokowi-Ahok sebenarnya juga didampingi konsultan politik yang berperan memoles citra keduanya agar tampil prima serta merekomendasikan strategi politik yang mesti dijalankan demi meraup suara pemilih. Namun, jika dicermati, politik pencitraan bukan menjadi andalan pasangan ini. Justru karena tanpa politik pencitraan, Jokowi-Ahok mampu unggul pada putaran pertama. Maka bisa disimpulkan, keberhasilan Jokowi-Ahok pada putaran pertama sesungguhnya merepresentasikan kemenangan politik substansi atas politik pencitraan. Jokowi-Ahok tampil apa adanya sesuai karakter kepribadian masing-masing.
Kekuatan utama Jokowi-Ahok bersumber pada kualitas karakter kepemimpinan keduanya yang telah teruji sebagai birokrat maupun politisi. Tak seperti politisi dan birokrat kebanyakan di negeri ini yang gemar pidato, namun miskin implementasi, Jokowi-Ahok justru menampilkan karakter berbeda. Keduanya tak hanya berorasi, tapi senantiasa mengucapkannya melalui tindakan nyata. Itu sebabnya, Jokowi-Ahok dikenal punya rekam jejak baik dalam memimpin dan memiliki komitmen kuat pada pembangunan daerah masing-masing. Keduanya adalah juga tipikal politisi-birokrat bersih karena tidak pernah terlibat kasus korupsi maupun tindak kriminal lainnya. Lebih dari itu, tak hanya bersih, sebagai pemimpin wilayah, keduanya memiliki terobosan dalam membangun Solo dan Beltim. Tak banyak politisi-birokrat bersih yang punya terobosan seperti keduanya.

Role Model
Kemunculan Jokowi-Ahok dalam Pemilukada DKI Jakarta menghidupkan kembali harapan publik akan hadirnya pemimpin yang melayani, bersih dan profesional. Pemimpin demikian nyaris sirna karena selama ini jagat politik senantiasa didominasi para politisi dan birokrat yang melulu berorientasi pada nominal dan kuasa, bukannya pada politik nilai dan pelayanan publik. Maka apabila terpilih, publik tidak hanya berharap Jokowi-Ahok akan sanggup mewujudkan "Jakarta Baru" yang modern, manusiawi dan bermartabat. Lebih dari itu, Jokowi-Ahok diharapkan bisa menjadi role model bagi kepemimpinan politik, sekaligus inspirasi bagi bangkitnya "Indonesia Baru".
Jakarta, juga Indonesia membutuhkan pemimpin berintegritas dengan karakter pelayan, pemimpin yang tak sekedar cerdas berpidato, tapi pemimpin yang piawai mengucapkan pidatonya dalam tindakan nyata demi pembangunan bangsa. Karena itu, Jokowi-Ahok ditantang agar mampu mempertontonkan model kepemimpinan yang baik, sehingga bisa menjadi teladan dan panutan bagi banyak pemimpin daerah di Nusantara. Ekspektasi itu hanya bisa dijawab keduanya dengan terlebih dahulu melakukan kerja nyata mewujudkan "Jakarta Baru". ****

*Penulis Dosen FISIP Universitas Nasional, Jakarta, Presenter Dialog Politik TVRI Nasional.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun